sufinews.com. Datuk Abulung adalah tokoh sufi yang kontroversial di Kalimantan. Kisahnya hampir mirip dengan Syekh Siti Jenar di Jawa. Dari cerita lisan banyak Datu Abulung dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi yang penuh dengan misteri. Salah satu kitabnya adalah Risalah Tasawuf yang memuat tentang pandangannya terhadap ajaran sufi.
Paham Wahdatul Wujud yang dianut Datuk Abulung membawanya pada hukuman mati. Ajarannya dianggap menyesatkan dan akhirnya ditangkap dan dihukum. Datuk Abulung bernama asli Syekh Abdul Hamid dan seorang ulama yang oleh oleh Azyumardi Azra dianggap tokoh yang terlibat dalam ikatan para ulama Nusantara dan Haramain pada abad ke 18.
Dalam tulisannya Nur Kolis, “Nur Muhammad Dalam Pemikiran Sufistik Datu Abulung Di Kalimantan Selatan,” yang dimuat Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Keislaman 11, no. 2 disebutkan bahwa Datuk Abulung dilahirkan tahun 1148 Hijriyah atau 1735 Masehi di negeri Yaman. Penamaan Abulung mengacu kepada nama sebuah kampung yang kemudian disematkan kepada Syekh Abdul Hamid.
Salah satu karya fenomenal Datu Abulung tentang tasawuf falsafi adalah kitab Risalah Tasawuf. Karya terdiri dari dua bagian. Jilid pertama berisi 88 halaman, sedangkan jilid kedua berisi 37 halaman. Kitab Risalah Tasawuf itu dimulai dengan pasal pendahuluan tentang ketuhanan. Ada juga pembahasan tentang perhimpunan martabat, martabat hamba, sifat tuhan, zikir, arti dan makna al-hamdu pada diri manusia, hakikat, permulaan dan kesudahan manusia, ilmu yang putus, kenyataan, ruku yang ketigabelas.
Selain itu juga membahas tentang kejadian dunia, takbiratul ihram dan al-fatihah, tanda manusia berpulang ke rahmatullah, kandungan nama Allah, roh, terpancarnya zat, alif dalam diri manusia dan dalam ghaib Allah Swt Nur Muhammad, hati, risalat israru as-salat, mukarranatul niat takbiratul ihram, qadha al-fawait, diri, bilangan asal kejadian manusia, niat mengenal diri, kejadian diri manusia, daerah rasm segala hurf, dan sinar al-haq.
Sebagai penganut paham tasawuf falsafi, Datu Abdul Hamid menyindir bahwa ilmu keagamaan yang diajarkan kepada masyarakat ramai selama ini hanyalah kulit “syariat”, belum sampai kepada isi “hakikat”. Salah satu ujaran Abulung yang cukup dikenal adalah berupa konsep: “Tiada mawjūd, melainkan hanya Dia, tiada wujud yang lainnya. Tiada aku, melainkan Dia dan aku adalah Dia…” Pandangan tasawuf wahdah al-wujud yang dianut Datu Abulung ini dipengaruhi aliran ittihad-nya Abu Yazid Al-Busthami (w. 873 H) dan hulul-nya Al-Hallaj (w. 923 H) yang masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri dan Syams Al-Din Al-Sumatrani serta Syekh Siti Jenar dari Jawa.
Doktrin tasawuf ittihad dan hulul yang mengumandangkan paham tentang kesatuan makhluk dan Tuhan tersebut dianggap melawan otoritas istana dan ulama. Setelah mendengarkan beberapa kesaksian dan menelaah beberapa kitab yang otoritatif, akhirnya para tokoh agama termasuk Syekh Arsyad al-Banjari menetapkan bahwa yang disampaikan oleh Datu Abulung berpotensi menyesatkan umat. Akhirnya Datuk Abulung diadili dan akhirnya dihukum mati.
Tentang kematiannya banyak cerita. Ketika akan dieksekusi tidak ada satu orangpun yang berhasil. Konon datanglah Syekh Arsyad al-Banjari dan mendekati Abulung. Beliau kemudian membisiskkan sesuatu kepada Datuk Abulung. Setelah itu algojo yang ditugaskan Sultan berhasil mengeksekusi Datuk Abulung. Saat darah Datuk Abulung mengalir tanah aliran darahnya membentuk eksklusif dan indah yaitu tulisan “La ilaha Illaallah”.
Datuk Abulung semasa hidupnya sangat gigih mengajarkan agama Islam khususnya dalam ilmu tasawuf dengan tekun dan gigih di daerah Kesultanan. Ada tiga tempat pengajian tasawuf falsafi oleh Syekh Datu Abulung yaitu Sungai Batang Martapura, Danau Panggang dan Haur Gading Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara.
Ada beberapa panggilan untuk nama Datu Abulung, yakni Syekh Abdul Hamid, Haji Abdul Hamid, Datu Habulung, Datu Ambulung, dan yang paling populer adalah Datu Abulung. Beliau wafat pada 12 Dzulhijjah 1203 Hijriyah atau 1788 Masehi, pada usia 53 tahun. Sampai saat ini makanya masih ramai diziarahi orang. (dari berbagai sumber)