Laduni.ID, Jakarta – Pada tahun 802 Masehi, Khalifah Harun Ar-Rasyid meninggalkan sebuah wasiat yang di dalamnya merupakan surat perintah untuk membagi kekuasaan kepada kedua putranya, Al-Amin dan Al-Makmun. Ia berharap, wasiat ini dapat menjaga stabilitas kekhalifahan setelah kematiannya.
Al-Amin menjadi khalifah, diberi kekuasaan atas Baghdad dan wilayah barat kekhalifahan, sementara Al-Makmun memerintah di Khurasan dan wilayah timur, dengan potensi wilayah yang strategis dan begitu kaya.
Namun, pembagian itu justru menjadi benih konflik besar di antara kedua putra Harun. Setelah wafatnya Harun pada tahun 809 Masehi, persaingan untuk memperebutkan kekuasaan penuh meletus, mengakibatkan perang saudara yang berlangsung cukup lama. Pertarungan antara Al-Amin dan Al-Makmun tidak hanya dipicu oleh ambisi prtibadi, tetapi juga perbedaan politik, dukungan militer, serta kepentingan para pejabat dan gubernur.
Perang saudara ini berdampak besar pada kelangsungan Dinasti Abbasiyah dan menunjukkan kopleksitas politik di masa pemerintahan pasca Harun Ar-Rasyid.
Hasutan Para Pengikut
Setiap konflik pasti memiliki sebuah sebab, sama halnya dengan peristiwa ini. Dalam kasus ini Al-Amin memiliki orang kepercayaan bernama Al-Fadhal bin Rabi’ dan Ali bin Isa bin Mahan, mereka berdua mendukung dan mendorong Al-Amin untuk merusak perjanjian (wasiat Harun Ar-Rasyid). Sehingga, pada tahun 810 Masehi, anak ketiga Harun yaitu Al-Qasim, dicabut hak kuasanya di wilayah Semenanjung Arab oleh Al-Amin.