Apa yang tersisa dari puasa Anda selama satu bulan? Puasa satu bulan itu ibarat Jumat dalam satu minggu, ya, liburan, ya, ibadah. Puasa mendidik kita membetulkan kembali kemanusiaan kita yang berangkali mulai atau telah serabutan setelah 11 bulan pemakaian. Meskipun tidak sama persis, barangkali ia dapat diibaratkan dengan proses reset ponsel, kembali ke pengaturan pabrik yang mungkin karena terlalu banyak aplikasinya sehingga sering hang.
Bagi umat Islam, segala pangkal amal keseharian adalah satu, adalah untuk Yang Satu, tak ada yang lainnya. Orang bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan kehidupan yang layak adalah menjalankan perintah Rasul yang ditugaskan oleh Allah swt. Orang makan pun, baik itu nasi pecel atau gulai kambing, juga berujung yang sama, yaitu mengumpulkan energi (seraya mensyukuri nikmat yang terberi) yang ujung-ujungnya kembali kepada-Nya, kepada Yang Satu. Lebih-lebih shalat, jika bukan ibadah, untuk menyadari kehambaan kita, memang untuk apa?
Sebab itulah, dalam Islam, niat adalah pangkal, prinsip. Tanpa niat, semua perbuatan berubah sia-sia. Oleh karena itu, kita selalu diwanti-wanti agar selalu memperbarui niat, membetulkan niat, memantapkan niat, karena bisa jadi ia berubah setelah kita menjalani aktivitas terlalu lama dijalani, monoton, atau terbiasa dilakukan dan berjalan alamiah.
Setelah puasa, kita akan menghadapi kehidupan biasa kembali, masuk kantor, kembali bekerja, dan para santri kembali ke pondok. Anda yang tinggal di kota atau yang sedang mudik, cobalah mengingat-ingat kembali hal berikut ini ketika besok atau lusa Anda akan kembali ke dunia yang sebenarnya, dunia kerja.
Pertama, ketika hendak berangkat, misalnya ketika sudah berada di dekat sepeda motor/mobil, baca basmalah dan berniat li ridaillahi taala (mengharap rida Allah swt). Niat akan lebih baik sembari dilafalkan demi menguatkan tekad. Semua perbuatan baik hendaknya diawali dengan basmalah.
Kedua, niatkan kerja untuk ibadah, seperti mencari nafkah untuk keluarga dan penghidupan. Karena kerja adalah berbuat baik, maka semua rangkaian yang ditempuh untuk menjadi kesempurnaan kebaikan tersebut harus juga dilakukan dengan cara yang baik. Contohnya, perbuatan yang semula tidak wajib, namun jika posisinya menjadi syarat sempurnanya suatu kewajiban, maka secara otomatis ia pun menjadi wajib, seperti wudu (tidak wajib) bagi shalat (wajib).
Ketiga, dalam perjalanan nanti, ketika ada lampu merah, sabarlah, jangan menorobos dan menyerobot. Memang, yang membuat lampu merah itu pemerintah. Akan tetapi, kewajiban menaati hukum positif tersebut juga merupakan kewajiban syar’i karena dasarnya adalah dalil-dalil syar’i juga, yakni berpijak pada ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis yang mewajibkan taat kepada ulil amri (pemerintah) dan memenuhi perjanjian (الوفاء بالعهد), misalnya pada QS Al-Nisa’: 59 dan Al-Maidah: 1 (meskipun terjadi perbedaan pendapat, hal tersebut tidak berpengaruh pada status “kewajiban menaati hukum positif yang membawa maslahat kepada publik serta tidak bertentangan dengan prinsip syari’at).
Keempat, ketika di dalam perjalanan nanti Anda menemukan kerumunan, lambatkan (defensif), tidak perlu klakson. Defensif adalah mengalah yang salah satu bentuk wujudnya adalah deselerasi (mengurangi laju kendaraan) ketika ada rintangan di depan. Klakson hanya dibutuhkan untuk meminta perhatian lebih. Dalam kondisi normal, klakson tidak diperlukan. Yang beredar di masyarakat adalah ofensif, selalu membunyikan klakson karena yang terpikir membunyikannya itu gratis, padahal biaya ketenangan itu sangat mahal. Anggaplah “mengemudi defensif” ini tindakan “mengalah” dan mengalah itu afdal, kecuali jika Anda sedang—misalnya—hendak shalat: ‘berebut’ mendapatkan shaf pertama itulah yang afdal, bukan ‘mengalah’ di shaf terakhir.
Kelima, saat parkir, Anda pastikan kendaraan Anda tidak mengganggu orang lain yang melintas. Memarkir kendaraan di badan jalan itu mengganggu (jika darurat, maka wajib menyalakan lampu segitiga atau hazard). Demikian pula dengan parkir di bahu jalan, harus ada ruang sekitar 1 meter karena kendaraan yang sedang melaju juga butuh ruang spasial untuk bergerak, tidak bisa ngepas karena ia tidak berjalan di atas rel sebagaimana kereta api.
Soal parkir ini, hujahnya tetap bisa merujuk pada Al-A’raf 86 atau asas berlaku bagi kenyamanan umum. Dalam menyikapi kasus memarkir kendaraan seperti di atas (atau pendirian toko), misalnya, secara lebih rinci, Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu” (6/4677), menetapkan pemenuhan dua syarat: keselamatan (seperti tidak membikin darurat kepada orang lain) dan izin (dari otoritas setempat karena jalan/gang bukan milik pribadi).
Sebetulnya, masih ada banyak masalah lain yang harus diingat, seperti penggunaan lampu yang melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan cenderung menyilaukan pengguna jalan lain yang datang dari lawan arah, tapi biarlah lima butir itu yang perlu kita ingat lebih dulu. Semuanya berlandaskan pada Yang Satu, menuju Yang Satu. Jika dalam perjalanan menuju ke arah Yang Satu itu Anda tempuh dengan cara arogan, maka jangan salahkan siapa pun jika suatu saat nanti Anda mendapatkan seburuk-buruk imbalan.
Baca Juga
https://alif.id/read/m-faizi/tata-cara-ngantor-setelah-puasa-b249220p/