Laduni.ID, Jakarta – Ketika Datuk ri Bandang dan rekan-rekannya datang ke Makassar, mereka membawa sistem dakwah yang langsung mengajarkan prinsip-prinsip dasar Islam seperti syahadataib (dua kalimat syahadat), shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan menjauhi dosa-dosa besar seperti zina, penyembahan berhala, pembunuhan, pencurian, dan minuman keras.
Hanya dua tahun setekah kedatangan mereka, shalat Jumat pertama dilaksanakan di masjid Kerajaan Tallo, menandai Islam sebagai agama resmi kerajaan setelah pengumuman dari Raja Gowa.
Model Islam yang disebarkan oleh Datuk ri Bandangn dan para pendakwah ini memiliki hubungan erat dengan otoritas kerajaan. Dalam sejarah penyebaran Islam, para penyebar agama sering memiliki kedekatan dengan kalangan kerajaan, seperti Walisongo di Jawa yang juga akrab dengan para penguasa.
Kedekatan dengan penguasa ini menciptakan pola pemikiran keislaman yang selaras dengan kebijakan kerajaan (agama dan kerajaan seakan menjadi satu kesatuan). Nalar keislaman yang terbentuk dari hubungan ini sering berwujud formalistik dan kurang menerima budaya setempat. Dalam kasus tertentu, bahkan beberapa tarekat dianggap sebagai ancaman dan dihapuskan oleh tokoh agama yang berkolaborasi dengan kekuasaan untuk mempertahankan nalar formalistik tersebut.
Namun, cara penyebaran Islam tidaklah seragam. Berbeda dengan Datuk ri Bandang, ada tokoh-tokoh seperti Sayyid Jamaluddin Al-Husaini yang memilih untuk menjaga jarak dari kekuasaan. Figur-figur seperti Hamzah Fansuri, yang dianggap menyebarkan ajaran