Menjelang tutup tahun 2023, pikiran dan hati saya masygul. Bahkan dibanding tahun-tahun sebelumnya, saya melihat tahun ini dan tahun-tahun mendatang dunia yang kita tinggali ini berjalan ke arah yang tidak pasti. Ketidakpastian adalah kata kunci untuk abad kita sekarang. Meski teknologi berkembang secara eksponensial, cara kita hidup bersama terasa tidak mengalami kemajuan.
Setidaknya ada dua peristiwa yang membuat saya merasa kita berada dalam sebuah krisis tatanan sosial politik yang sangat serius. Peristiwa pertama adalah genosida di Gaza, Palestina. Hingga detik ini pembunuhan massal terhadap warga sipil terus dilakukan oleh tentara Israel, tetapi hampir seluruh perangkat pengaturan internasional terlihat tidak berdaya mencegahnya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang oleh halaqah fiqih peradaban PBNU diperkenalkan sebagai sumber hukum Islam baru di era modern tampak seperti macan tua yang ompong dari masa lalu. Terlebih lagi perkumpulan negara-negara Muslim seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI), suaranya nyaris lamat-lamat tanpa daya. Begitu pula dengan Liga Arab, kita tidak menyaksikan aksi nyata mereka untuk mengatasi keadaan yang semakin memprihatinkan.
Peristiwa kedua datang dari dalam negeri sendiri. Patgulipat yang terjadi menjelang Pemilu 2024 membuat harapan perubahan semakin sirna. Demokrasi ternyata hanyalah permainan yang dikuasai oleh para elite untuk mempertahankan status dan akses ekonomi-politik mereka. Tidak ada lagi keutamaan, sebab yang kita lihat dari pertunjukan di media adalah pencarian rente besar-besaran terhadap sumber-sumber kemakmuran negara. Ironisnya, alih-alih berdiri secara imparsial, para pemimpin bangsa di tingkat puncak malah ikut permainan yang jauh dari sifat kemuliaan.
Terhadap dua peristiwa tersebut, bagaimana seharusnya kita bersikap? Khususnya bagi para intelektual, apa yang bisa direfleksikan dari dua peristiwa terpisah tetapi saling terkait itu? Apakah mereka mempunyai kerangka untuk menganalisis itu atau jangan-jangan mereka tidak menyadari adanya krisis tatanan sosial politik yang menyandera hidupnya tahun ini dan tahun-tahun mendatang?
Hal pertama yang mesti dikoreksi adalah cara pandang kultural. Selama ini kita sering memandang masalah Palestina dan demokrasi di dalam negeri melalui kacamata politik identitas. Masalah Palestina dianggap hanya merupakan konflik agama, sedangkan kontestasi menjelang pemilu dipandang sebagai konflik antara “orang baik” dan “orang jahat”. Dalam masalah Palestina kita jarang melihatnya sebagai warisan dari imperialisme Barat yang belum tuntas. Tidak hanya di Gaza, warisan imperialisme Barat adalah tantangan terbesar bagi pembentukan tatanan sosial politik dunia yang adil. Sementara itu, fokus pada perkara kepribadian “orang baik” lawan “orang jahat” membuat kita melupakan adanya ketimpangan sosial politik yang luar biasa di negeri ini. Lagi-lagi ini adalah warisan dari masa lalu, bahkan sejak era kolonial Eropa, yang belum tuntas. Imperalisme dalam berbagai bentuknya masih nyata, tetapi kita lupa menyadarinya.
Warisan imperialisme Barat adalah isu yang hampir hilang dalam kesadaran publik kita, termasuk di kalangan intelektualnya. Dalam kancah ilmu-ilmu sosial dan humaniora di mana saya menjadi bagiannya, setidaknya sejak empat dekade lalu perhatian para akademisi tertuju sepenuhnya pada masalah pengakuan kultural. Mengikuti tren di Barat, kaum cerdik pandai kita ramai-ramai mempromosikan multikulturalisme sebagai strategi untuk menata masyarakat yang majemuk. Meski pada awalnya bersifat progresif karena berusaha mengatasi konservatisme paradigma pembangunan kultural rezim otoriter Orde Baru, promosi multikulturalisme kurang mengikutsertakan kebijakan untuk meredistribusikan harta. Politik pengakuan berhenti pada identitas kultural, tetapi apakah itu berdampak pada pemerataan kemakmuran agak terabaikan. Perdebatan berujung hanya pada pengakuan perbedaan identitas kultural, tetapi itu malah dimanipulasi untuk menormalisasi perbedaan kelas sosial ekonomi.
Di kalangan Muslim, multikulturalisme yang salah kaprah adalah sebuah kutukan. Alih-alih menyadari posisinya sebagai bagian dari kelas menengah dan bawah dalam struktur sosial ekonomi, mereka sibuk setiap hari memperdebatkan keunikan dan keunggulan identitas kelompoknya dibanding kelompok yang lain. Kelompok Muslim tradisionalis mendaku lebih nasionalis dibanding kelompok Muslim modernis, sedangkan pada saat yang sama kelompok Muslim modernis merasa lebih tercerahkan dibanding kelompok Muslim tradisionalis. Perdebatan internal seperti ini membuat dikotomi masyarakat Muslim bentukan kolonial terus bertahan dan bahkan menguat, tetapi kenyataan bahwa nasib mereka sebagai umat yang proletar tidak pernah menjadi bahan renungan dan aksi politik bersama. Ide tentang perjuangan kelas di kalangan Muslim masih berupa ajakan moral yang samar-samar.
Dalam situasi yang terkutuk oleh salah kaprah multikulturalisme itu pula kita selalu memisahkan analisis terhadap peristiwa di luar negeri dan di dalam negeri. Genosida di Gaza dan patgulipat demokrasi di Indonesia seolah dua hal yang terpisah di mana perhatian ditujukkan hanya pada salah satunya. Bahkan di kalangan intelektual, tidak ada kesadaran interseksional yang berusaha memahami persoalan dalam kerangka tatanan yang komprehensif. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau di Aceh ada sekelompok mahasiswa yang mungkin pagi harinya ikut demontrasi menentang kebiadaban Israel di Gaza, tetapi sore harinya ikut mengobrak-abrik penampungan pengungsi Rohingya. Bagaimana kita menjelaskan ini kecuali menunjuk adanya keterpisahan cara pandang terhadap realitas yang kompleks tetapi secara struktural sesungguhnya saling terhubung?
Menjelang tutup tahun 2023 ini saya belum melihat titik terang di ufuk sana. Kita masih terlena dengan cara pandang kultural terhadap realitas, sehingga krisis tatanan sosial politik mungkin akan dianggap propaganda. Tentu saja perjuangan untuk mengubah keadaan akan membayangi pemikiran kaum intelektual, tetapi keadaan yang dimaksud umumnya lebih bersifat personal daripada publik. Barangkali pada akhirnya kita semua adalah Sisifus yang berjalan terus dan terus mengangkat batu ke puncak bukit, lalu menjatuhkannya kembali ke lereng di bawah, lalu mengangkat lagi, lalu menjatuhkannya lagi, dan seterusnya. Barangkali dengan pesimisme tetapi berkesadaran ini kita bisa merawat harapan di tahun-tahun mendatang yang penuh ketidakpastian.