Oleh: Ahmad Karomi* Siang itu, saya berkesempatan mendengarkan beberapa kisah kiai-kiai tempo dulu dari Kiai Hisam Mansur Kalipucung Bl…
Oleh: Ahmad Karomi*
Siang itu, saya berkesempatan mendengarkan beberapa kisah kiai-kiai tempo dulu dari Kiai Hisam Mansur Kalipucung Blitar. Beliau berkisah masa mudanya tatkala nyantri ke sejumlah kiai, seperti Syekh Masduqi, Kiai Baidowi, Kiai Maksum, Kiai Zuber Sarang, Kiai Djazuli Ploso hingga pergaulannya dengan Gus Miek, Ploso. Dari beberapa kisah itu, saya tertarik menulis tentang Syekh Masduki Lasem.
Syekh Masduki Lasem (1908-1975) adalah nama ulama tersohor yang sudah tidak disangsikan lagi akan kealimannya. Saking alimnya, cara beliau membaca kitab berbeda dengan kiai lainnya.
Menurut penuturan Kiai Hisam Mansur (82) Kalipucung Blitar, “Syekh Masduki kuwi alime sundul-sundul, sampek-sampek nek maknani kitab ora tau nggawe “la’alla al-shawab” (kemungkinan benar). Pokok nek moco kitab keroso redaksine ora penak langsung berkata kepada para santri: “Co, iki keliru, iki salah, coret!”. (Syekh Masduki itu sangat alim, sampai-sampai beliau kalau memaknai kitab tidak pernah menggunakan redaksi “la’alla al-shawab”, pokok tiap baca kitab, koq redaksinya terasa ngganjal dan tidak enak bacaannya, langsung memerintahkan santri-santri untuk mencoret teks tersebut).
Kebiasaan ini pun didengar oleh para kiai termasuk Kiai Mansur (w.1964) Kalipucung Blitar, akhirnya Kiai Mansur mewanti putra-putranya untuk tidak nyantri ke Syekh Masduki kuatir akan mengikuti kebiasaan “nyoret dan nyalahno redaksi teks kitab”, karena hal itu kurang mencerminkan tradisi pesantren, lha wong sekelas Kiai Maksum dan Kiai Baidowi saja masih pakai “la’alla al-shawab”. Bahkan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dalam kitab koleksinya yang berjudul Qawaid Al-Ahkam pun menuliskan “la’allahu”.
Akan tetapi Kiai Hisam Mansur tetap bertekad untuk budal ngaji kepada para masyayikh di Lasem, tak terkecuali mengaji kitab Asybah wan Nadzoir kepada Syekh Masduki Lasem pada tahun 1958-1959an. Di tengah pengajian tersebut ternyata apa yang selama ini didengar tentang kealimannya memang benar adanya, termasuk “nyoreti” redaksi kitab tanpa “la’alla al-shawab”.
Kiai Hisam pun semakin tertarik untuk mengikuti pengajian dari Syekh Masduki sembari ngaji ke Kiai Maksum dan Kiai Baidowi. Kebiasaan Syekh Masduki ini dipahami oleh para santri–termasuk Kiai Hisam–merupakan koreksi, kritik terhadap kesalahan cetakan kitabnya saja, bukan memposisikan diri lebih alim dari muallifnya.
Kisah sepeminum kopi ini pun saya coba mengaitkan dengan salah satu kisah mashur kritik Syekh Masduki terhadap kitab Sirajuttalibin karya Kiai Ihsan Jampes. Tepatnya saat kitab tersebut beredar luas.
Dikarenakan Syekh Masduki sosok ulama yang kritis, konon beliau juga mengkritik redaksi yang ada dalam kitab itu, mulai dari sisi gramatika (nahwu, sharaf, balaghah) hingga pengertiannya yang dirasa kurang tepat atau malah mungkin keliru.
Mendengar itu, Kiai Jipang bin Kiai Fadil Batokan (nama aslinya M.Tolhah Munsorif, masih terhitung saudara sepupu Kiai Ihsan Jampes) ini akhirnya berangkat ke Lasem dengan berbusana layaknya penjual pisang menemui Syaikh Masduqi.
Perlu diketahui, Kiai Jipang memang memiliki kebiasaan jualan aneka sayur di pasar dengan atribut pakai udeng, dan “nyeker” (tanpa alas kaki). Beliau kerap berbaur dengan masyarakat, sehingga aura kekiaiannya tidak terlalu menonjol, apalagi bagi mereka yang baru mengenal sepintas pasti menganggapnya bakul seperti pada umumnya.
Nah, ketika Kiai Jipang menemui Syekh Masduki, terjadilah perdebatan seru dan panjang di antara mereka terkait kitab Sirattalibin. Setelah perdebatan itu selesai, Kiai Jipang yang merupakan menantu Kiai Mansur Kalipucung Blitar, sekaligus keponakan Kiai Abd Karim Lirboyo itu pun pamit pulang.
Tak lama kemudian, Syaikh Masduki mengatakan pada para santrinya: “Aku tas wae kalah debatan je karo bakul gedang ko Kediri” (Saya baru saja kalah berdebat sama penjual pisang dari Kediri).
Dari kisah ini, saya mencoba menarik kesimpulan, bahwa frasa “la’alla al-shawab” sebenarnya merupakan kata kunci untuk memperluas wawasan, cara pandang (tentunya juga bentuk takzim pada penulisnya), karena masih sangat mungkin pendapat lain lebih tepat ketimbang pendapat dirinya sendiri.
Sungguh sangat kaya khazanah keilmuan ulama dulu, mereka terbuka untuk berdialektika, mengedepankan “tukar ilmu” (berbagi ilmu) bukan “tukaran” (bertengkar).
Hal ini menegaskan pula bahwa ruang kritik sangat terbuka bebas dan disampaikan secara face to face, secara personal tanpa mengerahkan massa, atau memprovokasi untuk menjatuhkan sepihak. Sebuah keteladanan agar tetap kritis dan tentunya menggunakan keilmuan yang mumpuni serta mengedepankan akhlaqul karimah. Wallahu A’lam.
(Blitar, 20/06/2020)
_______________________
*PW LTNNU, Alumni Al-falah Ploso Kediri, Alumni UINSA.
https://www.halaqoh.net/2020/06/syekh-maduki-kiai-jipang-dan-tradisi.html