Dalam khazanah penyebaran Islam di Nusantara, tradisi tutur kisah Nabi Yusuf dan Siti Zulaikha memiliki keistimewaan serta sejarah yang begitu panjang. Seperti di Banyuwangi, masyarakat Osing di sana memiliki tradisi memacan lontar yusup yang pembacaannya dilakukan pada malam hari/ba’da isya’ sampai sebelum masuknya waktu shalat subuh (sekitar jam 03.00).
Wiwin Indiarti menduga bahwa naskah lontar yang ada di Banyuwangi tersebut merupakan salinan naskah lontar Yusuf dari Cirebon bertarikh Jawa 1555 (1633–1634 M), namun diantara keduanya terdapat perbedaan perbendaharaan kosa kata serta detail-detail corak pengisahannya.[1]
Adapun syi’ir Nabi Yusuf yang akan kita bahas ini ditulis dalam bahasa Madura dan usianya kira-kira lebih muda dikarenakan dalam kitab yang diterbitkan oleh Penerbit Sumber Ilmu Surabaya ini tidak ditemukan kolofon selesainya penulisan kitab ini di bagian akhir kitab.
Adalah KH. R. Abdul Majid Tamim, seorang ulama’ asal Pamekasan-Madura yang beristrikan seorang aktivis Muslimat NU ranting Condro, Kaliwates, Jember, dikenal sebagai ulama’ yang produktif menulis dan menerjemahkan beragam kitab ke dalam bahasa Jawa- Madura.
Produktivitasnya menulis menjadikan beliau sejajar dengan ulama’ Nusantara lain yang produktif menulis. Sebut saja seperti dua bersaudara KH. Misbah Zainal Mustofa dan KH. Bisri Mustofa. Kiai Abdul Majid Tamim menulis serta menerjemahkan beragam kitab kuning dalam berbagai disiplin keilmuan, baik itu ilmu alat, tafsir Qur’an, hadits, fiqih, dll.
Syiir Nabi Yusuf yang beliau susun ini memuat sebanyak 14 sub bab pembahasan yang meliputi perincian sebagaimana berikut: Potranah Nabi Ya’qub Alaihis Salam (putranya nabi Ya’qub Alaihis Salam), Yusuf Alaihis Salam Amimpi (Nabi Yusuf Alaihis Salam bermimpi), Yusuf Alaihis Salam Norok Kakak’an (Yusuf Alahis Salam Ikut Saudaranya), Sumur Mateh (Sumur Mati), Laporan Palsu, Yusuf Alaihis Salam Ejuel (Yusuf Alahis Salam Dijual), Kegantengan Yusuf Ngeruntuagi Ibu Angkat (Kegantengan Nabi Yusuf Meluluhkan Ibu Angkatnya), Yusuf Efitnah (Yusuf Difitnah), Yusuf Masuk Penjara, Eangkat Deddi Rasulullah (Nabi Yusuf Diangkat Menjadi Utusan Allah), Ta’bir Mimpi Aneh, Yusuf Deddi Raja Modhe (Yusuf Jadi Raja Muda), Yusuf Anikah Sareng Zulaikho (Yusuf Menikahi Zulaikho), Istirahat (Bab Penutup Sementara).
Adapun penulisan kitab ini menggunakan aksara Arab-Pegon dan yang menarik dalam kitab ini adalah Kiai Majid Tamim tidak menyelesaikan dengan utuh kisah perjalanan Nabi Yusuf dari awal mimpinya sampai ia memboyong Bani Ya’qub ke istananya di Mesir. Di akhir pembahasan Kiai Majid menuliskan syair penutup sementara sebagaimana berikut,
Syi’ir putus ghik tak tamat # Nerusagih bektoh sempat
(Syi’ir putus dahulu masih belum tamat # Akan diteruskan jika ada waktu luang)
Bade nyusul pepanggihan # Abah, ibu, ben trettan
(Akan menyusul perjumpaan # Abah, ibu, dan juga saudara sekalian)
Insya’ Allah budih areh # terusan sampek lestareh
(Insya’ Allah dilain hari # akan diteruskan sampai selesai).
Dari bab penutup tersebut muncul spekulasi dalam pikiran kami, bahwa penulisan syi’ir ini dilakukan oleh Kiai Majid untuk mengisi waktu luangnya. Aktivitas kesehariannya sebagai mubalig, menyebabkan penulisan syi’ir ini tidak rampung secara sempurna. Sampai saat ini kami pun belum menemukan episode lanjutan penulisan kitab syi’ir yang kami temukan di Toko Kitab Saleh Salim, Pasar Tanjung, Jember.
Mengutip dari beberapa sumber, Nabi Yusuf Alaihis Salam diangkat menjadi Nabi & Rasul ketika berada di dalam penjara. Perihal tersebut juga digambarkan oleh Kiai Abdul Majid Tamim dalam syiir ini,
Epenjara pas eangkat # Deddi Rasul olle rahmat
(Berada di penjara pas diangkat # Menjadi Rasul mendapatkan rahmat)
Tambah hormat kemuljean # ngaolle keparcaje’an
(Tambah hormat karena kemuliaan # mendapat kepercayaan sebagai Rasul)
Ibroh atau pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah Nabi Yusuf ini adalah kesabaran beliau ketika diuji oleh Allah sehingga membuahkan hasil sampai beliau diangkat sebagai bendahara kerajaan Mesir kuno. Dan kiranya kitab karya Kiai Abdul Majid Tamim Al Pamekasani ini perlu untuk diperbanyak kembali sebagai bahan pelajaran pada madrasah diniyah di Pulau Madura wabil khusus Indonesia keseluruhan selain menjadi bukti akan kekayaan khazanah turots ulama’ kita di bumi Nusantara tercinta. Wallahu a’lam.
[1] Wiwin Indiarti, “Lontar Yusup Banyuwangi : Teks Pegon – Transliterasi – Terjemahan”, (Yogyakarta : Elmatera Publishing, Juli : 2018), hal. 03