Di awal tahun 2000, Rafly Kande seorang penyanyi tersohor asal Aceh merilis sebuah album bertema religius-sufistik dengan tajuk Ainal Mardhiah. Salah satu lagu dari album ini yang penuh dengan pesan-pesan sufistik ialah lagu Syair Perahu. Lagu ini merupakan saduran dari syair berbahasa Melayu yang ditulis oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama dan sufi yang hidup sekitar abad ke-17 di Aceh. Lagu itu pun kemudian masyhur di kalangan masyarakat Aceh dan Melayu.
Ketika kecil, saya sendiri sering mendengarkan lagu tersebut melalui tape yang diputar oleh orang tua. Lagunya begitu enak didengar terlebih diiringi oleh suara merdu khas Rafly Kande. Namun, baru belakangan ini saya menyadari bahwa lagu tersebut memiliki muatan hikmah dan syiar sufistik yang begitu mendalam.
Sekilas tentang Hamzah Fansuri, Ia dilahirkan di sebuah desa bernama Barus di pesisir barat Sumatera Barat. Desa tempat kelahirannya inilah yang kemudian disematkan pada namanya, Al-Fansuri dari kata Barus. Tidak ada sumber yang menyebut dengan pasti tanggal kelahirannya. Namun yang pasti Hamzah Fansuri hidup di sekitar penghujung abad ke-15 hingga awal abad ke-16.
Hamzah Fansuri pernah menjadi guru Syamsuddin Sumatrani. Mereka menyebarluaskan aliran tasawuf Wujudiyyah Ibnu Arabi di nusantara yang nantinya mendapat kecaman keras oleh Nuruddin Ar-Raniry.
Selama hidupnnya, Hamzah Fansuri melakukan pengembaraan untuk menuntu ilmu ke berbagai penjuru. Ia pernah menuntut ilmu ke Jawa, Siam, India, Persia, Makkah, Madinah, Baghdad dan lain-lain. Di Baghdad ia berkenalan dengan tarekat Qadiriyyah dan kemudian memperdalaminya. Ia menyemai pemahaman sufistik melalui sosok-sosok seperti Abu Yazid al-Bushtomi, Ibnu Arabi, Abdul Qadir al-Jailani, dan beberapa ulama dan sufi lainnya.
Hamzah Fansuri melahirkan banyak karya terutama di bidang sastra. Ia menulis syair-syair sufistik seperti Syair Perahu, Syair Ikan Tongkol, Syair Dagang, Syair Burung Pingai, Syair Anggur, dan lain-lain. Ia juga menulis Kitab yang berkaitan dengan sufisme seperti Asrarul Arifin, Syarabu Asyiqin, dan Al-Muntahi.
Adalah Syair Perahu yang menjadi salah satu karyanya yang paling tersohor. Muatan makna dan nilai-nilai tasawuf yang terdapat di dalamnya dilantunkan secara indah dengan rima dan gaya bahasa Melayu lama. Syair ini terbilang Panjang karena terdiri dari 40 bait yang setiap baitnya memuat pesan-pesan sufistik yang dalam. Berikut beberapa bait dari syairnya tersebut.
Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah.
Hamzah Fansuri membuka syairnya melalui bait ini dengan menyebutnya sebagai untain syair yang indah. Tujuan dari pembuatan syair ini adalah untuk membetuli atau memperbaiki jalan setiap orang (salik) menuju Tuhannya. Yakni dengan memperbaiki niat dan iktikad dalam hidup supaya sampai kepada Tuhan dengan selamat.
Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.
Nasihat yang pertama kali diutarakan oleh Hamzah Fansuri dalam untaian syair ini ialah perlunya bagi setiap orang, khususnya para muda-mudi untuk mengenali dirinya. ia menjadikan perahu sebagai tamsil atau pengibaratan atas diri manusia. Untuk dapat berlayar dan mengarungi lautan dengan selamat, setiap orang haruslah mengenali dengan detail perahu yang akan ia kendarai.
Kiranya pesan yang disampaikan oleh Hamzah Fansuri ini berkesesuian dengan kaul Yahya bin Muadz Ar–Razi yang acap kita dengar dalam ajaran-ajaran sufisme “Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu” (Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya).
Pada baris selanjtunya, ia dengan terang meyampaikan bahwa kehidupan manusia hanyalah sebentar dan begitu fana. Ujung daripada perjalanan dan kehidupan ini ialah kematian. Di akhirat lah manusia nantinya akan kekal abadi. Khalidiina Fiiha Abada.
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Pada bait ini, ia menyeru para pemuda yang bijak dan berbudi pekerti untuk senantiasa memegang teguh pedoman yang ada. Dalam berlayar, siapapun memerlukan petunjuk untuk mencapai tujuan akhir, baik berbentuk peta maupun kemampuan untuk menentukan arah mata angin. Di sini, pedoman yang dimaksud oleh Hamzah Fansuri ialah Alquran dan hadis.
Setiap orang yang ingin selamat dalam perjalanan menuju Tuhannya, harus menjadikan dua sumber utama tersebut sebagai petunjuk.
Makna alat perahu dalam bait ini dapat dipahami sebagai potensi pribadi yang terdapat dalam diri setiap manusia. Di samping menggunakan Alquran dan hadis sebagai pedoman, manusia perlu mencari tahu apa potensi baik yang ada pada dirinya. Sebagaimana perahu, jika segala sesuatu yang ada padanya dimanfaatkan sesuai potensi, maka akan mempermudah dan memperlancar perjalanan orang yang mengendarainya.
Jika segala aspek yang berkaitan dengan perjalanan ini diberdayakan, baik pedoman berupa Alquran dan hadis maupun potensi-potensi bawaan, maka siapapun akan selamat menuju Pelabuhan Tuhan yang menjadi cita-cita setiap salik atau pelayar.
“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.
Referensi
Alwi Shihab. 2002. Islam Sufistik Mizan: Bandung
Abdul Hadi W.M.. 1995. Hamzah Fansuri: risalah tasawuf dan puisi-puisinya. Mizan: Bandung
Muliadi Kurdi. 2013. Hamzah Fansuri : ulama Aceh terkenal dalam kealiman dan kesufian. Penerbit Naskah Banda Aceh: Banda Aceh
Naufah Ainiyyah Hilmi, dkk. 2023. “Nilai Religius dalam Syair “Perahu” Karya Hamzah Fansuri: Pendekatan Semiotik”. Literature Research Journal Vol. 1 No. 1
Baca Juga
https://alif.id/read/abl/syiar-dalam-syair-perahu-hamzah-fansuri-b248404p/