Semua bermula di kulkas. Anak-anak itu tak menemukan susu. Di rumah, mereka tinggal bersama bapak. Ibu sedang pergi menghadiri seminar. Kehidupan di rumah berantakan tanpa ibu. Masalah terbesar bagi anak-anak: susu. Mereka ingin makan sereal tapi susu habis.
Bapak pamit pergi ke toko untuk membeli susu. Waktu berlalu, ia telat pulang membawa botol susu. Lapar susah dijawab sarapan. Bapak justru mengalami kejadian ajaib. Ia bertemu makhluk-makhluk aneh, terlibat dalam perseteruan berkaitan ilmu, manusia, daratan, laut, waktu, dan lain-lain. Di kejadian seru, tokoh mengucap: “Selama ada susu, masih ada harapan.”
Di hadapan anak-anak, si bapak memberi cerita menakjubkan. Cerita itu mengandung masalah susu. Menit-menit berputar, kata-kata terucap oleh bapak membentuk cerita sulit masuk akal. Anak-anak mendapat “sarapan” cerita setelah mereka menanti kedatangan susu. Bapak itu pengisah susu dalam penentuan nasib dunia. Cerita mengandung sains. Anak-anak sulit menerima godaan cerita bapak. Mereka ingin susu. Mereka mau sarapan.
Di novel berjudul Fortunately, the Milk (2014) gubahan Neil Gaiman, kita membaca susu sebagai pusat pengisahan keluarga dan imajinasi keselamatan dunia. Tokoh bapak bergelimang kata. Ia harus mengasuh anak-anak tapi tak ingin kehilangan kebiasaan setiap hari. Susu menjadi masalah. Di kulkas, tak ada susu. Bapak bertanggung jawab membeli susu saat anak-anak ingin sarapan. Ia tak mau peristiwa itu biasa saja.
Neil Gaiman mengenalkan sosok bapak: “Kurasa ia tidak memperhatikan dunia saat ia membaca koran.” Bapak keranjingan membaca koran. Di hadapan koran, ia mengerti pelbagai kejadian dan tokoh. Tangan memegang koran dan mata bergerak mengikuti huruf-huruf tapi tak sadar nasib anak-anak. Berhasil membeli susu dan mengumbar cerita, bapak tak mau waktu bergerak sia-sia. Neil Gaiman menutup cerita: “Dan ia kembali membaca koran.”
Di koran, majalah, dan media daring, kita membaca masalah susu dan hajatan demokrasi. Kita membaca berita, bukan cerita. Susu bukan berkaitan sarapan dan tanggung jawab bapak dalam cerita gubahan Neil Gaiman.
Kita tunda dulu untuk mengamati dan berdebat susu dalam berita-berita. Di atas meja, buku berjudul Don’t Drink Your Milk (2013) susunan Frank A Oski. Buku bertema susu (sapi). Ia mengutip masalah-masalah terjadi di pelbagai negara. Iklan-iklan memunculkan “kebenaran” dianut publik. Iklan-iklan memberi perintah agar orang-orang rajin minum susu. “Kebenaran” ditularkan: susu berpengaruh untuk kecerdasan, susu memberi kekuatan, susu menimbulkan bahagia, atau susu meningkatkan kesehatan.
Di Indonesia, iklan-iklan susu pun seru. Di koran dan majalah masa lalu, iklan-iklan susu memuat gambar dan seruan anak-anak menuruti impian menjadi dokter, profesor, pilot, guru, dan lain-lain. Sekian merek susu gencar beriklan membentuk definisi susu berkaitan keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Susu sangat dipentingkan untuk anak-anak di Indonesia. Serbuan iklan mengakibatkan ketagihan dan fanatik merek. Industri susu dengan pelbagai bahan terbukti berkembang pesat di Indonesia. Pada abad XXI, susu kebablasan masuk dalam raihan kekuasaan.
Frank A Oski menjelaskan: “Susu dinilai oleh banyak pakar nutrisi sebagai salah satu jenis makanan yang mengandung semua komponen gizi: karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Fakta-fakta inilah yang dimanfaatkan produsen susu dan praktisi periklanan saat mengampanyekan keunggulan dalam pelbagai bentuk visualisasi media yang kreatif dan menarik.” Di Indonesia, kita mudah mengingat iklan-iklan susu ketimbang masalah susu dalam gubahan sastra, dari masa ke masa.
Kita mengingat susu dan situasi kehidupan masa Orde Baru. Dulu, susu sudah terbahasakan secara politik. Kebijakan pangan dan kesehatan mengandung susu. Kita belum ingin terlalu mengaitkan susu dan politik. Ingatan mengacu puisi-puisi gubahan Afrizal Malna. Ia biasa mengisahkan kota, modernitas, birokrasi, keluarga, dan bahasa.
Di puisi berjudul “Makan Malam Bersama Ama dan Ami”, Afrizal Malna (1994) memberi kritik atas “pembakuan” hidup di Indonesia menimbulkan takut, sengsara, hiburan, perlawanan, dan iseng. Ia menulis: Waktu itu saya berusia 5 tahun, Ama dan Ami sedang/ minum susu di Pasar Bukittinggi, mengumpulkan/ bangkai-bangkai rumah dari Kota Gadang. Kita diajak mengunjungi lakon hidup di Minangkabau. Dulu, kota itu bertumbuh modern, mengenalkan sekolah, makanan-minuman, buku, dan lain-lain. Pada suatu masa, orang-orang di sana mengalami surut dari sejarah akibat politik dan modernisasi. Kita mengerti adegan minum susu itu anjuran penguasa agar Indonesia bermutu dengan seruan: 4 sehat, 5 sempurna. Minum susu dan memanggil masa lalu setelah Indonesia makin membesar ketimbang ikatan makna Minangkabau.
Susu itu nasib Indonesia. Nasib ditanggungkan anak-anak terus dilahirkan meski penguasa menghendaki dua anak saja. Anak-anak dimengerti dengan industri susu, raihan laba terbedakan dari pemberian air susu ibu. Afrizal Malna (1994) dalam puisi berjudul “Popok-Popok Bayi dan Botol Infus” menulis keluarga: Anakku masih di loteng, mengundang teman-temannya:/ Membuat bahasa dari kain popok dan minyak kayu/ putih. Malaikat pembuat susu di sudut kamar. Mereka/ berpesta, membuat ibu dari selendang panjang. Tetapi/ tanganku seperti menyimpan lemari dingin, batu-batu es/ yang tertanam, serta evolusi genetis dari tisu dan/ kantong-kantong plastik: Tempat hidup masih dijanjikan. Urusan menjadi ibu dan bapak mengharuskan berpikir ketersediaan susu agar anak bertumbuh sehat dan kuat sesuai kalimat-kalimat buatan pemerintah dan ahli kesehatan. Susu kadang masalah tersulit dalam keluarga.
Kita diingatkan ironi hidup di Indonesia masa lalu. Di puisi berjudul “Kesibukan Melarikan Diri”, Afrizal Malna (1995) menulis album ketakutan dan ingin menghindari kutukan saat Indonesia diperingati setengah abad. Kita membaca: Aku temui ibu dalam/ kantong itu, penuh kentang dan jari-jari lelaki. Kakinya/ membengkak, air susu membusuk genangi telapak/ kakinya. Sejarah jadi penuh ancaman, berbaju resmi. dalam kantong-kantong itu. Soeharto selalu teringat dengan kebijakan-kebijakan fantastis diharuskan berhasil. Pada suatu masa, kita pun mengingat Soeharto berkepentingan dengan air susu ibu dan industri susu bermaksud pamer kemakmuran di Indonesia.
Pada abad XXI, kita masih sibuk dan ribut mengenai susu. Kita tak sedang dalam percakapan bersumber novel atau puisi. Kita justru menemukan susu beralamat di jalan (Jakarta) dan menambahi ramai tafsir dalam hajatan demokrasi. Begitu.
Baca Juga
https://alif.id/read/bandung-mawardi/susu-cerita-dan-puisi-b248972p/