Syair-Syair Rumi Tentang Manusia

Modernisme menaksir manusia dengan pendekatan grand theory. Dalam konsep humanisme mereka, potensi kebaikan berasal dari dalam diri manusia dan keburukan datang dari luar. Hal ini berakibat ketika manusia bersalah, ia akan selalu membantah kesalahannya sendiri, karena merasa bahwa potensi buruk itu berasal dari pengaruh lain di luar diri.

Padahal dalam diri manusia terdapat bibit keburukan sekaligus juga kebaikan. Seperti yang disinggung pada ayat berikut ini:

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ ٧ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ ٨

Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. (QS. asy-Syams/91: 7-8)

Menurut Quraish Shihab dalam penafsirannya, ayat di atas menerangkan tentang jiwa manusia sebagai ciptaan yang sempurna, dari kesempurnaannya itu seorang manusia dapat memiliki hal baik dan buruk. Namun Allah juga mengilhami manusia kemampuan untuk melewati jalur ketakwaan dan kedurhakaan, sehingga ia bisa membedakan jalan mana yang benar dan salah.

Potensi Baik dan Buruk Dalam Diri Manusia

Melalui syair-syairnya, Rumi ingin mengingatkan kita bahwa dalam diri manusia terdapat kekuatan yang kontradiksi, yaitu kecenderungan untuk berbuat jahat dan juga ada kecenderungan untuk bersikap baik.

Terkadang manusia menyerupai sifat serigala

Di lain waktu manusia menjelma keindahan Yusuf

(Matsnawi, bait 1420)

Baca juga:  Ngaji Tuwo ala Mbah Moen

Manusia memang diberikan potensi keburukan, namun hal ini tidak berarti serta-merta ia pasti akan berbuat kejahatan. Sebuah penelitian tentang ilmu neuroscience tahun 1995 menemukan perihal bagaimana otak manusia bekerja, seperti juga bagaimana otak dapat menghasilkan emosi marah, iri, benci, dengki, dan sebagainya. Dari penemuan itu dapatlah kita pahami bahwa bukan salah takdir jika manusia berbuat kejahatan, karena tidak ada pengaruh gen (keturunan) jahat dari dalam diri, melainkan gen hanya memberikan kecenderungan atau potensi untuk melakukan keburukan.

Hal ini bisa dianalogikan dengan sebuah pisau, ketika pisau digunakan dengan niat dan cara yang baik maka akan bermanfaat seperti misalnya digunakan untuk memotong buah dan sayur. Namun jika digunakaan untuk untuk hal-hal yang tidak dibenarkan, tentu akan bernilai keburukan.

Memaksimalkan Potensi Kebaikan

Wujud manusia laksana hutan belukar

Hanya mereka yang berpegang pada tali Allah-lah yang akan selamat

Dalam diri manusia ada ribuan srigala dan babi

Shalih dan tidak, baik dan buruk

(Matsnawi, bait 1416-1417)

Bait-bait puisi di atas, disuarakan oleh Jalaluddin Rumi supaya manusia tidak mudah berputus asa, meskipun potensi keburukan dalam diri manusia akan selalu ada dan tidak bisa dihilangkan. Dua hal; potensi kebaikan dan keburukan berjalan beriringan karena kebaikan tidak akan ada tanpa keburukan begitu pula sebaliknya.

Baca juga:  Raden Imam Zarkasyi Seorang Rushdian?

Akan tetapi Allah tidak hanya menganugerahkan dua potensi tersebut, sebagaimana ayat yang termaktub di atas, Dia juga memberi inspirasi atau ilham dan mengenalkan kepada kita tentang jalan kefasikan dan ketakwaan, darinya kita mengetahui bahwa jalan kefasikan akan membawa pada kerusakan, sedangkan jalan ketakwaan akan mangantarkan pada hal-hal yang baik.

Bekal dari Sang Pemberi petunjuk berupa kitab al-Quran dan juga akal yang dengannya kita dapat berpikir, memilih, serta mengambil keputusan potensi mana yang harus terus-menerus dipelihara dan dikembangkan. Siapa pun yang sudah melahap betul bekal itu, mereka dapat manjatuhkan kemana pilihan yang tepat, tentu saja potensi untuk berbuat baik yang perlu dirawat dan dimaksimalkan di lain sisi berusaha membuang perasaan untuk berbuat buruk.[]

Wallahu a’lam bisshowab.

https://alif.id/read/rrh/syair-syair-rumi-tentang-manusia-b245207p/