Tahun 680-683 M: Jejak Peradaban Dunia di Masa Khalifah Kedua Bani Umayyah

Laduni.ID, Jakarta – Periode tahun 680-683 M merupakan rentang waktu yang sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut, terutama dalam konteks sejarah peradaban Islam dan dunia pada masa itu. Terdapat banyak peristiwa penting yang memiliki dampak besar dalam pembentukan arah peradaban Islam dan dunia pada masa itu. Dengan memahami lebih dalam tentang periode ini, kita dapat menggali wawasan yang berharga mengenai kebijakan politik, perkembangan agama dan sosial, serta dampaknya terhadap masyarakat pada masa itu.

Mari kita telusuri beberapa peristiwa sejarah menarik yang terjadi dalam periode tahun 680 hingga 683 M untuk memahami betapa pentingnya periode tersebut dalam membentuk kehidupan dunia yang kita nikmati hari ini.

Pada periode tahun 680-683 M di Jazirah Arab, terjadi sejumlah peristiwa penting yang membentuk sejarah wilayah tersebut. Salah satunya adalah pergantian kekhalifahan pada pemerintahan Bani Umayyah. Kejadian ini mencerminkan perubahan signifikan dalam pemerintahan dan kekuasaan yang memengaruhi arah masa depan Jazirah Arab pada waktu itu.

Khalifah Pertama sekaligus Pendiri Bani Umayyah, yakni Muawiyah bin Abu Sufyan telah meninggal dunia pada tahun 680 M. Selanjutnya kursi kekhalifahan dilanjutkan oleh anaknya sendiri yang bernama Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan. Di saat menjabat khalifah menggantikan ayahnya, Yazid pada waktu itu berusia 34 tahun.

Yazid adalah khalifah kedua dalam Dinasti Bani Umayyah. Ia lahir pada tahun 22 Hijriah, saat itu ayahnya sedang menjabat Gubernur wilayah Palestina yang meliputi Suriah dan sekitarnya yang berkedudukan di Kota Damaskus. Sehingga, bisa dikatakan Yazid lahir dan besar dalam lingkup istana yang penuh dengan kemewahan.

Tidak seperti masa Khulafaur Rasyidin sebelumnya yang dipilih oleh kaum Muslimin, Yazid menerima jabatan khalifah langsung dari ayahnya. Meskipun demikian, sebagian besar penduduk Palestina dan Suriah mendukungnya. Penduduk wilayah Mesir dan pesisir utara Afrika juga menyetujui pemilihan Yazid sebagai khalifah penerus Muawiyah. Sementara dari wilayah Basrah yang saat itu merupakan Ibu Kota Iran dan Khurasan, serta Kufah Ibu Kota Irak kala itu belum menunjukkan reaksi.

Sedangkan penduduk wilayah Hijaz, terutama penduduk Makkah dan Madinah menentang secara keras. Meskipun Marwan bin Hakam gubernur wilayah itu sudah memaksa penduduk Hijaz untuk membai’at Yazid, tetapi mereka tetap menolak. Kala itu, baik di Madinah maupun Makkah, masih banyak kalangan sahabat Nabi dan para Tabi’in. Ada beberapa tokoh yang disegani, yaitu Abdullah bin Umar bin Al-Khattab, Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Zubair bin Awwam.

Abdullah bin Umar menyetujui Yazid sebagai khalifah. Sejarah mencatat ucapannya saat itu, “kalau orang banyak menyetujuinya, maka saya pun setuju.” Sedangkan Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair tetap menolak membai’at kepada Yazid. Penduduk Makkah dan Madinah pun berada di belakang kedua tokoh itu.

Karena perselisihan antara Husain bin Ali dengan pemerintahan Yazid tersebut, terjadi suatu peristiwa kelam dalam Peradaban Sejarah Islam, yaitu Tragedi Pertempuran Karbala. Tragedi memilukan ini terjadi pada tanggal 10 Muharram 61 H atau 680 M, di mana saat itu berlangsung pertempuran antara tentara Khalifah Kedua Bani Umayyah dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Sayyidina Husain bin Ali (cucu Nabi Muhammad SAW) di wilayah Karbala (Irak modern).

Dalam pertempuran tersebut, Sayyidina Husain terbunuh bersama sebagian besar kerabat dan sahabatnya, sementara anggota keluarganya yang masih hidup ditawan. Mendengar terbunuhnya Sayyidina Husain, Yazid merasa sedih, tapi di sisi lain juga merasa nyaman setelah menyingkirkan rival kuatnya dari keluarga Hasyimi. Pertempuran Karbala ini mendorong berkembangnya partai pro-Ali (Syiah Ali) menjadi sekte keagamaan yang unik dengan ritual dan ingatan kolektifnya sendiri. Sejak tragedi tersebut pada tanggal 10 Muharram setiap tahunnya, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib, menjadikan hari itu sebagai hari perkabungan internasional. Dan hingga saat ini, tragedi Karbala menjadi salah satu sejarah penting dalam peradaban Islam.

Selanjutnya pada tahun 681 M, ada peristiwa memilukan lainnya bagi umat Muslim, yakni wafatnya Ummu Salamah, beliau adalah salah satu istri Rasulullah SAW. Ummu Salamah adalah seorang Ummul Mukminin yang berkepribadian kuat, cantik, dan menawan, serta memiliki semangat jihad dan kesabaran dalam menghadapi cobaan.

Di dalam Sirah Ummahatul Mukminin dijelaskan tentang banyaknya sikap mulia dan peristiwa penting darinya yang dapat diteladani kaum Muslimin, baik sikapnya sebagai istri yang selalu menjaga kehormatan keluarga, maupun sebagai pejuang di jalan Allah SWT.

Ummu Salamah wafat tatkala berusia sekitar 84 tahun, setelah hidup dengan aktivitas yang dipenuhi dengan pengorbanan, jihad, dan kesabaran di jalan Allah SWT dan Rasul-Nya. Beliau dishalatkan oleh Abu Hurairah dan dikuburkan di Pemakaman Al-Baqi’ di samping kuburan Ummahatul-Mukminin lainnya.

Di tahun 681 M juga terdapat peristiwa kelahiran seorang tokoh besar yang begitu terkenal dalam lembaran sejarah, dialah Umar bin Abdul Aziz. Dalam literatur sejarah lebih dikenal dengan sebutan ‘Umar Kedua’ lantaran kebijaksanaan, keadilan, kejujuran, serta kesederhanaannya. Beliau kelak menjadi Khalifah dari Bani Umayyah dari tahun 717 hingga 720 M.

Walaupun kelak Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya memerintah selama dua setengah tahun, tetapi kebijakan yang dibuatnya sangat berjasa bagi kejayaan umat Islam. Beliaulah yang memulai menerapkan syariat Islam secara utuh dengan meminta bantuan ulama, seperti Imam Hasan Bashri. Pada masa pemerintahannya juga, hadis-hadis mulai dibukukan.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mempunyai perhatian terhadap berbagai cabang ilmu, seperti kedokteran. Dirinyalah yang mengusulkan memindahkan sekolah kedokteran dari Iskandaria, Mesir ke Antakiya, Turki. Beliau juga bersikap agak lunak terhadap musuh-musuh politiknya.

Kemudian di tahun 683 M terjadi peristiwa bersejarah lainnya, yaitu peristiwa pengepungan Kota Makkah oleh pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Yazid. Pengepungan ini terjadi pada bulan September hingga November. Kota Makkah adalah tempat perlindungan bagi Abdullah bin Zubair, yang merupakan salah satu penantang paling terkemuka di masa pemerintahan Yazid.

Kala itu di Madinah, Kota Suci Islam lainnya juga memberontak melawan Yazid, lantas kemudian penguasa Bani Umayyah ini mengirim pasukan untuk menaklukkan Arab. Tak lama berselang pasukan Bani Umayyah berhasil mengalahkan pasukan Muslim di Madinah dan merebut kota itu, tetapi Makkah masih mampu bertahan dalam pengepungan selama sebulan, di mana Ka’bah rusak karena kobaran api.

Pengepungan berakhir ketika berita datang tentang kematian mendadak Yazid. Komandan Umayyah, Husain bin Numair As-Sakuni, setelah dengan sia-sia mencoba membujuk Abdullah bin Zubair untuk kembali bersamanya ke Suriah dan diakui sebagai Khalifah, berangkat dengan pasukannya. Namun Abdullah bin Zubair tetap tinggal di Makkah.

Kematian Yazid di tahun 683 M tersebut, menandai berakhirnya masa pemerintahan kekhalifahannya sendiri. Sepeninggal Yazid, kursi kekhalifahan diisi oleh anaknya, yaitu Muawiyah bin Yazid atau juga dikenal sebagai Muawiyah II. (Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, 2008)

Sementara itu di Nusantara pada periode antara tahun 661 hingga 680 Masehi, terdapat sejumlah peristiwa sejarah yang menarik untuk diselidiki lebih lanjut, dan dapat memberikan wawasan berharga tentang perkembangan dinamika masyarakat dan budaya di wilayah tersebut di masa lampau.

Selama periode ini, di wilayah Jawa Barat modern, Kerajaan Galuh memegang peranan penting yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Wretikandayun, yang juga dikenal dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa. Ia memerintah selama 90 tahun dari tahun 612 hingga 702 M. Wertikandayun memerintah di Galuh setelah melepaskan diri dari Kerajaan Tarumanagara, yang kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Sunda. Pada saat yang sama, Kerajaan Sunda sendiri dipimpin oleh Raja Tarusbawa, yang merupakan menantu dari Linggawarman. (Aditia Asmara, Kerajaan Galuh dan Sistem Sosial Pada Masyarakat Kampung Adat Kuta, 2022)

Di Jawa Tengah, terdapat Kerajaan Kalingga yang dipimpin oleh Ratu Shima. Ia naik tahta pada tahun 674 M. Kerajaan ini juga dikenal sebagai Kerajaan Holing, yang pusatnya berada di sebelah utara Gunung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Ratu Shima memimpin Kerajaan Kalingga hingga tahun 695 M, di mana kepemimpinannya dicirikan oleh kekuatan dan keadilan. Kepemimpinannya yang tegas dan adil ini berhasil membawa Kerajaan Kalingga mencapai puncak kejayaannya, menjadikan Kalingga dikenal di berbagai penjuru dunia.

Pada masa itu, Kalingga menggantikan peran sebagai pusat perdagangan yang sibuk yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara di pesisir utara Jawa bagian barat. Selain itu, Ratu Shima juga berhasil memperluas sektor pertanian dan industri kerajinan untuk meningkatkan ekonomi Kerajaan Kalingga. (Yuda Prinada, Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga (674-695 M), 2020)

Pada tahun 671 M, Dapunta Hyang Sri Jayanasa mendirikan Kerajaan Sriwijaya di wilayah Nusantara lainnya, sebuah kerajaan maritim yang terbesar dan paling berpengaruh pertama di wilayah tersebut, dengan ibu kota di Palembang, Sumatera Selatan. Keberadaan kerajaan ini menjadi momen penting dalam sejarah Nusantara yang menunjukkan kejayaan dan kekuatan maritim di daerah tersebut. Pada puncaknya, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan yang berpengaruh di Asia Tenggara.

Dapunta Hyang Sri Jayanasa memimpin Sriwijaya hingga tahun 702 M. Sistem pemerintahan Sriwijaya terdiri dari kumpulan kedatuan yang dipimpin oleh seorang Maharaja dengan model politik Mandala. Kedatuan merupakan negara kota atau wilayah yang dipimpin oleh seorang Datu. Sementara Mandala adalah bentuk politik khusus yang mendominasi kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Asia, di mana hubungan vassal lebih diutamakan daripada kekuasaan langsung. Datu diangkat oleh Raja Sriwijaya untuk mengendalikan kedatuannya sendiri dengan syarat membayar upeti dan bersumpah setia kepada Kerajaan Sriwijaya. Mandala mirip dengan sistem feodalisme di Eropa.

Salah satu catatan yang mencatat keberadaan Kerajaan Sriwijaya berasal dari luar negeri, khususnya dari Cina. Pada saat itu, seorang pendeta Buddha bernama I’Tsing menulis laporan perjalanan dari Canton ke Palembang pada tahun 671 M, di mana ia menyebut Palembang sebagai pusat kegiatan agama Buddha yang terpenting dari Kerajaan Sriwijaya. Bahkan, I’Tsing melakukan perjalanan dari Palembang ke India dengan menumpang kapal Raja Sriwijaya. (Nandy, Sejarah Pendiri Kerajaan Sriwijaya Beserta Silsilahnya, 2024)

Antara tahun 680 dan 683 M, di Eropa terdapat Kekaisaran Romawi Timur atau Byzantium yang pusatnya terletak di Kota Konstantinopel. Kaisar pada periode ini adalah Konstantinus IV, yang memerintah dari tahun 668 hingga 685 M. Pada pemerintahan Konstantinus IV sebagai kaisar Byzantium, terdapat peristiwa bersejarah yang terjadi di tahun 680 M, yakni Konsili Ekumenis Keenam atau biasa dikenal sebagai Konsili Konstantinopel Ketiga, diselenggarakan antara tahun 680-681.

Konsili ini mengutuk doktrin monoenergisme dan monotelitisme sebagai ajaran yang sesat, dan menetapkan bahwa Yesus Kristus memiliki dua energi dan dua kehendak, yakni ilahi dan manusia. Ajaran tersebut diterima oleh Gereja-Gereja Ortodoks Timur dan Katolik, serta beberapa Gereja Barat lainnya. (History-maps, Third Council of Constantinople, 2024)

Di daratan Cina pada periode tahun 680-683 M, terjadi sebuah peristiwa sejarah yang signifikan yang membutuhkan perhatian. Peristiwa tersebut adalah pergantian kepemimpinan dalam pemerintahan Dinasti Tang dengan ibu kota Chang An, yang memiliki dampak penting dalam jalannya sejarah pada masa tersebut. Pergantian kepemimpinan ini terjadi pada tahun 683 M, ketika Kaisar Li Zhi (649-683 M) meninggal dunia. Kemudian, kepemimpinan dilanjutkan oleh Kaisar Li Xian atau Li Zhe.

Selama memimpin pemerintahan, Kaisar Li Zhi didampingi oleh permaisurinya yang bernama Wu Zetian. Kaisar Li Zhi merupakan salah satu Kaisar Dinasti Tang yang mencatat banyak prestasi selama masa pemerintahannya.

Pemaparan di atas memberikan gambaran singkat tentang kondisi dunia pada periode tahun 680 hingga 683 M. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan pentingnya pemahaman akan sejarah masa lalu. Penggalian informasi mengenai periode ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru yang bermanfaat bagi mereka yang ingin mengetahui lebih dalam tentang peradaban sejarah dunia.

Dalam konteks Khalifah Yazid sebagai Khalifah Kedua dari Bani Umayyah dalam sejarah Islam, terdapat peristiwa besar lainnya di berbagai belahan dunia yang patut diketahui, seperti Peristiwa Kelam Perang Karbala di Timur Tengah, keberadaan kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Nusantara, eksistensi Kekaisaran Byzantium, dan pergantian pemerintahan Kaisar Dinasti Tang di Cina.

Dengan mempelajari peristiwa-peristiwa tersebut, kita dapat lebih memahami perkembangan sejarah dunia dan membentuk pengetahuan yang penting bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Harapannya, hal ini dapat menjadi pembelajaran dan menginspirasi semangat positif, sehingga mendorong lahirnya generasi yang unggul dan berkualitas di masa depan.

Laduni.ID akan mengupas artikel-artikel paralel lintas peradaban di masa-masa lainnya.[]


Penulis: Muhammad Fahrul Rozi

Editor: Kholaf Al Muntadar

https://www.laduni.id/post/read/525770/tahun-680-683-m-jejak-peradaban-dunia-di-masa-khalifah-kedua-bani-umayyah.html