Stephen Hawking dan Sains Populer

Tepat pada 14 Maret 2022 merupakan empat tahun peringatan berpulangnya Stephen William Hawking. Ia merupakan salah satu ahli fisika kantum dan kosmologi terpenting pada abad XX. Kisah hidupnya berliku menjadikan banyak orang memetik hikmah di sana. Salah satunya adalah perjuangannya melawan vonis kematian saat berusia 21 tahun dengan penyakit Amytropic Lateral Sclerosis (ALS) yang membuatnya harus menikmati hidup dengan bantuan kursi roda dan piranti komputer untuk membantu berkomunikasi.

Namun, siapa sangka, sosok yang terlahir tepat 300 tahun setelah Galileo Galilei itu menjadi salah satu wakil sosok ilmuwan paripurna. Sepanjang hidupnya memang belum pernah menggenggam penghargaan Nobel. Hawking meninggalkan jejak bahwa ilmu pengetahuan perlu dikomunikasikan kepada khalayak umum. Pembuktian itu dapat dilihat dengan maha karyanya berjudul A Brief History of Time yang terbit pertama kali pada 1 April 1988.

Buku itu dalam perjalanannya disusun oleh Hawking dalam kurun waktu selama enam tahun, dari 1982 hingga 1988. Sebuah penerbit Inggris, UK Publishing mengenang kematian Hawking dengan sebuah buku dengan edisi kolektor berjudul Stephen Hawking: A Mind Without Limits (2018) yang dieditori oleh Daniel Bennet. Edisi bahasa Indonesia, buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit Mizan pada Mei, 2019. Di dalamnya, penjelasan mengenai buku tersebutkan:

Baca juga:  Vaksin dan Relasi Kuasa Orang Tua-Anak dalam Perspektif Islam

“Pada 1982, dia mulai menulis buku sains populer yang diterbitkan pada 1988, A Brief History of Time. Pada Mei 1995, buku fenomenal ini telah berada di daftar buku laris The Sunday Times selama 237 pekan, fakta yang memasukannya ke dalam Guinness Book of Record pada 1998.” Senada itu, Elia T. Ben-Ari (1999) dalam artikelnya, When Scientist Write Books for the Public memberikan penjelasan: penerjemahan dan penerbitan karya Hawking dalam 40 bahasa menyebabkan peningkatan kesadaran buku sains yang dapat diakses pembaca luas.

Ilmuwan dan Persembahan

Ilmuwan memangku konsekuensi atas keberaniannya dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan. Mereka menjadi agen pada perangai ilmiah dalam keperluan membuat penggambaran akan realitas. Lebih lanjut lagi, ada persembahan penting akan keberadaan ilmuwan. Ia bukan sebatas menjadi sebuah legitimasi, namun lebih merujuk pada pengabdian panjang dalam peradaban masyarakat. Yakni bagaimana menyampaikan sebuah teori maupun penemuan sampai kepada masyarakat umum.

Dalam bidang sains, langkah itu dikenal dengan sains populer. Pendekatan yang dimaksudkan pada aras pilihan pembahasaan akan sebuah ilmu pengetahuan. Salah seorang fisikawan, Liek Wilardjo (1986) lebih menggunakan istilah “Karangan Keilmuan Popular”. Ia memberikan penekanan bahwa karangan tersebut dimaksudkan sebagai bagian metode keilmuan dengan sasaran kepada sidang pembaca awam.

Baca juga:  Gerhana Bulan Total: Momentum Kebangkitan Pesantren Riset di Indonesia

Hawking dengan karyanya mengisi ruang pengetahuan utamanya sains populer di Indonesia. Ada kerja penerbitan dalam kepentingan penerjemahan. Langkah itu menjadi sarana bagi khalayak umum untuk mengikuti perkembangan terkini dalam fisika kuantum maupun kosmologi. Ada sebuah harapan tersendiri dengan pilihan dalam ragam bacaan bergenre sains populer untuk membuka kesadaran akan pentingnya wacana berkembang di situasi saat ini.

Kepustakaan Sains Populer

Dalam perkembangan kepustakaan sains populer di Indonesia, para pembaca mengenal banyak nama dari kalangan ilmuwan Eropa, Afrika, dan Amerika Serikat. Selain Hawking, nama-nama lain kemudian populer di antaranya:  Carl Sagan, Ann Druyan, Neil deGrasse Tyson, Jared Diamond, Yuval Noah Harari, Carlo Rovelli, Daniel Dennet, Steven Pinker, Richard Dawkins, Siddharta Mukherjee, Meera Senthilingam, Paul Davies, hingga Jim Al-Khalili.

Memang harus diakui, tidak semua ilmuwan dalam bidangnya bisa menyajikan tulisan populer. Itu mengapa komunikasi sains menjadi penting dalam ranah penelitian dan pendidikan. Penyajian tulisan semacam itu belum menjadi tuntutan secara pribadi bagi tiap ilmuwan. Butuh teknik, kebiasaan, dan ketekunan. Walhasil langkah itu sebagai pilihan dalam memaknai hakikat keberadaan ilmu pengetahuan dan publik secara luas dengan masing-masing spesifikasi kajian keilmuan.

Di sisi lain, ilmuwan perlu memahami realitas ruang publik. Bahwasannya, di sana tak bisa dilepaskan dengan berbagai kepentingan kelompok tertentu yang terkadang memperkeruh dan menjadi ancaman terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Wujud tantangan tersebut misalkan saja berupa gerakan anti sains dan pseudosains. Pada perjalanan pandemi Covid-19 setidaknya memberikan pelajaran bagaimana sains tidak mudah diterima oleh kalangan publik. Sekalipun itu di negara yang telah maju dalam sains dan teknologi.

Baca juga:  Dualisme Sains

William J. Sullivan Jr., dkk. (2021) mencatat pandemi melayarkan jalan informasi dipenuhi dengan kesalahan, kebohongan, dan disinformasi yang membuat navigasinya melelahkan dan membuat frustasi. Fenomena itu kemudian perlu menjadi tilikan bagi ilmuwan sebagai kalangan ahli dan punya otoritas ilmiah dalam mebuka tabir pemahaman publik. Baik dengan menulis buku maupun menyampaikan pikiran lewat media massa.

Dalam percepatan teknologi, informasi, dan komunikasi kalangan publik punya kecenderungan percaya apa saja tiap informasi beredar. Lemahnya daya skeptis dan rendahnya kemauan untuk klarifikasi membuat ilmuwan perlu berperan. Setidaknya, ia bertugas dalam mencegah terjadinya bias informasi akan hal menyangkut diskursus sains di dalam publik. Mereka berperan dalam mengembalikan kepercayaan publik akan keberadaan sains sebagai metode berpikir dalam menelaah berbagai hal di kehidupan.[]

https://alif.id/read/joko-priyono/stephen-hawking-dan-sains-populer-b242388p/