Taman Siswa dan Seni(man)

Pada 2022, orang-orang membuat peringatan 100 tahun Chairil Anwar. Beragam acara diadakan di pelbagai kota. Lomba, seminar, dan penerbitan buku dilakukan demi menghormati tokoh. Chairil Anwar memang pujaan. Ia penting bagi orang-orang memikirkan sastra berkaitan sejarah Indonesia. Ingatan-ingatan dan pemaknaan bisa dibaca dalam majalah Intisari edisi Juli 2022 bertema 100 tahun Chairil Anwar.

Pada saat di Jakarta, Chairil Anwar memiliki kaitan dengan Taman Siswa. Kaitan itu tempat, perjumpaan, dan percakapan. Semula, Affandi ikut tinggal di sekolah Taman Siswa. Tokoh terpenting di situ Pak Said. Perjumpaan para seniman dan pendidik sering terjadi. Chairil Anwar turut hadir. Kita mungkin telat memikirkan bila peringatan bisa dilakukan bersama. Seratus tahun Perguruan Nasional Taman Siswa (3 Juli 1922-3 Juli 2022) dan seratus tahun Chairil Anwar (26 Juli 1922-26 Juli 2022).

Seniman-seniman berkaitan Taman Siswa di Jakarta tak cuma Chairil Anwar. Kita membuka ingatan Taman Siswa, Pak Said, dan para seniman melalui puisi berjudul “Buat Pak Said” gubahan Ajip Rosidi (1955). Puisi dimuat dalam Almanak Seni 1957 terbitan Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, Jakarta, 1956.

Kita mengutip mengenangkan masa lalu: Manusia datang dan pergi disini/ Mereka bitjara tentang hidup tentang mati/ Mereka datang dan berangkat lagi// Kita hadapi apa jang musti datang/ Kita hadapi kini apa jang musti kita hadapi. Puisi (mungkin) dokumentatif saat Ajip Rosidi datang ke Jakarta meninggalkan kampung halaman di Jatiwangi. Ia ke Jakarta untuk sekolah dan bekerja. Ia mengamati manusia, kota, suasana, dan lain-lain. Puisi berkaitan erat dengan tokoh terpenting dalam membesarkan dan mengurusi Taman Siswa di Jakarta: Pak Said.

Baca juga:  Apa Pentingnya Beribadah, Bila Allah Tidak Membutuhkan Sedikit pun Ibadah Kita?

Kita mengutip lagi gejolak manusia-manusia di masa revolusi, masa Indonesia berantakan dengan beragam ide, kemauan, dan pertaruhan nasib. Ajip Rosidi menulis: Ia jang menemu, ia jang kehilangan/ Ingin satu warna, tapi warna begitu ragam/ Ia jang pergi, ia jang datang…. Puisi mungkin tak bercerita panjang bagi kita ingin mengetahui persoalan Taman Siswa di Jakarta dipastikan berbeda dengan lakon di Yogyakarta, titik mula Taman Siswa.

Kita membuka buku berjudul 70 Tahun Perjuangan Tamansiswa Cabang Jakarta (1999) susunan Ki Soenarno. Buku tipis tapi merekam zaman, mengajak kita mengenali para seniman pernah bertumbuh bersama Taman Siswa. Di halaman 16, kita mengingat tempat, peristiwa, dan para tokoh: “Sesudah pindah ke Jalan Garuda 25, Taman Dewasa pun belum boleh dibuka. Ki Mohammad Said memprihatinkan nasib pendidikan anak-anak di tingkat pendidikan menengah ke atas. Untuk mengatasi hal itu, Ki Mohammad Said membuka kursus pengetahuan umum, yang sebenarnya pelajarannya sama dengan Taman Dewasa juga. Di antara siswanya: Asrul Sani, Pramoedya Ananta Toer, Sutiksna, dan Urip Supeno.” Kita bisa membuktikan (lagi) bila membaca memoar atau biografi para tokoh saat mereka belajar dan menempa diri di Taman Siswa (Jakarta).

Kita mulai berpikiran para seniman. Taman Siswa itu tempat untuk belajar. Pada suatu masa, Taman Siswa turut dalam babak-babak biografi para seniman tenar di Indonesia. Kita memastikan selera seni Taman Siswa dalam buku berjudul Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian II, Kebudayaan (1967). Tulisan-tulisan mengenai seni dimuat untuk terbaca dan memahami tata cara menumbuhkan kegandrungan seni di Taman Siswa. Di situ, kita membaca masalah srimpi, gending, sastra, drama, dan lain-lain. Kita mungkin bakal kewalahan mencatat nama-nama tokoh (seni) mendapat faedah dan hikmah dari selera seni diajarkan dan dipentaskan di Taman Siswa.

Baca juga:  Iklan Ramadan: Waraslah!

Taman Siswa di Jakarta tak cuma sekolah. Sekian pihak mengatakan Taman Siswa itu “pusat kebudayaan Republik Indonesia” berlatar masa 1940-an dan 1950-an. Sekian sumber terbaca disajikan ulang oleh Ki Soenarno: “Penyair Chairil Anwar sering tidur di Taman Siswa di Jalan Garuda guna berbincang-bincang dengan Ki Mohammad Said.” Taman Siswa juga sering disinggahi Sudjojono: “… walau tinggal di Yogyakarta, beliau sering datang ke Jakarta dan menginap di Jalan Garuda 25.”

Perhatian Sudjojono terhadap seni dan Taman Siswa bisa disimak dalam buku berjudul Taman Siswa 30 Tahun (1956). Sudjojono menjelaskan: “Pendidikan kesenian harus didasarkan kepada tjinta kebenaran. Djikalau si pendidik sudah mempunjai bekal ini, jaitu tjinta kebenaran, adalah permulaan baik.” Beragam kesenian diajarkan dan bertumbuh di Taman Siswa, dari masa ke masa.

Kita bandingkan dengan pengalaman dan kesaksian Ajip Rosidi ditulis dalam buku berjudul Hidup Tanpa Ijazah (2008). Ia tertarik belajar di Taman Siswa (Jakarta) gara-gara mendapat cerita dari para sastrawan. Ajip Rosidi mengenang: “Ketika aku mendaftar dan bertemu dengan pamong-pamong itu, banyak yang sudah mengenal namaku. Artinya, mereka membaca karangan-karanganku yang dimuat dalam majalah. Pak Said juga sudah mengenal namaku, hal yang membuat hatiku berbunga-bunga.” Ajip Rosidi saat remaja sudah rajin menulis sastra, sosok cepat moncer.

Baca juga:  Pemetik Puisi (23): Pahit Kehilangan Mesra

Kedatangan Ajip Rosidi di Taman Siswa telat. Para seniman dan pengarang sudah lulus atau berada di tingkat akhir. Ajip Rosidi pun mengaku kecele. Ia mencatat nama-nama pernah di Taman Siswa: Soekanto SA, Sobron Aidit, Koesalah Soebagio Toer, Sjumandjaja, Misbach Jusa Biran, Soesilo Toer, dan lain-lain. Selama di Taman Siswa, Ajip Rosidi mengadakan acara ceramah dan obrolan sastra dengan mengundang Soedjatmoko untuk menjelaskan krisis kesusastraan di Indonesia.

Kita pun sedang membuat peringatan 100 tahun Soedjatmoko (10 Januari 1922-10 Januari 2022). Kita sedang mengenang dan membuat keterkaitan: Taman Siswa, Chairil Anwar, dan Soedjatmoko. Mereka terhubung oleh pendidikan-pengajaran dan seni. Begitu.

https://alif.id/read/bandung-mawardi/taman-siswa-dan-seniman-b245073p/