Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, berencana menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Rencananya, kebijakan ini akan mulai berlaku pada Januari 2025 mendatang. Isu kenaikan pajak PPN 12 persen ini telah menjadi topik hangat di masyarakat. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi kelompok ekonomi menengah ke bawah karena berpotensi meningkatkan biaya hidup dan memperburuk kondisi ekonomi mereka.
Namun di balik tantangan tersebut, fenomena ini justru dapat menjadi momen bagi kita untuk menerapkan gaya hidup hemat atau frugal living. Sejatinya, gaya hidup ini sangat relevan untuk mengatasi tekanan ekonomi, bahkan memiliki manfaat jangka panjang bagi keuangan pribadi.
Lantas apa itu frugal living? Luna Z Rainstorm, dalam buku Frugal Livinng Mastery [2005: 13], menulis bahwa frugal living adalah gaya hidup yang berfokus pada pengelolaan keuangan secara bijak dan efisien, tanpa mengorbankan kebutuhan dasar atau kebahagiaan.
Pada dasarnya, kata Rainstorm, frugal living adalah praktik secara sadar mengatur pengeluaran sesuai kemampuan dan kebutuhan. Prinsip utama dari gaya hidup ini, kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari banyaknya uang yang dikeluarkan, tetapi dari cara memanfaatkan apa yang dimiliki.
Dalam konteks kenaikan PPN, penerapan frugal living menjadi semakin relevan. Dengan rencana kenaikan pajak, harga barang dan jasa diprediksi akan ikut meningkat, sehingga kemampuan membeli masyarakat menurun. Alih-alih panik, frugal living menawarkan solusi praktis untuk tetap hidup nyaman meski di tengah kenaikan biaya.
Konsep frugal living, yang berarti hidup hemat dan bijaksana dalam pengeluaran, sejatinya selaras dengan ajaran Islam. Hal ini dapat kita pahami dari firman Allah dalam Surat Al-Isra’ Ayat 27:
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا
Innal-mubażżirīna kānū ikhwānasy-syayāṭīn(i), wa kānasy-syaiṭānu lirabbihī kafūrā(n).
Artinya: “Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Tafsir Marah Labib
Sejatinya, surat Al-Isra’ Ayat 27 mengingatkan kita untuk tidak berlebihan dalam pengeluaran, khususnya dalam hal harta. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Tafsir Marah Labib menjelaskan bahwa pemborosan itu berarti menggunakan harta untuk tujuan yang salah, seperti perbuatan maksiat, kesombongan, atau untuk mencari popularitas dan pujian dari orang lain.
Lebih lanjut, ayat tersebut menyatakan bahwa orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan, yang menggambarkan bagaimana pemborosan ini sejalan dengan tindakan setan dalam membelanjakan harta untuk maksiat. Setan, yang merupakan makhluk yang sangat ingkar terhadap Tuhan, menggunakan tubuhnya untuk melakukan kerusakan dan perbuatan jahat.
Begitu juga dengan orang yang diberi rezeki berupa harta atau kedudukan, tetapi menggunakannya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah. Mereka menunjukkan sikap kufur terhadap nikmat Allah yang telah diberikan kepada mereka.
Oleh karena itu, Islam mengajarkan umatnya untuk hidup secara frugal dan bijaksana dalam pengelolaan harta. Orang yang boros memiliki sifat yang sangat mirip dengan setan, karena menggunakan nikmat Allah untuk tujuan yang tidak sesuai dengan perintah-Nya.
Dengan demikian, ajaran ini mengingatkan kita untuk menghindari pemborosan, menggunakan harta dengan penuh tanggung jawab, dan senantiasa bersyukur atas segala rezeki yang Allah berikan. Simak penjelasan Syekh Nawawi berikut:
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيراً (٢٦) وهو إنفاق المال في المعصية وفي الفخر والسمعة إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كانُوا إِخْوانَ الشَّياطِينِ أي أتباعهم في الصرف في المعاصي وَكانَ الشَّيْطانُ لِرَبِّهِ كَفُوراً (٢٧) فإنه يستعمل بدنه في المعاصي والإفساد في الأرض، وكذلك كل من رزقه الله تعالى مالا أو جاها فصرفه إلى غير مرضاة الله تعالى كان كفورا لنعمة الله تعالى فكان المبذرون موافقين للشياطين في تلك الصفة
Artinya: “Janganlah kamu boros dalam pengeluaran (ayat 26). Maksud dari pemborosan adalah menggunakan harta untuk perbuatan maksiat, kesombongan, dan untuk mencari popularitas atau pujian. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan (ayat 27), yaitu mereka mengikuti setan dalam membelanjakan harta untuk maksiat.
Dan setan adalah makhluk yang sangat ingkar kepada Tuhannya, karena ia menggunakan tubuhnya untuk berbuat maksiat dan melakukan kerusakan di bumi. Begitu pula orang yang diberi rezeki berupa harta atau kedudukan oleh Allah, tetapi menggunakannya untuk sesuatu yang tidak diridhai Allah, maka ia dianggap kufur atas nikmat Allah. Oleh karena itu, orang-orang yang boros dianggap memiliki sifat yang sama dengan setan.” (Syekh Nawawi Al-Bantani, Marah Labib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H] Jilid I, hal. 523)
Tafsir Mafatihul Ghaib
Sementara itu, Imam Fakhruddin Ar-Razi menjelaskan, Surat Al-Isra’ ayat 27 ini menganjurkan hidup hemat kepada umat Islam. Dalam Tafsir Mafatihul Ghaib, ia menegaskan bahwa ayat ini melarang pemborosan, yang berarti menghabiskan harta secara berlebihan dan sia-sia. Allah bahkan mengaitkan sifat boros dengan setan, menunjukkan betapa buruknya kebiasaan tersebut dalam agama Islam.
Dalam bahasa Arab, seseorang yang sering melakukan sesuatu dianggap “saudara” dari tindakan tersebut. Oleh karena itu, orang yang boros dianggap sebagai “saudara setan” karena memiliki sifat yang sama dalam hal pemborosan. Berikut penjelasan Imam Fakhruddin Razi:
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيراً وَالتَّبْذِيرُ فِي اللُّغَةِ إِفْسَادُ الْمَالِ وَإِنْفَاقُهُ فِي السَّرَفِ. ثُمَّ نَبَّهَ تَعَالَى عَلَى قُبْحِ التَّبْذِيرِ بِإِضَافَتِهِ إِيَّاهُ إِلَى أَفْعَالِ الشَّيَاطِينِ فَقَالَ: إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كانُوا إِخْوانَ الشَّياطِينِ وَالْمُرَادُ مِنْ هَذِهِ الْأُخُوَّةِ التَّشَبُّهُ بِهِمْ فِي هَذَا الْفِعْلِ الْقَبِيحِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ الْعَرَبَ يُسَمُّونَ الْمُلَازِمَ لِلشَّيْءِ. أَخًا لَهُ، فَيَقُولُونَ: فُلَانٌ أَخُو الْكَرَمِ وَالْجُودِ، وَأَخُو السَّفَرِ إِذَا كَانَ مُوَاظِبًا عَلَى هَذِهِ الْأَعْمَالِ
Artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu dengan boros. Pemborosan dalam bahasa (Arab) berarti merusak harta dan membelanjakannya secara berlebihan. Kemudian Allah memperingatkan tentang buruknya pemborosan dengan menghubungkannya dengan perbuatan setan, sehingga Dia berfirman: ‘Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.‘
Maksud dari persaudaraan ini adalah menyerupai mereka dalam perbuatan buruk ini, karena orang Arab menyebut orang yang terus-menerus melakukan sesuatu sebagai saudara dari hal tersebut. Mereka mengatakan, ‘Si Fulan adalah saudara kemurahan hati dan kedermawanan,’ dan ‘saudara perjalanan’ jika ia rajin melakukan hal-hal tersebut.” (mam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya at-Turats al-Arabi, 1420 H] Jilid XX, halaman 329).
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan pentingnya hidup hemat dan menghindari pemborosan. Menurutnya, lewat ayat tersebut, setelah Allah memerintahkan untuk berinfaq, Dia juga melarang pemborosan dalam hal itu. Sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Furqan ayat 67:
وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا ٦٧
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (Infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. Al-Furqan: 67)
Allah menegaskan bahwa orang yang boros adalah seperti saudara-saudara setan. Ibnu Mas’ud menjelaskan bahwa pemborosan adalah membelanjakan harta untuk hal yang tidak benar [maksiat]. Begitu juga menurut Ibnu Abbas, dia menyatakan bahwa meskipun seseorang menghabiskan seluruh hartanya untuk hal yang benar, itu bukanlah pemborosan. Namun, jika seseorang mengeluarkan sedikit pun untuk hal maksiat, itu sudah dianggap pemborosan.
وقوله ﴿وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيراً﴾ لما أمر بالإنفاق، نهى عن الإسراف فيه، بل يكون وسطا كما قال في الآية الأخرى ﴿وَالَّذِينَ إِذا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا﴾ [الفرقان: ٦٧] الآية، ثم قال منفرا عن التبذير والسرف ﴿إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كانُوا إِخْوانَ الشَّياطِينِ﴾ أي أشباههم في ذلك. قال ابن مسعود: التبذير الإنفاق في غير حق، وكذا قال ابن عباس، وقال مجاهد: لو أنفق إنسان ماله كله في الحق لم يكن مبذرا، ولو أنفق مدا في غير حق كان مبذرا. وقال قتادة: التبذير النفقة في معصية الله تعالى، وفي غير الحق والفساد
Artinya: “Dan firman-Nya; ‘Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros’ (QS. Al-Isra: 26). Setelah memerintahkan untuk berinfak, Allah melarang tindakan berlebihan dalam hal itu. Infak harus dilakukan secara seimbang, sebagaimana firman Allah dalam ayat lain: ‘Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir’ (QS. Al-Furqan: 67).
Kemudian, Allah memberikan peringatan agar menjauhkan diri dari pemborosan dan penghamburan, dengan berfirman: ‘Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan’ (QS. Al-Isra: 27), yaitu mereka menyerupai setan dalam perbuatan tersebut.
Ibnu Mas’ud berkata, ‘Pemborosan adalah menginfakkan harta pada sesuatu yang bukan haknya’. Hal serupa juga dikatakan oleh Ibnu Abbas. Mujahid menambahkan, ‘Seandainya seseorang menginfakkan seluruh hartanya pada sesuatu yang benar, itu tidak dianggap sebagai pemborosan. Namun, jika seseorang menginfakkan satu mud saja pada sesuatu yang bukan haknya, itu adalah pemborosan’. Sedangkan Qatadah berkata, ‘Pemborosan adalah pengeluaran untuk hal-hal yang bermaksiat kepada Allah, hal yang tidak benar, dan yang merusak.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adhim, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1998 M], jilid V, hal. 64)
Dari ayat ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa hidup berlebihan dalam bentuk apapun, baik dalam pengeluaran harta, konsumsi, atau gaya hidup, dapat menjerumuskan seseorang pada sifat tercela yang dekat dengan sifat setan. Pemboros dianggap sebagai saudara setan karena keduanya memiliki kesamaan dalam sifat pengingkaran terhadap nikmat dan amanah yang diberikan oleh Allah.
Setan yang selalu menggoda manusia untuk melampaui batas dan menjadi kufur, pada akhirnya mengajak manusia untuk berpaling dari syukur dan pengelolaan yang bijaksana terhadap nikmat yang ada. Sebaliknya, Islam mengajarkan umatnya untuk hidup secara seimbang, dengan memperhatikan kebutuhan, berbagi kepada yang membutuhkan, dan menghindari keserakahan.
Prinsip keseimbangan ini sejalan dengan konsep frugal living, yakni hidup sederhana dan efisien dalam menggunakan sumber daya yang ada. Hidup hemat bukan berarti hidup dalam kekurangan, melainkan mampu memanfaatkan harta sesuai kebutuhan tanpa mengikuti hawa nafsu. Wallahu a‘lam.
Zainuddin Lubis, pegiat kajian Islam tinggal di Parung.
https://islam.nu.or.id/tafsir/tafsir-surat-al-isra-ayat-27-anjuran-frugal-living-dalam-islam-pFBKP