Oleh Dr. Phil. Syafiq Hasyim, Akademisi di UIII
Dalam 15 hari terakhir bulan puasa, saya membaca kembali buku ini secara intensif karena untuk keperluan tertentu.
Menurut saya catatan terbaik tentang kehidupan Mekkah sebelum berdirinya Kerajaan Saudi Arabia yang sampai sekarang berkuasa adalah Mekka in The Later Part of The 19 Century, karya etnografis Christiaan Snouck Hurgronje.
Buku ini adalah hasil catatan etnografis –zaman sekarang nyebutnya–dari Christiaan Snouck Hurgronje, ahli ketimuran dan penasehat bidang agama dan kebudayaan Belanda pada saat menjajah Indonesia. Catatan ini adalah catatan yang sangat detail tentang Mekka karena menggambarnya bagaimana kehidupan Mekkah pada masa Mekkah masih di bawah kekuasaan Usmani. Sudah barang tentu, empat mazhab ada semua dan mazhab official adalah Hanafi pada saat itu. Dia melihat agama di Mekkah ini sebagai fenomena sosial pada satu sisi dan ketakjuban dirinya pada agama pada sisi lain.
Diceritakan dalam pengantar buku ini, dia tiba di Jeddah pada 28 Agustus 1884. Upaya untuk masuk ke kota Mekkah dipersiapkan secara detil. Dia membuat kontak dengan orang-orang yang berhaji di Mekkah, terlibat dalam perusahaan pelayanan haji, dlsb.
Hurgronje adalah seorang yang berbahasa Arab dengan fasih.
Raden Abu Bakar Djajadiningrat, seorang ningrat dari Banten, adalah orang yang membantu Hurgronje di Mekkah karena dia sudah kerja 5 tahun lebih dahulu di Konsulat Belanda di Jeddah.
Selama di Mekkah, nama Snouck adalah Abdul Gaffar.
Hal yang menarik adalah pergaulan dia dengan Jawah, orang-orang dari Indonesia yang berhaji dan juga yang terpenting adalah belajar dan mengajar di sekitar Mekkah.
Dalam bab Learning in Mekka dia menggambarkan bagaimana orang-orang dari Indonesia (Jawa) hidup sehari-hari di Mekkah.
Gambaran dan cerita terbaik tentang Syaikh Nawawi menurut bacaan saya tetap berasal dari buku ini. Karena Snouck lah yang pertama mencatat cerita Syaikh Nawawi al-Bantani. Tidak hanya tentang Syaikh Nawawi tapi juga tentang saudara-saudaranya dan juga istri beliau. Dia bertemu dan berbicara dengan syaikh nawawi secara intensif di Mekkah. Syaikh Nawawi belajar di Mekkah selama 30 tahun pada Syaikh Khatib Sambas dan Abdul Gani Bima, namun guru utamanya adalah Yusuf Sumbulaweni, Nahrawi dan Abdul Hamid Dagestani.
Saya kutipkan pengamatan Hurgronje:
Nawawi is a significant example of the difficulties which a Jawah must overcome in oral use of the Arabic tongue.
Meskipun sudah 30 tahun, kata Snouck, Syaikh Nawawi jika berbahasa Arab pasaran, separuh konstruksi bahasa Arabnya adalah konstruksi Jawah. Menurut Snouck, ada empat huruf dimana Syaikh Nawawi yang dalam pengucapannya menjadi masalah Hā, Khā, ʿAin and Qāf.
Kata Snouck, suata saat Syiakh Nawawi ingin menikah lagi, tapi niat ini ditolak oleh istrinya. Kata Snouck, dia adalah satu-satunya istri Syaikh Nawawi.
Snouck bilang jika hal yang luar biasa bagi Syaikh Nawawi bukanlah mulutnya (artinya kepandaian berbicara) tapi penanya. Syaikh Nawawi mengajar di rumahnya sendiri, lantai dasar, soal tafsir.
Suatu saat Snouck bertanya kepada Syaikh Nawawi kenapa Beliau tidak pernah mengajar di Masjidil Haram? Beliau menjawab, karena pakaian yang dipakai itu jelek dan penampakan fisiknya itu tidak sesuai dengan penampilan para profesor yang terhormat yang mengajar di Haram.
Selain informasi tentang kehidupan Syaikh Nawawi, buku ini juga merekam cerita tentang ulama dan orang Jawa lainnya di Mekkah.[]