Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 93: Ancaman Keras bagi Pelaku Pembunuhan
“Tidak halal darah [membunuh] seorang Muslim, yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasul-Nya”. Begitulah kata Muhammad bin Abdullah, seorang utusan Allah, yang hidup di abad ke-6. Lembut namun tegas, Nabi saw mengingatkan umatnya tentang pentingnya menjaga darah dan nyawa seorang Muslim, yang telah mengakui keesaan Allah dan kerasulannya.
Perkataan ini bukanlah sekadar ujaran biasa. Ia mengandung makna tentang kesucian hidup dan martabat seorang Muslim. Muhammad bin Abdullah, dalam peran sebagai utusan Tuhan, menekankan betapa berharga nyawa setiap Muslim. Mereka yang telah bersaksi tentang keesaan Allah dan kenabian Muhammad seharusnya dihormati dan dilindungi, bukan malah diancam atau dicelakai.
لا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أنْ لا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وأَنِّي رَسولُ اللَّهِ
Artinya, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah.” (HR Al-Bukhari).
Dengan latar abad ke-6 yang penuh tantangan dan pergolakan, pesan ini menjadi lebih relevan dan mendesak. Di tengah kegelapan dan kebiadaban zaman itu, Nabi Muhammad saw hadir sebagai cahaya penuntun, membawa pesan kedamaian dan perlindungan bagi umatnya. Kata-katanya terus bergema hingga kini, mengingatkan kita akan pentingnya menghargai dan melindungi sesama Muslim, sebagai bagian dari kewajiban kita kepada Tuhan dan kepada sesama manusia.
Allah sendiri dalam surat An-Nisa ayat 93 mengingatkan orang yang dengan sengaja mengakhiri hidup seorang mukmin, balasannya adalah api neraka Jahannam yang kekal abadi. Di dalam keabadian, akan merasakan kedahsyatan siksa tanpa henti. Neraka menjadi tempat yang mengurungnya dan azab yang disediakan begitu besar hingga tak terperi oleh pikiran manusia.
Nyawa setiap makhluk adalah hak mutlak Allah swt, yang menciptakan kehidupan dan kematian. Tidak seorang pun memiliki otoritas untuk menghilangkan nyawa orang lain. Penghilangan nyawa tanpa alasan yang dibenarkan adalah dosa besar yang mendapat ancaman berat di akhirat.
Lebih dari itu, orang yang membunuh tanpa hak, kelak akan diazab. Siksaan yang menanti begitu dahsyat, melampaui segala penderitaan yang bisa dibayangkan oleh manusia. Azab ini menjadi penegasan bahwa hidup seorang mukmin sangat berharga di mata Allah, dan barang siapa yang melanggarnya, tidak akan lolos dari hukuman yang paling mengerikan.
Allah berfirman:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَٰلِدًا فِيهَا وَغَضِبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُۥ وَأَعَدَّ لَهُۥ عَذَابًا عَظِيمًا
Wa may yaqtul mu’minam muta‘ammidan fa jazâ’uhû jahannamu khâlidan fîhâ wa ghadliballâhu ‘alaihi wa la‘anahû wa a‘adda lahû ‘adzâban ‘adhîmâ.
Artinya, “Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93).
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Azhim menjelaskan, ancaman yang terkandung dalam ayat 93 surat An-Nisa merupakan peringatan keras bagi orang yang melakukan dosa besar tersebut. Dosa membunuh ini sering kali disandingkan dengan perbuatan syirik dalam banyak ayat Al-Qur’an. Hal ini kata Ibnu Katsir untuk menegaskan betapa seriusnya ancaman bagi para pelaku dosa besar tersebut di mata Allah.
Dalam surat Al-Furqan, Allah dengan tegas melarang menyembah selain-Nya dan melarang membunuh jiwa yang diharamkankan, kecuali dengan alasan yang benar. Firman Allah berbunyi:
وَالَّذِيْنَ لَا يَدْعُوْنَ مَعَ اللّٰهِ اِلٰهًا اٰخَرَ وَلَا يَقْتُلُوْنَ النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُوْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ يَلْقَ اَثَامًاۙ
Artinya, “Dan, orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Siapa yang melakukan demikian itu niscaya mendapat dosa.” (QS Al-Furqan: 68).
Ayat ini menekankan pentingnya tauhid dan penghargaan terhadap nyawa manusia, dua hal yang menjadi pilar utama dalam ajaran Islam. Setiap jiwa manusia berharga dan mulia, dilindungi oleh hak-hak yang wajib dijaga. Menjaga nyawa manusia berarti menjaga kehormatan dan martabat manusia, serta memelihara keseimbangan kehidupan di bumi.
dalam Surah Al-An’am, Allah memperkuat larangan ini dengan firman-Nya:
قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ
Artinya, “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kemarilah! Aku akan membacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu, (yaitu) janganlah mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan janganlah membunuh anak-anakmu karena kemiskinan.” (QS Al-An’am: 5).
Lewat ayat ini, Allah kembali menekankan pentingnya menghindari syirik, yaitu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain. Allah memberikan pedoman yang jelas bagi umat-Nya agar mereka dapat menjalani kehidupan yang benar dan menjauhi dosa-dosa besar, termasuk membunuh nyawa manusia dengan alasan takut akan kemiskinan. (Imam Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiyah: 1419 H], jilid II, halaman 332).
Tafsir Marah Labib
Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tafsir Marah Labib menjelaskan asbabun nuzul ayat 93 surat An-Nisa’. Diriwayatkan bahwa Muqis bin Dhubabah Al-Kinani dan saudaranya, Hisyam, telah memeluk Islam bersama. Namun, nasib berkata lain. Muqis mendapati saudaranya terbunuh di Bani Najjar.
Dengan hati yang penuh duka dan dendam, Muqis menemui Rasulullah saw untuk mengadukan peristiwa tersebut. Rasulullah saw dengan kebijaksanaannya mengutus Zubair bin Ayyad Al-Fihri, seorang sahabat Badar yang setia, untuk menemui Bani Najjar.
Kemudian Nabi saw memerintahkan agar mereka menyerahkan pelaku pembunuhan kepada Muqis jika mereka mengetahuinya, atau membayar diyat jika mereka tidak mengetahuinya. Bani Najjar dengan penuh kepatuhan menjawab, “Kami dengar dan kami taat,” dan memberikan 100 unta kepada Muqis.
Namun kisah ini berlanjut dengan kejahatan yang menyakitkan. Dalam perjalanan kembali ke Madinah, Muqis Al-Kinani mengkhianati utusan Rasulullah saw, Zubair bin Ayyad Al-Fihri, dengan membunuhnya secara keji menggunakan batu.
Setelah melakukan tindakan hina tersebut, Muqis menaiki salah satu unta dan membawa sisanya kembali ke Makkah, sambil menyatakan dirinya murtad dari Islam.
Kejadian tragis ini menjadi latar belakang turunnya ayat 93 surat An-Nisa. Pengkhianatan dan kemurtadan Muqis menjadi noda hitam dalam sejarah, dan Allah menurunkan ayat tersebut sebagai peringatan bagi umat Islam.
Muqis bin Dhubabah al-Kinani kemudian menjadi salah satu dari mereka yang dikecualikan oleh Rasulullah saw dari keamanan pada hari pembebasan Makkah. Kisah ini mencapai puncaknya saat Muqis dibunuh ketika bergantung pada tirai Ka’bah, sebuah akhir yang menyedihkan bagi seorang yang pernah memeluk Islam.
Imbasnya, terdapat ancaman yang berat bagi siapa saja yang dengan sengaja menghilangkan nyawa seorang mukmin. Allah swt menetapkan bahwa balasan bagi pelaku dosa besar ini adalah neraka Jahanam, di mana ia akan kekal abadi.
فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
Artinya, “… maka balasannya adalah neraka Jahanam, kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya, mengutuknya, serta menyediakan baginya azab yang besar.” (QS An-Nisa: 93).
Ibnu Abbas, menambahkan penjelasan tentang konsekuensi dari tindakan membunuh ini. Menurutnya, orang yang sengaja membunuh seorang mukmin dengan niat dan kesadaran penuh, meskipun tahu bahwa tindakannya akan menyebabkan kematian, akan dihadapkan pada hukuman yang sangat berat, yakni neraka Jahanam menanti mereka, sebagai tempat kekal yang dipenuhi siksa karena kemusyrikan dan dosa pembunuhan yang mereka lakukan.
Tafsir Al-Misbah
Profesor Quraish Shihab dalam kitab Tafsir Al-Misbah mengatakan, setelah membahas sanksi atas pembunuhan seorang mukmin secara tidak sengaja, ayat 93 surat an-Nisa’ menjelaskan konsekuensi mengerikan bagi pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja terhadap seorang mukmin. Paslanya, pada ayat ini balasan bagi pelaku pembunuhan terencana adalah neraka Jahannam yang kekal.
Neraka Jahannam adalah sebuah tempat yang sangat mengerikan. Ia akan kekal di dalamnya, berada di sana dalam waktu yang sangat lama, merasakan penderitaan yang tak terperikan. Di dalam tempat yang amat mengerikan itu, tidak hanya siksaan yang menanti, tetapi juga kemurkaan Allah yang menyertainya atas tindakan yang tidak manusiawi tersebut.
Terkait hukuman pembunuh di akhirat, apakah akan kekal selama-lamanya? ‘Khalidan fiha’? Menurut Quraish Shihab, kata ini sebenarnya tidak merujuk pada kekekalan yang tidak berakhir selamanya, melainkan pada periode waktu yang sangat lama.
Hal ini sebagaimana dijelaskan sahabat Ibnu Abbas dan banyak ulama lainnya, kata ‘Khalidan’ di sini merujuk pada waktu yang lama. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat An-Nazi’at ayat 46, yang menggambarkan orang-orang kafir di hari Kebangkitan merasakan waktu seakan sebentar, seperti sore atau pagi hari.
Menurut Quraish Shihab, konsep ‘waktu yang lama’ ini bersifat relatif. Bagi orang yang berbahagia, waktu terasa singkat, sedangkan bagi orang yang tersiksa, waktu terasa lama meskipun durasi sebenarnya sama. Satu tahun bisa terasa sekejap bagi orang yang bahagia, namun terasa lama bagi orang yang tersiksa.
Hal ini sejalan dengan surat An-Nazi‘at ayat 46, “Pada hari ketika melihatnya (hari Kiamat itu), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar) tinggal (di dunia) pada waktu petang atau pagi”, yang menyatakan pada hari Kebangkitan orang-orang kafir akan merasa tinggal di dunia hanya sebentar, seperti waktu sore atau pagi hari.
Untuk itu, makna ‘khalidan’ dalam surat An-Nisa’ ayat 93 bukan kekal tanpa akhir, melainkan waktu lama yang bersifat relatif tergantung pada kondisi setiap individu. Wallahu a’lam.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat