Tali Tigo Sepilin, Tungku Tigo Sejerangan: Trias Politica ala Masyarakat Melayu Jambi

Trias politica adalah istilah sekaligus sistem politik yang paling banyak digunakan oleh dunia saat ini. Ide ini pertama kali dikemukakan oleh Jhon Locke lalu dikembangkan oleh Montesqiueu L,Esprit des Lois.

Pada saat itu kekuasaan pada pemerintahan hanya dimiliki oleh raja. Sehingga banyak sekali kebijakan yang dibuat semaunya raja saja. Jika rajanya bijaksana, maka keputusan yang diambil akan baik. Jika tidak, maka tidak ada yang mengontrol dan menghakimi perilaku raja.

Trias Politica hadir untuk menjawab permasalahan tersebut dengan membagi kekuasaan menjadi tiga: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif bertugas sebagai pelaksana undang-undang. Legislatif bertugas sebagai pembuat undang-undang serta mengawasi eksekutif dalam melaksanakan undang-undang.

Jika ada undang-undang yang dilanggar, baik oleh rakyat maupun pemerintah maka akan diadili oleh yudikatif. Yudikatif juga memiliki tugas sebagai pengawas layaknya legislatif.

Meskipun tidak sempurna sistem ini dapat mengurangi dampak negatif dari kekuasaan absolut yang dimiliki oleh raja sebelumnya.

Tali Tigo Sepilin, Tungku Tigo Sejerangan

Rupanya orang Nusantara zaman dahulu juga telah memikirkan masalah ini. Terutama pada masyarakat Minangkabau dan Jambi. Orang Minangkabau dan Jambi memiliki banyak sekali kesamaan budaya seperti sama-sama memegang filosofi adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah dan sistem tali tigo sepilin, tungku tigo sejerangan.

Tali tigo sepilin, tungku tigo sejerangan adalah sistem pemerintah yang bertumpu pada tiga otoritas yang ada di masyarakat, yaitu pemerintah, pemangku adat dan tokoh agama yang direpresentasikan melalui pegawai syarak seperti imam, khatib, bilal dan sebagainya.

Ibarat tali yang berpilin tiga, pemerintahan tidak akan kuat jika hanya dipegang oleh satu kekuasaan saja. Begitu juga dengan tungku api yang tidak akan sanggup berdiri jika hanya memiliki satu atau dua kaki saja. Ketiganya harus bersatu padu dalam menjalankan kekuasaan.

Kekuasaan adat sendiri sejatinya telah berakhir pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 436/Sip/1970. Namun, majlis kehakiman adat masih banyak dipegang oleh masyarakat adat seperti Minangkabau dan Jambi. Di Jambi sendiri dewan adat memiliki lembaga pengadilannya sendiri yang disebut Dewan Lid.

Pengadilan ini telah mengalami banyak sekali adaptasi sejak masa kesultanan, pemerintah kolonial hingga masa Republik Indonesia. Meskipun tidak memiliki otoritas sekuat dulu, pengadilan adat masih sangat massif dilakukan pada tingkat desa.

Dalam praktik masa kini, pemerintah berperan sebagai legal standing yang menaungi dua otoritas informal tersebut. Keputusan diserahkan kepada pemangku adat. Sedangkan otoritas agama bertugas sebagai pengawas keputusan apakah keputusan yang diambil oleh pemangku adat sesuai dengan agama atau tidak.

Meskipun pemangku adat memiliki hak untuk memutuskan, ia tidak memiliki kuasa berlebih karena kekuasaan adat tidak boleh menyalahi hukum agama. Sehingga terbentuk kebijakan yang seimbang.

Terkadang terjadi perselisihan antara adat dan agama. Jika terjadi perselisihan antara keduanya, umumnya adat akan mengalah dari agama. Hal ini terjadi karena adat boleh berubah jika dipaksa sedangkan agama tidak. Masalah ini dijelaskan dalam seloko adat kujut sentak, agamo kujut mati (adat ibarat ikatan tali yang akan lepas jika ditarik secara paksa, sedangkan agama ibarat ikatan mati yang semakin ditarik semakin kuat).

Adapun masalah yang biasa diserahkan pada tiga otoritas tersebut adalah masalah yang berhubungan langsung dengan ketertiban masyarakat dimulai dari pembagian harta jika terjadi perceraian atau meninggalnya seseorang hingga pada masalah perizinan.

Di tempat penulis sendiri ada beberapa kebijakan yang mengubah kebiasaan umum seperti mengadakan Organ Tunggal pada acara nikahan atau sunatan karena diyakini menimbulkan banyak madharat.

Sebelumnya pada acara pernikahan kerap diadakan acara Organ Tunggal sebagai penghibur tamu. Namun, karena kebanyakan grup organ yang diundang berpakaian seksi serta banyak pemuda mabuk yang bergoyang, acara tersebut dilarang oleh tiga otoritas diatas melalui sebuah musyawarah.

Satu lagi kebijakan tiga otoritas Tali Tigo Sepilin, Tungku Tigo Sejerangan yang penulis suka adalah pelarangan makan-makan pada tiga malam pertama paska kematian.

Umumnya bagi masyarakat tradisional Jambi mengadakan kenduri tiga malam berturut-turut setelah salah seorang keluarga meninggal dunia. Setelah mengaji dan berdoa para tamu undangan akan disuguhi makanan sebagai ungkapan terima kasih dari ahli musibah.

Rupanya tradisi ini banyak memberatkan keluarga-keluarga yang tidak mampu. Oleh karenanya tiga otoritas tersebut membuat kebijakan larangan makan-makan kepada siapapun yang terkena musibah kematian, terlepas ia kaya atau miskin pada tiga malam pertama paska kematian. Para tamu hanya diberi minuman saja setelah atau sebelum pengajian.

Demikianlah sistem Tali Tigo Sepilin, Tungku Tigo Sejerangan yang masih diterapkan khususnya di Jambi. Sistem ini memang tidak merambah pada aspek-aspek yang lebih luas seperti perancangan undang-undang.

Namun, dengan segala keterbatasannya Tali Tigo Sepilin, Tungku Tigo Sejerangan telah berhasil dalam menciptakan  kebijakan yang balance sehingga menenteramkan masyarakat terutama dalam tatanan perdesaan. Sehingga tidak heran jika pemerintah Provinsi Jambi memberikan gaji pada pemangku adat dan pegawai syarak.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/ubd/tali-tigo-sepilin-tungku-tigo-sejerangan-trias-politica-ala-masyarakat-melayu-jambi-b248916p/