Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 37: Menyingkap Rahasia Kurban

Surat Al-Hajj ayat 37 mengajarkan tentang makna sejati dari ibadah kurban. Allah menegaskan bahwa daging dan darah hewan kurban secara fisik tidak akan sampai kepada-Nya. Ini menekankan bahwa aspek fisik dari kurban itu sendiri bukanlah tujuan utama dari ibadah ini. Allah tidak memerlukan materi atau benda dari hamba-Nya, tetapi yang Dia perhatikan adalah ketakwaan, keikhlasan, dan kepatuhan yang ada di dalam hati orang yang berkurban. 

Ibadah kurban adalah sarana untuk menguji dan memperkuat ketakwaan, serta menunjukkan ketaatan kita kepada Allah. Daging dan darah hewan kurban hanyalah sarana untuk mengantarkan ketakwaan dan rasa syukur tersebut kepada Allah swt. Simak firman Allah dalam Surat al-Hajj ayat 37 berikut;

لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ

Lan yanālallāha luḥūmuhā wa lā dimā’uhā wa lākin yanāluhut-taqwā minkum, każālika sakhkharahā lakum litukabbirullāha ‘alā mā hadākum, wa basysyiril-muḥsinīn(a).

Artinya: “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang muhsin,”.

Tafsir Munir

Syekh Zuhaili dalam kitab Tafsir Munir, Jilid XVII, halaman 217 menjelaskan bahwa maksud ayat ke-37 dari Surat al-Hajj [لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا وَلٰكِنْ يَّنَالُهُ التَّقْوٰى مِنْكُمْۗ  ] menegaskan bahwa daging dan darah hewan kurban tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang diterima oleh-Nya adalah ketakwaan dari umat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa ibadah kurban bukan semata-mata tentang aspek fisik atau material, melainkan tentang niat, keikhlasan, dan ketakwaan yang terkandung di dalamnya.

Allah SWT mensyariatkan penyembelihan hewan sebagai bentuk pengingat untuk selalu mengingat dan menyebut nama-Nya dalam setiap ibadah dan tindakan. Oleh karena itu, esensi dari ibadah kurban terletak pada niat yang tulus dan ketakwaan yang mengiringi tindakan tersebut.

Pada masa jahiliyyah, praktik penyembelihan hewan kurban dilakukan dengan cara yang berbeda. Masyarakat pada masa itu menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada berhala-berhala mereka, dengan sebagian dagingnya diletakkan di berhala-berhala tersebut dan darahnya digunakan untuk melumuri berhala-berhala itu.

Ketika kaum Muslimin ingin melakukan hal yang serupa terhadap Ka’bah, Allah swt menurunkan ayat ini untuk meluruskan niat dan cara berkurban yang benar. Ayat ini menjadi penegasan bahwa tujuan dari ibadah kurban adalah untuk menunjukkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah swt, bukan sekadar ritual fisik semata.

Allah swt kemudian mengingatkan kembali tentang penundukan binatang ternak untuk manusia, yang merupakan salah satu bentuk nikmat dari-Nya. Pengulangan ini bertujuan untuk menyadarkan manusia akan besarnya nikmat yang diberikan oleh Allah, sehingga mendorong mereka untuk selalu bersyukur dan memuji-Nya. Dengan menyadari dan mengingat nikmat-nikmat ini, umat manusia diharapkan dapat meningkatkan ketakwaan mereka serta melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.

Sementara itu, ayat [كَذٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ ۗ] menegaskan bahwa Allah swt menundukkan hewan-hewan kurban (al-Budn) untuk kepentingan manusia agar mereka dapat mengagungkan Allah dan bersyukur atas petunjuk-Nya. Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala nikmat dan kemudahan yang diberikan Allah swt bertujuan agar kita selalu mengingat-Nya dan mengucapkan rasa syukur. Petunjuk dan bimbingan Allah dalam agama dan syariat-Nya merupakan anugerah besar yang harus kita syukuri dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. [Syekh Zuhaili, Tafsir Munir, Jilid XVII, [Beirut: Darul Fikr Mu’ashir, 1991],  halaman 217]

Allah swt memberikan petunjuk kepada umat-Nya tentang hal-hal yang dicintai dan diridhai-Nya serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang dibenci dan tidak bermanfaat. Dengan petunjuk tersebut, Allah membimbing kita agar selalu berada di jalan yang benar dan terhindar dari kerugian. Ketaatan pada syariat Allah adalah bentuk syukur yang paling utama, karena di dalamnya terkandung segala kebaikan dan keberkahan yang Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya.

Ayat ini juga menjanjikan pahala yang besar bagi mereka yang mendapatkan petunjuk dan berpegang teguh pada jalan yang lurus. Orang-orang yang mengikuti bimbingan Allah akan mendapatkan balasan yang baik di dunia dan akhirat. Mereka yang menjadikan syariat Allah sebagai pedoman hidupnya akan selalu berada dalam lindungan dan rahmat-Nya, sehingga hidup mereka akan dipenuhi dengan ketenangan dan kebahagiaan.

Dalam lanjutan ayat ini [وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ], Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan berita gembira kepada orang-orang yang Muhsin, yaitu mereka yang berbuat baik dengan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang yang menjaga hukum-hukum Allah, mematuhi segala perintah-Nya, dan membenarkan risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, dijanjikan surga sebagai balasan atas kebaikan dan keikhlasan mereka dalam beramal. Berita gembira ini menjadi motivasi bagi umat Islam untuk terus berusaha memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah mereka. [Syekh DR. Zuhaili, Tafsir Munir, Jilid XVII,  [Beirut: Darul Fikr Mu’ashir, 1991], halaman 219]. 

Simak keterangan Syekh Wahbah Zuhaili berikut; 

أي إنما شرع الله لكم نحر هذه الهدايا والضحايا، لتذكروه عند ذبحها، ولن يصل إلى الله شيء من لحومها ولا من دمائها، ولكن يصله التقوى والإخلاص، وترفع إليه الأعمال الصالحة. وكان أهل الجاهلية إذا ذبحوها لآلهتهم، وضعوا عليها من لحوم قرابينهم، ونضحوا عليها من دمائها، وأراد المسلمون أن يفعلوا مثلهم، فنزلت الآية: {لَنْ يَنالَ اللهَ لُحُومُها.}. ثم كرر تعالى ذكر تسخير الأنعام وتذليلها للناس؛ لأن في الإعادة تذكيرا بالنعمة، الذي يبعث على شكرها، والثناء على الله من أجلها، والقيام بما يجب لعظمته وكبريائه،

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan kepada kalian menyembelih hewan kurban dan korban, agar kalian mengingat-Nya ketika menyembelihnya. Dan sekali-kali tidak sampai kepada Allah dagingnya dan darahnya, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dan keikhlasan kalian. Dan orang-orang jahiliah dahulu jika mereka menyembelih hewan kurban untuk tuhan-tuhan mereka, mereka meletakkan sebagian daging kurban mereka di atas patung-patung berhala mereka dan menyiramkan darahnya di atasnya. Dan kaum muslimin pun ingin melakukan seperti yang mereka lakukan. Maka turunlah ayat: “Daging hewan-hewan itu sekali-kali tidak sampai kepada Allah.” Kemudian Allah mengulangi penyebutan penundukan dan penjinakan hewan ternak untuk manusia; karena dalam pengulangan itu terdapat pengingat akan nikmat, yang mendorong untuk bersyukur atasnya, dan memuji Allah karenanya, dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan untuk keagungan dan kebesaran-Nya,”. [Syekh DR. Zuhaili, Tafsir Munir, Jilid XVII,  [Beirut: Darul Fikr Mu’ashir, 1991], halaman 219]. 

Tafsir Marah Labib 

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tafsir Marah Labib, Jilid II, halaman 73 menjelaskan bahwa daging dan darah hewan kurban tidak memiliki nilai pahala di sisi Allah swt. Hal ini ditegaskan dengan kalimat “لَنْ يَّنَالَ اللّٰهَ لُحُوْمُهَا وَلَا دِمَاۤؤُهَا” (Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah).

Lebih lanjut, ayat ini bukan berarti meniadakan ibadah kurban, melainkan menekankan bahwa inti dari kurban adalah ketakwaan dan keikhlasan. Daging dan darah hewan kurban hanyalah simbol dari ketaatan dan ketundukan hamba kepada Allah. Sejatinya, pada isi ayat ini menekankan bahwa inti dari ibadah kurban bukan terletak pada daging hewannya, melainkan pada ketakwaan dan keikhlasan hati sang pekurban. Allah swt tidak membutuhkan daging kurban, melainkan ketulusan dan ketaatan hamba-Nya.

Daging hewan kurban hanyalah sarana untuk mengantarkan amal shaleh kepada Allah. Amal shaleh yang dimaksud adalah bersedekah dengan daging kurban, mematuhi perintah Allah, memuliakan-Nya, dan mengikhlaskan diri kepada-Nya. Dengan demikian, daging kurban menjadi simbol ketaatan dan keikhlasan hamba dalam menjalankan ibadah.

لَنْ يَنالَ اللَّهَ لُحُومُها وَلا دِماؤُها وَلكِنْ يَنالُهُ التَّقْوى مِنْكُمْ أي لن يصل إلى الله تعالى أي إلى مرضاته لحوم القرابين ولا دماؤها، ولكن يقبل الله الأعمال الطاهرة منكم فمنها التصديق باللحم: وهو من عمل العبد فيرفع إلى الله وأما نفس اللحم المتصدق به: فلا يرفع إلى الله. والمعنى: إن الله لا يثيبكم على لحمها إلا إذا وقع موقعا من وجوه الخير وهو امتثال أمره تعالى وتعظيمه والإخلاص له تعالى

Artinya: “Maksudnya, daging dan darah hewan kurban tidak sampai kepada Allah Ta’ala, dan tidak pula bernilai pahala di sisi-Nya. Akan tetapi, Allah menerima amal-amal shaleh dari kalian. Salah satu amal shaleh tersebut adalah bersedekah dengan daging hewan kurban. Daging hewan kurban tersebut merupakan amal perbuatan hamba yang diangkat kepada Allah. Adapun daging hewan kurban itu sendiri tidak diangkat kepada Allah. Maksudnya, Allah tidak membalas pahala kepada kalian atas daging hewan kurban itu, kecuali jika daging tersebut digunakan untuk kebaikan, seperti mematuhi perintah Allah, memuliakan-Nya, dan mengikhlaskan diri kepada-Nya.” [Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, Jilid II, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah,  1417 H) halaman 73].

Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami makna di balik ibadah kurban, bukan hanya terpaku pada penyembelihan hewannya. Hendaknya kurban menjadi momen untuk meningkatkan ketakwaan dan keikhlasan diri kepada Allah swt.

Selanjutnya, Syekh Nawawi juga menjelaskan asbabun nuzul ayat 37 ini, yang berkaitan dengan praktik masyarakat Jahiliyah di sekitar Ka’bah. Pada masa itu, orang-orang musyrik memiliki kebiasaan melumuri daging kurban pada dinding Ka’bah dan mengotori tempat suci tersebut dengan darah hewan kurban sebagai bagian dari ritual keagamaan mereka.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Furaij bahwa ketika para sahabat Rasulullah saw melihat kebiasaan ini, mereka merasa bahwa mereka lebih berhak dan berkeinginan untuk melakukan tindakan tersebut sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah swt.

Namun, Allah swt menurunkan Surat Al-Hajj ayat 37 untuk meluruskan pemahaman dan tindakan para sahabat. Ayat ini menegaskan bahwa bukan daging maupun darah hewan kurban yang mencapai Allah, melainkan ketakwaan dari orang-orang yang melakukan kurban tersebut. Firman Allah ini memberikan pemahaman bahwa ritual yang berlebihan dan tidak berdasar tidak diterima, dan yang terpenting adalah ketulusan niat serta ketaatan kepada Allah swt.

Dengan turunnya ayat ini, Allah swt mengajarkan kepada umat Islam bahwa ibadah dan pengorbanan yang diterima di sisi-Nya adalah yang dilakukan dengan niat yang tulus dan ikhlas. Allah menghapus tradisi jahiliah yang mengutamakan bentuk luar dan menggantikannya dengan prinsip bahwa yang utama adalah kesucian hati dan ketakwaan. Maka dari itu, ritual kurban dalam Islam difokuskan pada keikhlasan dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah melalui ketaatan dan kepatuhan kepada ajaran-Nya. 

وروي أنهم كانوا في الجاهلية يضربون لحم الأضاحي على حائط الكعبة ويلطخونها بدمها فأراد المسلمون أن يفعلوا فعل المشركين من الذبح وتشريح اللحم منصوبا حول الكعبة وتضميخ الكعبة بالدم تقربا إلى الله تعالى فنزلت هذه الآية

Artinya: “Diceritakan bahwa pada masa jahiliah, mereka biasa menempelkan daging kurban di dinding Ka’bah dan mengotori Ka’bah dengan darahnya. Para sahabat ingin meniru perbuatan orang-orang musyrik dengan menyembelih hewan kurban, memotong-motong dagingnya, dan menggantungnya di sekitar Ka’bah serta mengotori Ka’bah dengan darahnya sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah swt. Maka turunlah ayat ini.” [Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, Jilid II, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah,  1417 H) halaman 74].

Dengan demikian,  ibadah kurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tetapi merupakan wujud ketakwaan dan rasa syukur kepada Allah swt. Dengan memahami hakikat kurban, diharapkan ibadah ini dapat dilaksanakan dengan penuh makna dan membawa manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain.

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat

https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-hajj-ayat-37-menyingkap-rahasia-kurban-6GgME