Duduklah empat lelaki. Di sekeliling meja bundar. Menikmati jamuan sarapan. Ada Sekretaris Senat Akademik UINSA H Ali Arifin. Ada juga Kepala Biro Administrasi Akademik dan Kerjasama Kelembagaan UINSA , H Mamat Salamat Buhanuddin. Serta, juga Prof Yunus Abu Bakar. Tentu saja ada aku juga. “Ayo, Pak Rektor, sarapan kali ini tak seperti biasanya. Enak sekali!” Begitu ucapan Sekretaris Senat Akademik. “Mantap ini,” sahut seorang lainnya yang kudengar. “Memang, makanan kayak gini sudah susah dicari. Nggak biasa begini ini!” sergahku begitu kumulai menikmati sajian sarapan pagi itu. Ya, makanan yang tersaji untuk sarapan pagi jelang acara wisuda ke-107 UINSA pada 27 April 2024 itu adalah nasi ketan putih, nasi ketan hitam, dan gethuk. Makanan tradisional yang sudah mulai susah dicari.
Tiba-tiba lalu muncul cerita pembandingan. “Di Jombang, ada warung ketan yang legend. Namanya, Ketan Merdeka. Karena memang berada di Jl. Merdeka. Bisa 30 kg habis terjual perharinya.” Cerita Prof. Yunus Abu Bakar yang memang penggemar kuliner yang tak ada duanya di UINSA. Hampir setiap kota, dia selalu bisa beri referensi kepada manteman. Mulai rasa hingga harga. Top sekali sahabat kita ini. “Memang, sekarang, makanan yang legend jadi buruan,” lanjutnya menjelaskan keahlian kulinernya. “Termasuk juga bubur Madura,” tambahnya seraya menjelaskan bahwa bubur Madura kini menjadi buruan dalam banyak kesempatan jamuan makan-minum.
Nah, begitu menyebut kata Madura, Prof Yunus Abu Bakar itu mulai menjelaskan apa yang lagi trending kali ini. “Di aplikasi X hari-hari ini, ramai pembicaraan soal Warung Madura,” begitu introduction yang dia berikan atas pembicaraan santai pagi ini. “Bahkan, Menteri Koperasi saja mulai merespon suara sejumlah pihak agar keberadaan Warung Madura diatur. Termasuk ada tuntutan juga agar Warung Madura tidak boleh buka 24 jam.” Demikian penjelasan lebih lanjutnya soal Warung Madura itu. Pembicaraan pun bergayung-bersambut. Masing-masing dari kami menceritakan pengalaman menyaksikan Warung Madura di berbagai daerah. Bahkan sebagian di antaranya juga pernah melakukan transaksi.
Memang Warung Madura kini menjadi fenomena baru. Di sejumlah tempat kata “warung” diganti dengan “toko”. Tapi, tetap jelas identitasnya bahwa toko atau warung itu milik orang Madura. Karena nama “Madura” selalu dicantumkan di situ. Maka terkenallah nomenklatur baru sebagai toko milik dan atau dikelola oleh orang Madura. Namanya memang beragam. Mulai dari “Toko Madura” hingga “Warung Madura”. Lebih dari itu, biasanya ada diksi “sembako” yang disematkan pada warung itu. Bahkan, ada juga diksi lainnya, seperti “pulsa” dan “token”. Karena itu, Warung Madura atau Toko Madura tersebut juga sangat dikenal dengan toko kelontong Madura.
Fenomena Warung Madura memang belakangan mulai ramai merambah di banyak kota di Indonesia. Hampir di seluruh Jawa sudah mulai bermunculan. Lokasinya pun tak hanya di pusat kota. Melainkan juga menyasar hingga pinggiran kota. Bahkan masuk pula ke sudut-sudut pinggiran kompleks hunian di tengah masyarakat. Pendek kata, Warung Madura mulai mudah ditemukan. Di banyak tempat. Betul-betul kini Warung Madura menjadi pembicaraan. Di ruang publik. Karena Warung Madura kini sudah menjadi fenomena baru. Sebagai kekuatan ekonomi baru. Di sektor usaha ekonomi toko kelontong.
Mengapa Warung Madura menjadi sebuah fenomena baru? Kata kunci jawabannya cuma satu: agak laen. Agak beda. Distingtif, nama kerennya. Ya, agak laen dari warung-warung atau toko-toko kelontong lainnya. Itu yang membuat Warung Madura memiliki kelebihan dibanding selainnya. Itu yang mengantarkan Warung Madura menjadi perhatian banyak pihak. Hingga memberikan tekanan kuat kepada para pelaku pasar toko kelontong yang sudah mapan. Termasuk yang berjejaring nasional seperti minimarket-minimarket yang banyak bertebaran di seluruh sudut kota hingga perkampungan di banyak wilayah di negeri ini.
Lalu, di mana agak laen-nya? Di mana titik bedanya? Di mana letak distingsinya? Pertanyaan-pertanyaan ini penting. Sebagai lahan ketepatan pengamatan. Tentu ujungnya untuk pembelajaran. Buat kita semua yang selalu ingin hidup dalam kemuliaan. Maka, belajar dari pelaku usaha ekonomi pun penting dilakukan. Termasuk pada Warung Madura yang mulai cukup ramai menjadi pembicaraan. Kata kunci agak laen menandakan kondisi yang cenderung tak biasa ditemukan. Karena itu, pasti ada kelebihan yang bisa didapatkan. Pasti ada keistimewaan yang bisa dirasakan.
3 Prinsip Agak Laen
Kucatat tiga poin utama sebagai kelebihan dan keistimewaan Warung Madura akibat prinsip agak laen di atas. Pertama, Warung Madura selalu dikenal dengan layanan tak berbatas waktu. Selalu siap siaga. Karena buka hingga 24 jam. Sehingga cocok untuk sejumlah kelompok masyarakat. Di perdesaan pun, sebagai misal, kini mulai banyak kecenderungan hidup sejumlah individu yang menjadikan warung sebagai ruang publik. Tradisi cangkrukan makin terfasilitasi. Oleh menjamurnya warung kopi. Hingga muncul guyonan: makin sering ngopi di warung berarti makin banyak masalah di rumah. Tak hanya di perdesaan, sebetulnya. Kebutuhan kepada layanan warung kelontong yang buka hingga larut dan bahkan sepanjang waktu lebih-lebih membesar di perkotaan. Aktivitas orang perkotaan yang bergerak sejak pagi hingga dini hari semakin memperkuat kebutuhan itu.
Tak bisa dielakkan, ada unsur persaingan usaha di balik diramaikannya keberadaan Warung Madura. Yang justeru merasa banyak tersaingi, sejatinya, lebih-lebih para pelaku usaha ekonomi korporasi. Khususnya minimarket berjejaring nasional. Sebagai contoh, saat para pelaku usaha ekonomi korporasi dalam bentuk minimarket berjejaring nasional itu dibatasi jam operasionalnya, ada warung “tradisional” yang baru muncul namun bisa buka 24 jam. Namanya Warung Madura. Mau buka kapan aja, oke. Tidak buka rutin pun juga suka-suka. Walaupun faktanya, semua Warung Madura selalu buka melebihi jam buka warung pada umumnya. Bahkan bisa semalam suntuk.
Munculnya Warung Madura dengan berbagai variasi nama dan komoditas jualannya di berbagai daerah semakin memberi tekanan dan “ancaman” kepada para pelaku usaha ekonomi korporasi berbentuk minimarket. Sebab, banyaknya Warung Madura segera dipahami oleh mereka sebagai bentuk korporasi baru. Khususnya di bidang jualan yang beririsan dengan mereka. Yakni usaha kelontong. Untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, dalam pandangan konsumen, yang susah ditemukan di jenis usaha kelontong lain bisa ditemukan di Warung Madura.
Keresahan mungkin juga bisa berasal dari pelaku usaha ekonomi kelontong lokal. Namun resonansi keresahan mereka cenderung tidak kuat. Karena tidak bisa dibunyikan secara nasional atau meluas. Gara-gara tidak berjejaring nasional. Lebih-lebih mereka juga tidak terkena larangan jam buka sepanjang waktu. Seperti halnya larangan buka 24 jam kepada pelaku usaha ekonomi korporasi. Bagi sesama pelaku usaha warung kelontong, mau buka 24 jam atau tidak, hampir tak pernah jadi soal. Karena itu, waktu operasional layanan hingga 24 jam hanya identik dengan usaha ekonomi korporasi.
Persaingan usaha itu semakin menguat oleh unsur etnisitas. Ada kata “Madura” dalam usaha ekonomi warung kelontong itu. Berarti ada unsur etnis di situ. Karena itu, pasti ada unsur etnis tertentu di situ. Sementara, pada korporasi kelontong berjejaring nasional, pemiliknya pasti nasional. Minimal, pemegang saham utamanya nasional. Bahkan juga internasional. Maka, sebetulnya, perbincangan ramai soal Warung Madura di antaranya juga dipicu karena sentimen etnisitas. Suka tidak suka begitu. Lalu, etnisitas itu semakin memperburuk isu persaingan usaha. Karena ada lapisan ragam beda etnisitas di balik persaingan usaha itu.
Kedua, Warung Madura dikenal dengan etos kerjanya yang tinggi. Distingsi kedua ini sejatinya melengkapi nilai distingsi pertama. Hanya bedanya, nilai distingsi yang kedua ini lebih menunjuk ke semangat kerja pantang menyerah. Tak pernah mundur dalam bekerja. Tak mengenal kata surut dalam usaha ekonomi. Bahkan etos kerja itu digunakan pula sebagai tagline jam operasi atau jam buka. Seperti bisa dilihat dalam tagline sebuah Warung Madura bernama “Madura Mart” di Pulau Bali di foto bagian bawah. Di situ tagline-nya berbunyi begini: “Tutup Kalau Sudah Kiamat (Tapi Masih Buka Setengah hari)”.
Tagline “Tutup Kalau Sudah Kiamat (Tapi Masih Buka Setengah hari)” menandai tekad dan spirit kerja keras pantang menyerah itu. Jargon sebagai kata-kata atau ungkapan-ungkapan spesial yang digunakan oleh kelompok tertentu yang sukar dipahami oleh selainnya, karena itu, bisa dikutip dan digunakan juga sebagai konsep lain untuk menandai semangat kerja keras pantang menyerah ini. Mana ada usaha yang buka setengah hari sebelum datangnya kiamat sekalipun? Tentu ungkapan itu hanya untuk menandai kerja keras pelaku usaha Warung Madura. Dan ungkapan itu mengena sekali untuk sebuah jargon kerja keras.
Pengalaman sejumlah masyarakat di sejumlah kawasan di dunia menunjukkan, kerja keras membentuk kemajuan. Apa yang dikenal dengan istilah spirit of capitalism yang menjadi fenomena global, sebagai misal, menunjuk ke tiga kata kunci: seperangkat nilai, semangat kerja keras, dan kemajuan. Begitu yang dikatakan Michael Shea (06 Oktober 2015) dalam tulisannya berjudul The Protestant Ethic and the Language of Austerity. Pernyataan Michael Shea ini sejatinya mengembangkan lebih lanjut argumen yang sebelumnya dibangun oleh Max Weber (1930/2001) dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Weber (2001:11) menunjuk kata kunci berikut: the spirit of hard work, of progress, or whatever else it may be called, the awakening of which one is inclined to ascribe to Protestantism. Artinya, dalam mendasari spirit of capitalism, Weber juga menyebut kata kunci: kerja keras, kemajuan, dan kebangkitan yang berbasis keyakinan agama tertentu.
Tanpa menyebut memiliki kesamaan dengan spirit of capitalism, etos kerja yang tinggi dari pelaku usaha Warung Madura menunjuk ke spirit kemajuan dan kebangkitan ekonomi. Etos kerja yang dipersyaratkan bagi kinerja ekonomi sudah dipertontonkan oleh pelaku usaha Warung Madura. Dan, spirit kerja keras itu menjadi modal besar bagi kemajuan dan kebangkitan ekonomi mereka. Nah, etos kerja yang tinggi inilah yang bisa memberi tekanan dan sekaligus “ancaman” kepada pelaku usaha apapun yang beririsan. Sebab, spirit ini menjadi separuh modal kesuksesan. Sisanya adalah strategi bisnis yang jempolan.
Ketiga, layanan Warung Madura bisa disebut prima. Menyusul jam buka hingga 24 jam seperti diuraikan di atas, pelayanan toko kelontong ini pun pasti menggunakan sistem shift. Bergantian. Bergiliran. Ya, di-shift di antara sejumlah pegawai yang dipekerjakan. Namun, hebatnya, kualitas layanannya tak kalah dari pelayan pasar modern minimarket. Pelayan Warung Madura dikenal sigap. Pengalaman membuktikan, siapapun yang sedang bertugas menjadi penjaga toko kelontong itu, pasti bisa mengambilkan barang yang dibutuhkan oleh konsumen dari rak penyimpanannya. Termasuk juga menjelaskan harganya. Hampir tak pernah ditemui ada pelayan yang tidak tahu di mana unit barang dagangan disimpan. Juga hampir tak pernah ada pegawai yang bilang tidak tahu berapa harga barang dijual. Semua dalam pelayanan prima.
“Kita kagum juga, kok bisa Warung Madura punya pelayan-pelayan hebat seperti itu ya?” ungkap seorang lelaki sekembali dari Warung Madura. Ungkapan bernada retorik itu muncul saat kutanya dia tentang kesannya atas layanan Warung Madura. Dia adalah bagian dari keluargaku. Kuketemu saat bertandang ke rumahnya di Banten. Saat liburan. Kebetulan di kawasan dia tinggal, ada tiga Warung Madura. Kesan itu dia sampaikan untuk memberi apresiasi yang tinggi terhadap layanan sejumlah Warung Madura itu. “Tak kalah dari minimarket modern,” tambahnya menjelaskan lebih lanjut.
3 Inspirasi Spirit Agak Laen di Perguruan Tinggi
Nah, belajar dari spirit agak laen dari Warung Madura di atas, penting bagi institusi selain ekonomi bisnis untuk mengambil pelajaran. Dari inspirasi pembelajaran yang dikandungnya. Warung Madura memang institusi ekonomi bisnis. Namun inspirasi-inspirasi yang lahir bisa digunakan untuk membangun kemuliaan institusi selainnya. Buat pembelajaran bagi semua. Termasuk perguruan tinggi. Inspirasi-inspirasi ini harus bisa menjadi pembelajaran bersama. Nah, kucatat tiga inspirasi nan penting untuk pembelajaran bersama dimaksud.
Pertama, perkuat distingsi dan specialty. Distingsi menunjuk ke nilai beda. Specialty menunjuk ke nilai kelebihan dan keistimewaan. Keduanya terkadang bisa dibedakab. Namun sesuangguhnya tak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkelindan. Prinsip distingsi dan specialty ini penting. Karena di pasar kelontong saja seperti halnya Warung Madura, pelaku ekonomis bisnis ini terbilang banyak. Begitu pula pada pasar secara umum. Para penjual jumlahnya banyak. Dagangannya juga banyak. Sebagian malah mirip-mirip. Termasuk juga pasar pendidikan tinggi.
Kalau tak ada nilai beda, serapan pasar akan lemah. Kalau tak ada nilai kelebihan dan keistimewaan, konsumen akan sulit menjatuhkan pilihan padanya. Karena itu, distingsi dan specialty, seperti dipertunjukkan oleh karakter layanan Warung Madura di atas,menjadi penguat dan pemantik kecenderungan consuming behaviour warga masyarakat sebagai konsumen. Begitu pula yang dihadapi pendidikan tinggi. Tak berbeda prinsipnya. Distingsi dan specialty akan segera memantik pilihan calon mahasiswa beserta orang tuanya yang selalu ingin memberikan layanan pendidikan tinggi yang diinginkannya.
Kedua, lakukan pemetaan pasar beserta kecenderungannya. Serap aspirasinya. Jangan jauh-jauh dari kebutuhan mereka. Berjarak dari kecenderungan pasar hanya akan menjauhkan barang dagangan. Apalagi menjauhinya sama sekali. Pasti yang rugi justeru pelaku usaha ekonomi dan bisnis itu sendiri. Kampus pun juga begitu. Harus cerdas membaca realitas pasar pendidikan tingginya. Harus terampil mengikuti trend dari pergerakan pasar. Harus memahaminya betul. Jangan jauh-jauh dari pasar pendidikan tinggi. Lalu strategi untuk merebut hati pasar itu harus selalu di-update. Itu juga yang diajarkan Warung Madura dengan dagangan kelontongnya. Kecenderungan konsumen dilahap habis melalui layanan buka 24 jam.
Apalagi, ceruk pasar (captive market) perguruan tinggi masih cukup besar. Sebab, angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi masih belum menyentuh 40 persen. Datanya pun bersingsengkarut. Kemendikbudristek menyebut APK itu tahun 2022 telah mencapai 39,37 persen. Tapi Badan Pusat Statistik (BPS) masih mencatat besarannya baru 31,16 persen. Capaian itu pun tidak mengalami pergerakan yang signifikan hingga beberapa tahun terakhir. Tak terjadi penambahan berarti. Apalagi, pasar pendidikan tinggi yang bernama Generasi Z memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Termasuk pula dari generasi milineal yang persis di atasnya.
Ketiga, perkuat etos kerja pegawai. Sesuai uraian tugas masing-masing. Apakah mereka itu dosen, tenaga kependidikan, ataukah tim manajemen (dosen dengan tugas tambahan/DT atau tenaga kependidikan dengan tugas tambahan/TKT). Bagaimanapun, etos kerja itu urusan mental. Kalau mentalnya ambruk, maka etos kerja hanya mengikuti saja untuk segera ambruk juga. Maka, siapapun pegawai dan bagaimana pun situasinya, tak boleh mengalami keterpurukan mental. Biar etos kerja terjaga tinggi. Minimal tidak mengalami penurunan.
Karena pergerakan mental itu bisa naik-turun, maka setiap pimpinan penting untuk memahami akar masalah yang dihadapi pegawainya. Tekanan pekerjaan bisa menimbulkan penurunan mental. Bahkan, urusan rumah tangga pun bisa menjadi penyebab pula. Tak seimbangnya kehidupan pribadi, antara material dan spiritual, pun juga bisa menjadi akar dari masalah penuruan mental. Artinya, penyebab dan pemantik masalah mental memiliki spektrum yang cukup luas. Tak selalu dialami satu pegawai pasti juga dialami lainnya. Nah, masalah-masalah yang berspektrum luas ini harus selalu diikuti dan dibaca secara cermat oleh pimpinan.
Oleh sebab itu, semua pimpinan lembaga atau instansi harus memastikan bahwa semua pegawai dalam mental kerja yang tinggi. Tak boleh ada satupun dari mereka mengalami kejatuhan mental kerja (mental drop) atau penurunan mental kerja (mental down). Mental mereka tidak boleh jatuh atas kejadian dan atau alasan apapun. Mental mereka tak boleh turun oleh penyebab dan pemantik apapun. Kalaulah ada pergerakan menurun, tak boleh kelamaan dalam gerak turunan itu. Harus ada katarsis. Untuk saluran solusinya. Agar kinerja kembali terkerek naik. Agar kinerja tetap unggulan. Tetap jempolan.
*) Akh Muzakki, Sekretaris PWNU Jatim sekaligus Rektor UINSA Surabaya.
**) Tulisan ini sebelumnya telah diunggah di laman uinsa.ac.id dengan judul ‘Warung Madura, Spirit Agak Laen‘.
https://jatim.nu.or.id/opini/spirit-agak-laen-warung-madura-ubps3