Tafsir Al-Isra’ Ayat 70: Menyingkap Rahasia Keistimewaan Manusia

Al-Qur’an, dalam surat Al-Isra’ ayat 70 menjelaskan tentang kemuliaan manusia. Ayat ini menjadi landasan bagi umat Islam untuk memahami kedudukannya di muka bumi. Mari kita kupas makna ayat tersebut beserta tafsirnya.
 

Allah berfirman:
 

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْٓ اٰدَمَ وَحَمَلْنٰهُمْ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنٰهُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ وَفَضَّلْنٰهُمْ عَلٰى كَثِيْرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلًاࣖ ۝٧٠
 

Wa laqad karramnā banī ādama wa ḥamalnāhum fil-barri wal-baḥri wa razaqnāhum minaṭ-ṭayyibāti wa faḍḍalnāhum ‘alā kaṡīrim mimman khalaqnā tafḍīlā(n).
 

Artinya, “Sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkut mereka di darat dan di laut. Kami anugerahkan pula kepada mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
 

Ragam Tafsir 

Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah jilid VII halaman 513 menjelaskan, ayat ini dimulai dengan sumpah Allah yakni dengan “qad” (قَدْ) yang menegaskan kemuliaan manusia (anak cucu Adam) dengan dikaruniai berbagai kelebihan. Tubuh yang indah, kemampuan berbicara dan berpikir, serta pengetahuan, menjadi bukti keistimewaan manusia. Kebebasan memilih pun diberikan, memungkinkan mereka untuk menentukan jalan hidup. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, jilid VII, halaman 513).
 

Allah memuliakan manusia dengan menyediakan berbagai kemudahan. Mereka diberikan akses untuk menjelajahi daratan dan lautan dengan berbagai alat transportasi, baik yang diciptakan langsung oleh Allah maupun yang diciptakan atas ilham-Nya. Kemampuan menjelajahi ini memungkinkan manusia untuk memanfaatkan bumi dan angkasa yang diciptakan Allah untuk kemaslahatan mereka.
 

Singkatnya, ayat ini merupakan penegasan atas kemuliaan manusia yang dianugerahi berbagai kelebihan dan kemudahan oleh Allah. Keistimewaan ini menjadi tanggung jawab besar bagi manusia untuk menggunakannya dengan sebaik-baiknya dan senantiasa bersyukur kepada Allah.
 

Sementara itu Abu Hayyan Al-Andalusi dalam kitab Tafsir Bahrul Muhith jilid VI halaman 62 mengatakan, bahwa kata “karamna” (كَرَّمْنَا) dalam bahasa Arab berasal dari kata كَرَمَ “karama” yang memiliki makna yang sangat mendalam. Jika diurai, kata ini merujuk pada tindakan memuliakan dan mengangkat derajat seseorang, bukan hanya dalam hal harta benda, tetapi juga dalam aspek kehormatan dan kebaikan yang berlimpah.
 

Seperti yang dijelaskan, “Pakaian yang mulia”,  bukan diartikan sebagai barang yang mahal, melainkan memiliki kualitas dan keunggulan yang membuatnya istimewa. Kehormatan yang dimaksud pun bukan hanya tentang pangkat atau status sosial, tetapi juga tentang akhlak mulia, kecerdasan, dan kontribusi positif bagi masyarakat.
 

Para ahli tafsir memberikan berbagai contoh tentang bagaimana memuliakan dan memberi keutamaan kepada seseorang. Ibn Abbas, misalnya, menyebutkan bahwa keutamaan dapat diperoleh melalui kecerdasan, Ad-Dahhak dengan kemampuan berbicara, dan ‘Atha dengan postur tubuh yang tegak dan panjang. 
 

Muhammad bin Ka’ab mengatakan yang dimaksud dengan “kemuliaan” manusia adalah Allah menjadikan Muhammad  SAW salah satu golongan manusia. Sementara Ibnu Jarir mengatakan letak kemuliaan manusia karena kemampuan menguasai orang lain dan memanfaatkannya.  Contoh-contoh ini bukan batasan, melainkan menunjukkan berbagai cara seseorang dapat dihormati.
 

Ada satu pendapat yang sangat bagus dari Ibnu ‘Athiyah tentang manusia. Ia berkata bahwa beberapa hewan memang memiliki keunggulan fisik yang melebihi manusia, seperti kekuatan gajah, kecepatan kuda, dan ketajaman penglihatan elang. Namun, kehormatan dan keutamaan sejati hanya dimiliki oleh manusia yang diberkahi dengan akal. Akal memungkinkan manusia untuk mengenal Allah, memahami ajaran-Nya, dan mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
 

وكرم معدى بالتضعيف من كرم أي : جعلناهم ذوي كرم بمعنى الشرف والمحاسن الجمة ، كما تقول : ثوب كريم وفرس كريم أي : جامع للمحاسن وليس من كرم المال
 

Artinya, “Dan kata “كَرَّمَ” (makna harfiah: memuliakan) dalam bahasa Arab ditambahkan huruf tasdid, untuk menunjukkan keistimewaan. Maksudnya, kami menjadikan mereka orang-orang yang mulia dalam arti memiliki kehormatan dan sifat-sifat terpuji yang banyak.
 

Seperti halnya ketika kita mengatakan “ثَوْبٌ كَرِيمٌ” (kain yang mulia) dan “فَرَسٌ كَرِيمٌ” (kuda yang mulia), maksudnya adalah memiliki banyak sifat terpuji, bukan mulia karena harta kekayaan.” (Abu Hayyan Al-Andalusi, Tafsir Bahrul Muhith, [Beirut, Darut Turats Al-‘Araby: tt], jilid VI, halaman 62).
 

Sebenarnya, kata “karamna” memiliki makna yang mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan dan rasa hormat. Memahami makna ini dapat membantu kita menumbuhkan rasa hormat dan penghargaan yang tulus kepada sesama manusia, tanpa memandang harta benda atau status sosial.
 

Kehormatan sejati tidak terletak pada kekayaan atau status sosial, melainkan pada kebaikan hati, kecerdasan, dan kontribusi positif bagi masyarakat. Individu yang mulia adalah mereka yang berakhlak mulia, cerdas, dan memberikan manfaat bagi orang lain. Hal ini sejalan dengan ajaran agama, seperti dalam ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah tidak melihat rupa dan harta manusia, melainkan melihat hati dan amal mereka.
 

Dengan memahami makna “Karamna”, kita dapat terhindar dari sikap sombong dan diskriminasi. Kita didorong untuk menghargai setiap manusia dengan apa adanya, tanpa melihat perbedaan latar belakang. Penghargaan ini akan menciptakan hubungan yang lebih harmonis dan saling menghormati dalam masyarakat.
 

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi saw bersabda bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh rupa dan hartanya, melainkan dengan amal kebaikan dan takwa pada Allah. 
 

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِـنْ يَنْظُرُ إِلَى قُــــلُوبِكُمْ وَأَعْمَــالِكُمْ 
 

Artinya, “Sungguh Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian.” (HR Muslim).
 

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah menilai manusia berdasarkan perilakunya dan ketakwaannya. Orang yang berhati mulia dan selalu beramal saleh, itulah yang mulia di mata Allah. Meskipun seseorang memiliki rupa yang menawan dan harta yang berlimpah, namun jika hatinya kotor dan tidak pernah beramal saleh, maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan di sisi Allah. Sebaliknya, orang yang sederhana dan tidak memiliki harta yang banyak, namun hatinya bersih dan selalu beramal saleh, dialah yang mulia di mata Allah.
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Tafsir Al-Munir jilid XV halaman 121 menjelaskan, manusia dimuliakan oleh Allah dengan penciptaan dalam bentuk terbaik. Keistimewaan ini diwujudkan dalam pemberian akal sebagai sarana untuk meraih ilmu, pengetahuan, kemajuan, dan peradaban. Akal ini menjadi alat untuk memahami hakikat segala sesuatu, cara berproduksi, bertani, berdagang, dan masih banyak lagi.
 

Pemberian akal juga menjadi anugerah bagi manusia untuk memahami bahasa, merenungkan anugerah Allah di bumi, memanfaatkan energi, menundukkan apa yang ada di angkasa dan di bumi. Dengan akal, manusia mampu menciptakan berbagai sarana angkutan, sarana kehidupan dan penghidupan, serta membedakan hal-hal yang bermanfaat dan berbahaya bagi agama dan dunia.
 

Akal menjadi pembeda utama antara manusia dengan makhluk lainnya. Kemampuan ini memungkinkan manusia untuk terus berkembang dan mencapai peradaban yang tinggi. Sebagai makhluk yang dimuliakan, manusia dituntut untuk menggunakan akal dengan bijak dan bertanggung jawab. Akal harus menjadi alat untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
 

Akal menjadi alat istimewa untuk mengetahui hakikat segala sesuatu, cara berproduksi, bertani, berdagang, bahasa, dan masih banyak lagi. Dengan akal, manusia mampu memanfaatkan energi, menundukkan apa yang ada di angkasa dan bumi, menciptakan berbagai sarana angkutan, sarana kehidupan dan penghidupan, serta membedakan hal baik dan buruk bagi agama dan dunia.
 

Pemberian akal ini menjadi bukti kemuliaan manusia di atas makhluk lain. Akal memungkinkan manusia untuk terus belajar, berkembang, dan berkarya. Dengan akal pula, manusia dapat menjalankan amanah sebagai khalifah di muka bumi.
 

Sebagai kesimpulan, kemuliaan manusia terletak pada penciptaan dalam bentuk terbaik dan dibekali akal. Akal ini menjadi alat untuk meraih ilmu, pengetahuan, kemajuan, dan peradaban. Penggunaan akal yang bijak dan bertanggung jawab menjadi kunci bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
 

كَرَّمْنا فضلنا. {بَنِي آدَمَ} بحسن الصورة والمزاج الأعدل واعتدال القامة، والتمييز بالعقل والعلم، والإفهام بالنطق والإشارة، والاهتداء إلى أسباب المعاش والمعاد، والتسلط‍ على ما في الأرض، والتمكن من الصناعات، والطهارة بعد الموت، أي أن التكريم بالخلق في أحسن تقويم، وبالعقل أداة العلم والمعرفة والتقدم والتمدن
 

Artinya, “(Kami mengagungkan), artinya kami karuniakan. (Keturunan Adam), maksudnya manusia dengan keindahan bentuk, kepribadian yang adil, postur tubuh yang seimbang, dan pengetahuan dengan akal dan ilmu, serta kemampuan untuk memahami dan berkomunikasi, serta mengetahui cara hidup dan tujuan hidup, serta menguasai apa yang ada di bumi, dan keahlian dalam industri, dan kesucian setelah kematian, artinya penghargaan atas penciptaan dalam bentuk yang terbaik, dan dengan akal sebagai alat untuk ilmu pengetahuan, kemajuan, dan peradaban.” (Wahbah Az-Zuhaili, Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikri Al-Mu’ashir: 1991], jilid XV, halaman 121).
 

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tafsir Marah Labib jilid I halaman 532 menjelaskan, ayat 70  surah Al-Isra’  menjelaskan manusia diciptakan dengan keistimewaan yang luar biasa oleh Allah. Kita dikaruniai rupa yang indah, postur tubuh yang tegak, dan kekuasaan atas apa yang ada di bumi. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk memanfaatkan berbagai kenikmatan dan menguasai berbagai bidang, seperti industri, ilmu pengetahuan, berbicara, dan makan dengan tangan.
 

Selain itu, Allah juga memudahkan mobilitas kita dengan memberikan kendaraan dan hewan tunggangan untuk di daratan, dan kapal untuk di lautan. Allah juga menyediakan berbagai rezeki yang lezat dari berbagai jenis hewan ternak dan tanaman. Semua ini menunjukkan kasih sayang Allah yang begitu besar kepada manusia.
 

Keistimewaan manusia tidak berhenti di situ. Allah juga memberikan akal dan kekuatan nalar yang memungkinkan kita untuk membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Kemampuan ini jauh melebihi para malaikat. Karena itu, sudah sewajarnya bagi manusia untuk bersyukur atas nikmat-nikmat ini dan menggunakan kekuatan mereka untuk mendapatkan keyakinan yang benar. 
 

أي فضلناهم على غير الملائكة تفضيلا عظيما بالعقل والقوى المدركة التي يتميز بها الحق من الباطل والحسن من القبيح فحق عليهم أن يشكروا هذه النعم ويستعملوا قواهم في تحصيل العقائد الحقة
 

Artinya, “Kami telah memuliakan mereka (manusia) di atas para malaikat dengan kemuliaan yang besar dengan memberikan akal dan kekuatan pemahaman yang membedakan antara yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Maka, patutlah mereka bersyukur atas nikmat ini dan menggunakan kekuatan mereka untuk mendapatkan keyakinan yang benar.” (Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, jilid I, halaman 532).
 

Dengan demikian, ayat 70 dalam surah Al-Isra’ membicarakan kemuliaan manusia di mata Allah. Para ahli tafsir sepakat bahwa manusia diciptakan dengan keistimewaan dibanding makhluk lain. Allah memberikan berbagai kelebihan kepada manusia. Akal untuk berpikir, fisik yang tegap untuk beraktivitas, serta kebebasan berkehendak.
 

Selain itu, manusia diberi kemudahan untuk hidup di bumi,  di antaranya dengan penyediaan kendaraan untuk darat dan laut serta rezeki yang lezat dan baik untuk dikonsumsi.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat Jakarta

https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-al-isra-ayat-70-menyingkap-rahasia-keistimewaan-manusia-WSAgQ