Dalam lembaran sejarah Islam pada tahun 644 M, terdapat satu kisah menarik yang melibatkan Ubaidillah bin Umar, anak dari Khalifah Umar bin Khattab. Kisah ini mencerminkan dinamika yang tak terduga di dalam kekhalifahan pada masa itu. Ubaidillah muncul sebagai tokoh yang ingin membalas dendam, menunjukkan bahwa bahkan di lingkungan paling kuat dan dihormati sekalipun, urusan pribadi bisa menciptakan konflik yang membara.
Pada saat itu, kompleksitas politik dan ketegangan personal menjadi benang merah yang merajut narasi sejarah. Meskipun hidup dalam zaman kekhalifahan yang sangat dihormati, tampaknya konflik internal mampu meresap dan merajalela. Ubaidillah bin Umar, yang lahir di tengah kemegahan kekhalifahan, menjadi gambaran hidup bahwa di lingkaran paling elit sekalipun, kepentingan pribadi dan intrik politik bisa menjadi katalisator bagi dendam yang membara.
Pada tahun 644 M masyarakat Madinah dikejutkan dengan terbunuhnya Umar bin Khattab. Pelaku utama hal keji tersebut adalah Fairuz (Abu Lu’luah) seorang budak Al-Mughiroh yang ia dapat dari penaklukan salah satu daerah Persia oleh Sa’ad bin Abi Waqash.
Kematian Khalifah Umar tentu saja membuat sedih dan marah penduduk Madinah, tidak terkecuali putra beliau yang bernama Ubaidillah bin Umar.
Mendengar ayah tercintanya dibunuh oleh “budak dari Persia” menimbulkan dugaan dalam hatinya bahwa, semua orang asing yang ada di Madinah ikut terlibat dalam perencaan pembunuhan tersebut.
Ubaidillah bin Umar yang sudah diliputi rasa dendam mengambil pedangnya kemudian mencari orang yang sekiranya terlibat, yaitu Hormuzan dan Jufainah.
Beberapa sumber menyebutkan, kronologi pembunuhan yang pertama bahwa, Ubaidillah bin Umar mengunjungi rumah Hormuzan lalu mengajaknya untuk melihat kuda beliau.
“Mari kita melihat kuda saya” kata Ubaidillah
Bukannya melihat kuda, tetapi saat Ubaidillah dan Hormuzan berhadap-hadapan, Ubaidillah mengeluarkan pedang dan dengan kekuatan penuh menebas Hormuzan.
“Laa ilaaha illallahu!” Ucap Hormuzan sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Tidak puas dengan hal tersebut, Ubaidillah kemudian memanggil Jufainah dan juga menebaskan pedangnya tersebut sama seperti kepada Hormuzan.
Jufainah ini merupakan seorang Nasrani Hirah, istrinya ibu susuan Sa’ad bin Abi Waqqas. Ia dibawa ke Madinah karena adanya pertalian susuan tadi, dan ia juga merupakan tenaga pengajar menulis di Madinah.
Masih tidak puas dengan dua pembunuhan tersebut, Ubaidillah kemudian membunuh anak perempuan Abu Lu’luah yang masih kecil. Walaupun anak kecil tersebut mengaku Islam, tidak sama sekali menyelamatkannya dari amarah dan tajamnya pedang Ubaidillah.
Setelah masyarakat Madinah mendengar hal tersebut, mereka cepat-cepat mendatangi Ubaidillah untuk menghentikan rentetan peristiwa berdarah itu. Kaum Muhajirin menahan bahkan sampai mengancam Ubaidillah agar berhenti, namun dalam keadaan yang diliputi amarah dan dendam ia berkata
“Akan saya bunuh mereka yang lain!” Yang dimaksud Ubaidillah ini adalah tawanan perang Madinah dari Persia.
Salah satu sahabat Rasulullah SAW, Amr bin Ash membujuk dengan kalimat yang kadang lembut dan kadang keras yang membuat Ubaidillah luluh lalu menjatuhkan pedangnya tersebut.
Sa’ad bin Abi Waqash yang telah mendengar kematian Jufainah naik pitam lalu mendatangi Ubaidillah. Perkelahian tidak dapat dihindari, Sa’ad bin Abi Waqash menjambak jenggot Ubaidillah begitupun sebaliknya. Perkelahian tersebut dilerai oleh beberapa penduduk Madinah.
Tidak lama kemudian Utsman bin Affan pun turut hadir dalam kericuhan tersebut. ia merenggut leher Ubaidillah begitupun sebaliknya, perkelahian pun berlanjut. Kemudian dilerai lagi oleh beberapa orang.
“Terkutuk kau! Engkau membunuh orang yang menjalankan salat dan gadis kecil terakhir yang menjadi jaminan Rasulullah? Engkau tak boleh dibiarkan!” Kata Utsman yang saat itu masih belum dilantik menjadi Khalifah baru Umat Islam.
Setelah kejadian berdarah itu, Ubaidillah terpaksa menjalani masa penahanan oleh para sahabat. Keputusan ini diambil langsung oleh ayahnya sendiri, Khalifah Umar. Ada berbagai pendapat yang beredar tentang waktu kejadian tersebut. Pendapat yang kuat menyatakan hal tersebut merupakan keputusan ayahanda sendiri, yaitu Khalifah Umar. Sumber menyatakan bahwa saat itu Khalifah Umar masih hidup dalam keadaan Kepayahan. Sementara sumber yang lain berpendapat bahwa Ubaidillah dipenjara setelah Khalifah Umar sudah wafat.
Setelah Khalifah baru, yaitu Ustman bin Affan, diakui secara resmi, Ubaidillah dipanggil untuk menjalani proses pengadilan. Beberapa kelompok Muhajirin dan Anshar berkumpul untuk memberikan sidang terhadap Ubaidillah. Momen ini menciptakan ketegangan di antara mereka, memunculkan suasana yang sarat dengan konflik dan keputusan berat.
Salah satu sahabat, yaitu Ali bin Abi Thalib mengusulkan bahwa Ubaidillah harus dihukum mati atas perbuatannya sesuai hukum yang berlaku, karena perbuatan yang keji itu.
Tetapi, ada sahabat lain yang berpendapat bahwa memberlakukan hukuman mati terhadap Ubaidillah dianggap sangat kejam. Mereka mempertimbangkan kondisi keluarga Khalifah Umar yang baru saja kehilangan sosok Umar bin Khattab. Menurut mereka, menambahkan tragedi kematian Ubaidillah hanya akan meningkatkan kesedihan dalam keluarga yang sudah berduka.
Pandangan ini mencerminkan pertimbangan kemanusiaan dan sensitivitas terhadap beban emosional yang dihadapi keluarga Khalifah Umar pada saat itu, menjadikan hukuman mati terhadap Ubaidillah sebagai suatu tindakan yang dapat memperdalam penderitaan mereka.
Kondisi duka dari keluarga Khalifah Umar yang melepaskan hukuman mati bagi Ubaidillah bin Umar. Pendapat ini mendapat persetujuan dari beberapa sahabat, dan sekaligus membuat sahabat Ali, yang sebelumnya mengusulkan pendapat pertama, memilih untuk membatasi komentarnya setelah keputusan itu diambil.
Pada saat itu, Amr bin Ash yang turut hadir memberikan pendapatnya:
“Allah telah membebaskan Anda dari kejadian ini. Waktu itu Anda tidak memiliki kekuasaan atas kaum Muslimin. Peristiwa semacam itu belum pernah terjadi pada zaman Anda. Sebaiknya, tinggalkanlah saja!”
Meskipun begitu, Khalifah Utsman tidak sependapat dengan pandangan terakhir tersebut. Baginya, ia menilai bahwa keputusan tersebut tidak adil, mengingat telah terjadi pertumpahan darah dan hukum harus tetap dijalankan. Akhirnya, Khalifah Utsman memutuskan untuk tetap menjatuhkan hukuman diyat, yang kemudian ia bayar sendiri melalui dana pribadinya kepada keluarga korban.
Diyat adalah pembayaran denda yang harus diserahkan oleh pelaku pembunuhan kepada keluarga korban sebagai tanda pengampunan atas perbuatannya. Itu adalah hukuman tetapi masuk ke dalam harta korban, dengan demikian ia lebih menyerupai penggantian.
Dalam memahami kisah Ubaidillah bin Umar yang membalas dendam atas kematian ayahnya, dan keputusan adil yang diambil oleh Khalifah Utsman, kita diperkenalkan pada lapisan-lapisan kompleksitas kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab. Kisah ini mengajarkan kita bahwa, meskipun dendam dapat melanda bahkan di lingkungan yang dianggap kuat, kebijaksanaan dan keadilan dapat menjadi pilar penyelesaian.
Tindakan Khalifah Utsman yang mengimplementasikan hukuman diyat, dengan mengambil tanggung jawab pribadi, menjadi bukti nyata dari upaya untuk menjaga keadilan dan memahami kompleksitas situasi. Melalui refleksi pada peristiwa ini, kita diingatkan akan pentingnya mengejar kebijaksanaan dan keadilan, bahkan dalam suasana konflik yang penuh dengan emosi dan kesulitan.
Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Buku Umar bin Khattab: Sebuah Telaah Mendalam tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu karya Muhammad Husain Haekal (Terjemah oleh Ali Audah).
___________
Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani
Editor: Kholaf Al Muntadar