Laduni.id, Jakarta – Pasca peristiwa Perang Jamal yang dipimpin oleh Ummul Mukminin, kondisi pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib mulai stabil. Sesuai dengan apa yang direncakan oleh Khalifah Ali, rencana selanjutnya adalah membuat perundingan dengan Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu beserta rakyatnya belum mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Hal yang memberatkan Muawiyah untuk tidak membaiat Ali bin Abi Thalib adalah beliau terus mendesak Khalifah Ali untuk meng-qishash dulu orang-orang yang bertanggung jawab dalam pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan.
Muawiyah menyampaikan penolakannya terhadap kekhalifahan Ali dengan argumentasi yang mengacu pada kurangnya dukungan dari sebagian besar sahabat, yang tidak mengikuti bai’at kepada Ali.
Ironisnya, saat itu, mayoritas yang mendukung Ali adalah mereka yang sebelumnya terlibat dalam pemberontakan dan bahkan bertanggung jawab atas pembunuhan Khalifah Utsman. Hal ini menimbulkan keraguan dalam pandangan Muawiyah terhadap legitimasi Ali sebagai khalifah.
Semakin lama, kabar dan gosip fitnah semakin meluas di wilayah-wilayah Syam, tanpa diketahui siapa pelakunya. Fitnah tersebut menuduh bahwa Khalifah Ali sebenarnya turut bertanggung jawab atas pembunuhan Khalifah Utsman.
Terdapat indikasi yang menunjukkan bahwa baru-baru ini Khalifah Ali terlibat dalam pertempuran melawan Ummul Mukminin, sosok yang sangat dihormati oleh umat Islam, beserta dua sahabatnya. Rumor-rumor seperti ini semakin memperkeruh suasana politik dan sosial, serta menambah kompleksitas perselisihan dan pertentangan di tengah-tengah umat Muslim.
Fitnah yang tersebar juga mengklaim bahwa Khalifah Ali memberikan perlindungan kepada para pemberontak, dilihat dari kehadiran banyak anggota pemberontak yang bergabung dalam pasukan Ali.
Fitnah lain yang menimpa Khalifah Ali adalah tuduhan bahwa ia telah meninggalkan tradisi khalifah sebelumnya dengan memindahkan ibu kota umat Islam dari Madinah ke Kufah.
Tahun itu benar-benar dipenuhi dengan berbagai fitnah dan dugaan negatif yang mengarah pada kebingungan dan ketidakstabilan di kalangan umat Muslim.
Ali bin Abi Thalib mempertahankan pendiriannya yang teguh bahwa penduduk Syam dan Muawiyah harus memberikan bai’at kepadanya terlebih dahulu. Hal ini karena pada saat itu, Ali sebagai Khalifah belum sepenuhnya yakin tentang siapa yang menjadi otak di balik pembunuhan Khalifah Utsman.
Selain itu, masih banyak sahabat dan wilayah yang belum memberikan bai’at kepada Ali sebagai khalifah, sehingga penting bagi Ali untuk mendapatkan dukungan dari wilayah-wilayah tersebut, termasuk Syam dan Muawiyah, sebelum mengambil langkah-langkah lebih lanjut.
Muawiyah dengan tegas menolak untuk memberikan bai’at kepada Ali sebelum pembalasan atas kematian Utsman dilaksanakan. Kedua belah pihak tetap bertahan pada pendirian masing-masing.
Mengapa Muawiyah begitu ngotot untuk menutut hukum qishash, bisa kita lihat hubungan darah antara Khalifah Ustman dengan Muawiyah. Muawiyah merupakan saudara dekat Khalifah Utsman, jadi, Muawiyahlah yang sangat pantas menjadi wali dan penuntut balas kepada pembunuh Khalifah Ustman.
Mendengar penolakan tersebut, Ali segera menanggapinya dengan menyatakan bahwa Muawiyah telah menjadi pemberontak yang meninggalkan kesatuan umat Muslim dan otoritas imam mereka.
Ketidakmampuan mencapai kesepakatan damai mengharuskan kedua belah pihak menggunakan jalan perang sebagai solusi. Khalifah Ali segera mengumpulkan pasukannya, mencapai jumlah sekitar 100.000 prajurit dari Kufah dan Basrah, dengan niat untuk segera bergerak menuju Tanah Syam.
Di sisi yang lain, Muawiyah juga merespons dengan langkah serupa, ia mengumpulkan puluhan ribu tentara dari wilayah Syam untuk menghadapi pasukan yang dikirim oleh Khalifah Ali. Muawiyah juga mendapatkan bantuan pasukan dari Mesir yang dibawa oleh Amr bin Ash.
Peperangan kedua kubu tersebut tidak dapat dihindarkan. Pada kubu Ali bin Abi Thalib salah seorang pasukan berteriak,
“Orang-orang dari Syam sudah menjadi kafir, mereka enggan untuk taat kepada Ulil Amri, malah mereka memerangi Ulil Amri!”
Salah seorang sahabat dari kubu Khalifah Ali menanggapi,
“Tidak!!! Mereka semua adalah saudara-saudara kita! Mereka semua hanya termakan fitnah sehingga mereka melawan Ulil Amri! Mereka semua beriman”
Setelah pertempuran memakan waktu yang cukup lama, kubu Khalifah Ali unggul dalam perang dan membuat kubu Muawiyah terpojok. Dalam keaadaan yang genting itu, Amr bin Ash muncul dengan mengangkat tombak yang diujungnya terdapat mushaf Al-Quran,
“Kitabullah menjadi hakim di antara Kita”
Ali bin Abi Thalib menyatakan,
“Ya, aku lebih berhak untuk itu. Kitabullah harus menjadi hakim di antara kita.”
Pertempuran berhenti, memberikan jalan bagi perdamaian dan dialog. Pertimbangan yang penting adalah bahwa jika perang terus berlanjut, kekuatan umat Islam akan terkikis. Tentara Romawi mungkin akan kembali dan merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai mereka, demikian pula dengan sisa-sisa tentaraq Persia.
Ini akan mengakibatkan kerugian besar bagi umat Islam, baik dalam hal wilayah maupun sumber daya, serta melemahkan posisi mereka secara keseluruhan di kawasan tersebut. Oleh karena itu, memilih jalur perdamaian dan diskusi adalah langkah yang bijaksana untuk mencegah kerugian yang lebih besar bagi umat Islam.
Kedua belah pihak menyambut perdamaian ini dengan gembira. Perang saudara ini telah berakhir, meninggalkan korban jiwa yang mencapai puluhan ribu orang.
Langkah selanjutnya adalah mengadakan perundingan yang dikenal sebagai Majlis Tahkim, di mana akan dilakukan mediasi dan penyelesaian konflik secara adil dan damai. []
Sumber:
1. Dr. Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2022. Sejarah Islam: Dari Arab Pra-Islam Hingga Runtuhnya Khilafah Utsmani. Jakarta Selatan: PT Qaf Media Kreativa.
2. Brata, Rospia Yat. Perang Shifin. Universitas Galuh Ciamis
—————-
Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani
Editor: Muhammad Fahrul Rozi