Laduni.ID, Jakarta – Pertama-tama, apakah Anda pernah bertanya-tanya tentang kisah di balik legenda Drakula? Dibalik bayang-bayang kegelapan dan mitos yang melingkupi namanya, ada sebuah cerita yang mengaitkannya dengan sebuah periode bersejarah yang penuh warna. Bayangkan sebuah dunia di tahun 1400-an, di mana Eropa dan Timur Tengah saling bersaing dalam pertarungan kekuasaan dan pengaruh.
Di tengah gemerlapnya zaman tersebut, muncullah sosok yang dikenal sebagai Vlad III, yang lebih dikenal dengan julukan “Dracula”. Tetapi, apa hubungannya Drakula dengan dunia Islam pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Al Fatih?
Di satu sisi, kita memiliki Drakula, yang dalam mitos Barat digambarkan sebagai sosok misterius yang haus darah dan tinggal di istana gelap di pegunungan Transilvania. Namun, di sisi lain dunia, di tengah kejayaan Kesultanan Utsmaniyah yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Al Fatih, ada sebuah narasi yang kurang dikenal: kisah perjumpaan antara Drakula dengan dunia Islam.
Sejarah Kata “Dracula”
Vlad III atau biasa disebut dengan Dracula adalah anak dari Vlad II, raja dari Wallachia yang mempunyai julukan Vlad Dracul. Asal kata “Dracul” diambil dari Bahasa latin yang berarti “Draco” atau “Naga”. Dijuluki naga karena beliau diangkat menjadi ordo naga.
Sementara Dracula, yang memiliki kata asli “Dracuela” memiliki makna asli “Anak Naga”. Jadi Vlad III Dracuela dapat diartikan dengan “Vlad Anak Naga”.
Hubungan dengan Islam
Pada masa Vlad II, Wallachia dikuasai oleh Kesultanan Utsmani, dan pada masa itu, Kesultanan Utsmani mempunyai sebuah kebiasaan untuk mengambil putra mahkota dari daerah kekuasaannya sebagai jaminan kesetiaan. Dari Negara Wallachia, diambilah dua putra mahkota yaitu Vlad III dan adiknya Radu.
Vlad III, yang kelak dikenal sebagai Drakula, menjalani masa muda yang penuh perjuangan dan pembelajaran yang tidak biasa. Vlad III dan adiknya, Radu Cel Frumos, dilarikan ke istana Utsmaniyah sebagai tawanan politik.
Di tengah ketegangan dan kesulitan hidup di istana musuh, keduanya tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga menjalani pendidikan yang tak ternilai di kesatuan Janisari, pasukan elit militer Kesultanan Turki.
Mereka berdua ditempa dan dididik oleh para komandan terbaik pada masanya. Pada usia yang masih belia, Vlad III baru berusia 13 tahun, hanya berselisih satu tahun lebih tua dari Mehmed II, yang kelak akan menjadi Sultan Muhammad Al Fatih yang memimpin penaklukan legendaris atas Konstantinopel.
Pemberontakan Wallachia
Beberapa tahun kemudian, ketika Vlad III masih berada di camp Janisari untuk menjalani pendidikan, Wallachia mengalami pemberontakan yang mengakibatkan Vlad II dieksekusi oleh sang pemberontak dengan cara menguburnya dalam keadaan hidup.
Kekuasaan Ottoman mengirim Vlad III karena dianggap memiliki kemampuan yang cukup untuk menjaga dan mengembalikan Wallachia sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Turki Utsmani.
Setelah berhasil merebut kembali Wallachia, Vlad III menggunakan kesempatan ini untuk mengumpulkan kekuatan dan melawan dominasi Ottoman. Di bawah kepemimpinannya, Vlad III mendapat dukungan yang luas dari penduduk Rumania, sehingga pengaruhnya semakin besar dan kuat dalam wilayah tersebut.
Vlad III juga membalas dendam terhadap para bangsawan dan individu yang pernah memberontak terhadap kekuasaan ayahnya. Ia menghukum mereka semua dengan cara yang sangat sadis, yaitu dengan menggunakan metode penyiksaan yang dikenal sebagai sula.
Sula adalah hukuman yang dilakukan dengan menusukkan batang kayu yang tajam dari lubang belakang manusia hingga tembus ke mulut. Tindakan ini menyebabkan penderitaan luar biasa bagi korban dan menjadi simbol kekejaman Vlad III dalam mempertahankan kekuasaannya.
Perbuatan ini dilakukan untuk memperpanjang penderitaan korban dengan maksud agar mereka tidak langsung meninggal dalam sehari. Para korban disiksa dengan menyula, dan kemudian tubuh mereka ditancapkan pada kayu-kayu yang ditanam ke tanah, menjadikan mereka sebagai “pajangan” yang mengerikan. Mereka harus menanggung penderitaan yang tak terbayangkan selama satu hingga dua hari sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir mereka.
Sikap Membangkang Kepada Turki Utsmani
Beberapa tahun setelah Muhammad Al-Fatih menaklukan Konstantinopel, Vlad III mengambil tindakan ekstrem dengan membunuh semua utusan yang dikirim dari Kesultanan Turki untuk mengumpulkan pajak yang seharusnya dibayarkan. Tindakan ini merupakan sikap pembangkangan yang nyata terhadap kekuasaan Ottoman, yang mencoba memperluas pengaruhnya atas wilayah-wilayah tetangga.
Utusan-utusan tersebut disiksa dengan sula dan kemudian jenazah mereka dijadikan sebagai “pagar manusia” di perbatasan daerah Wallachia. Tindakan ini membuat Sultan Muhammad Al-Fatih murka. Sebagai tanggapan, beliau mengirimkan 1000 orang pasukan untuk mengembalikan kestabilan wilayah Wallachia. Namun, nasib tragis menimpa pasukan tersebut. Mereka semua mengalami akhir yang sama dengan para utusan sebelumnya. Mereka disiksa dengan sula dan tubuh mereka dijadikan sebagai peringatan yang mengerikan di perbatasan wilayah.
Beberapa pendapat yang kami kumpulkan sepakat menyatakan bahwa pasukan Janisari Turki mengalami kesulitan dalam melawan Vlad III karena Vlad III memiliki pemahaman yang mendalam tentang strategi yang digunakan oleh Janisari. Bahkan, dalam pasukan Janisari sendiri, Vlad III menduduki pangkat yang cukup tinggi. Kemampuan dan keahlian strategis yang dimilikinya membuat ia menjadi lawan yang tangguh bagi pasukan Janisari.
Tidak hanya kekejamannya terhadap musuh-musuhnya yang membuatnya menjadi tokoh antagonis dalam cerita-cerita horor “Drakula”, tetapi ia juga melakukan hal serupa terhadap warga sipil di daerah kekuasaan musuhnya. Ketika ia menguasai sebuah daerah, warga setempat, termasuk perempuan dan anak-anak, tidak luput dari hukuman sulanya.
Singa Harus dilawan Oleh Singa!
Semakin memburuknya situasi, Muhammad Al-Fatih menugaskan Radu Cel Frumos, adik dari Vlad III Dracula, untuk memimpin pasukan besar yang terdiri dari 100.000 prajurit dengan tujuan menghentikan kekejaman Vlad III.
Kita mundur sejenak ke masa pendidikan kedua saudara itu di dalam kesatuan Janisari. Vlad III mengalami siksaan yang berat terlebih dahulu, yang pada akhirnya mendorongnya untuk mengaku masuk Islam, meskipun dianggap sebagai konversi yang palsu sampai medapatkan pangkat yang lumayan tinggi. Sementara itu, Radu, dengan tulus memeluk agama Islam dan dengan setia melayani Turki Utsmani.
“Perlu singa untuk menghentikan singa,” demikianlah ungkapan yang mungkin muncul dalam benak Sultan Muhammad Al-Fatih, menyadari bahwa untuk menghadapi Vlad III yang begitu tangguh, diperlukan sosok yang mengenal baik medan dan budaya Rumania.
Drakula Tumbang
Walaupun pasukan Vlad III menghadapi kekalahan jumlah yang sangat besar, dia mampu mengimbangi pasukan Turki Utsmani dengan pengalaman yang luas yang dia peroleh saat berada di dalam kesatuan pasukan Janisari.
Pengalaman tersebut memberinya pemahaman yang mendalam tentang strategi, taktik, dan kelemahan musuh. Selain itu, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan pasukan Janisari sendiri juga memberikan keuntungan tersendiri bagi Vlad III dalam mengatur strategi pertempuran yang efektif. Dengan demikian, walaupun dalam keadaan yang sulit, Vlad III mampu bertahan dan bahkan melawan pasukan yang jauh lebih besar secara jumlah.
Dalam pertempuran antara kedua saudara itu, Vlad III akhirnya kalah di tangan pasukan adiknya, Radu. Beberapa versi mengatakan kematian Vlad III sangat konyol, di mana ia mencoba menyamar sebagai pasukan Turki Utsmani untuk merencanakan pembunuhan terhadap Muhammad Al-Fatih secara diam-diam. Namun, rencana tersebut gagal dan malah ia dibunuh oleh pasukannya sendiri.
Meskipun Vlad III dianggap sebagai pahlawan nasional di negaranya, cerita kekejamannya tetap menjadi kisah menyeramkan selama beberapa abad. Warisan kekejaman yang ia tinggalkan, baik terhadap musuh maupun warga sipil, telah membuatnya dikenal sebagai Drakula, sosok yang membumi dan menakutkan dalam legenda. []
Sumber:
1. Film Dark Prince:The True Story of Dracula, 2000
2. Channel Youtube Guru Gembul, Sejarah Dracula yang Disembunyikan
—————-
Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani
Editor: Kholaf Al-Muntadar