Tawakal Lahir dari Ketauhidan yang Kuat

Mengimani bahwa Tuhan itu esa adalah sebuah kewajiban bagi setiap insan. Secara nalar akal manusia tidak bisa menerima bahwa Tuhan itu lebih dari satu. Seandainya dikatakan Tuhan itu ada dua, pada akhirnya tetap akan dibenarkan yang satu.

Misalnya tuhan itu dua, Tuhan A berkehendak menciptakan, sedang Tuhan B berkehendak menghancurkan, pertanyaannya kemudian sesuatu itu terwujud apa tidak? Seandainya jawabannya terwujud berarti Tuhan B kalah, atau sebaliknya sesuatu itu hancur berarti Tuhan A kalah.

Dalam konsep ketuhanan mustahil jika Tuhan itu mempunyai sifat kalah. Pada akhirnya yang menang tetap satu. Mengimani yang satu inilah yang disebut tauhid. Secara tegas dalam Alqur’an Allah berfirman dalam surah Al-Ikhlash ayat 1-4: “(1) Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. (2) Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. (3) Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,(4) dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Surah Al-Ikhlash ini adalah pernyataan tegas tentang tauhid. Dalam kitab Al-Futuhatu Al-Ilahiyyah disebutkan bahwa surah Al-ikhlash ini bermula dari pertanyaan orang Quraisy, Yahudi, Nasrani dan orang-orang Musyrik. Mereka mengatakan “sesunggunya Tuhan kami itu berjumlah tiga ratus enam puluh dan hajat-hajat kami belum terpenuhi, lantas bagaimana terpenuhi jika Tuhan itu cuma satu?” Sedang menurut riwiyat dari Ibnu ‘Abbas bahwa sesungguhnya orang Quraisy bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Ya Muhammad sifatilah kepada kami tentang Tuhanmu, apakah ia terbuat dari emas atau perak?” Kemudian Allah menurunkan surat Al-Ikhlas ini sebagai penjelas atas sifat Allah

Baca juga:  Manuskrip Syarah Tarekat Junaidiyyah

Ketegasan Allah dalam surah Al-Ikhlas ini sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Showi adalah pertama bahwa Tuhan (Allah) itu satu, hal ini sangat menentang tuhan orang-orang musyrik yang menyembah banyak tuhan. Kedua, bahwa semua makhluk membutuhkan Allah. Ketiga, bahwa Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Hal ini menolak anggapan orang-orang musyrik Arab yang mengatakan bahwa Malaikat adalah anak perempuan Allah, dan perkataan orang Yahudi yang mengatakan Uzair adalah anak laki-laki Allah, serta perkataan orang Nasrani yang mengatakan bahwa Al-Masih anak laki-laki Allah. Keempat bahwa Allah itu tidak ada yang menyamai dan tidak ada yang menandingi

Ketika dalam diri manusia sudah tertanam ketauhidan yang kuat, maka akan terpancar dalam sikap dan perilaku. Semua perilakunya akan bermuara pada yang maha satu yaitu Allah SWT. dalam hidupnya tidak menggantungkan pada selainNya. Usaha-usaha yang ia lakukan tidak menjadi sandaran keberhasilan, sebab ia sudah meyakini pada hakikatnya keputusan akhir tetap di tangan Tuhan Yang Maha Satu yaitu Allah Swt. inilah esensi dari tawakal. Jadi tawakal itu lahir dari ketauhidan yang kuat.

Menurut bahasa sebagaimana disebutkan dalam kamus “Al-Munawwiri” kata “tawakal” berasal (mustak) dari kata wakala-wiklan-wukulan yang artinya menyerahkan, mempercayakan. Sehingga ketika dikatakan “bertawakal kepada Allah” artinya menyerahkan urusan kepada Allah. Atau berasal dari kata tawakkala yang artinya menjadi wakil, bertawakal, pasrah kepada. Sehingga ketika dikatakan “bertawakal kepada Allah” artinya pasrah kepada Allah. Sedangkan menurut Al-Asfihani (w. 403 H) kata وَكَلَ artinya menjadikan wakil, maksudnya kamu bertumpu pada selain dirimu, dan kamu menjadikan selain dirimu itu wakil atau penggantimu. Beliau menyitir firman Allah :

Baca juga:  Memilih Hidup ‘Nyufi’ di Tengah Dunia Modern

وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً

Artinya:

“Cukuplah Allah menjadi Pelindung.( Q.S. Annisa’ (4): 81)

Maksudnya cukup Allah yang mengusai urusanmu, dan Allah lah yang mewakilimu. Sedangkan kata “tawakkal” diartikan dua pengertian yaitu pertama seperti dikatakan: تَوَكَّلْتُ لِفُلَانٍ بِمَعْنَى تَوَلَّيْتُ لَهُ  “saya  memasrahkan kepada si fulan, artinya saya menguasakan kepadanya. Kedua seperti dikatakan:    وَكَلْتُهُ فَتَوَكَّلَ لِى “saya wakilkan kepada si fulan, kemudian dia menjadi wakil saya”. Pendapat beliau ini disesuaikan dengan beberapa firman Allah SWT:

وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

Artinya:

Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal.”( Q.S. Ali Imran (3): 122)

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Artinya:

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”( Q.S. At-thalaq (65): 3)

Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa arti tawakal secara bahasa adalah pasrah, menyerahkan urusan, dan bisa diartikan mewakilkan. Sedangkan menurut istilah (terminologi) sebagaimana disebutan A. Ravay Siregar (1999:121) tawakal adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha.

Tawakal ini merupakan kedudukan yang tinggi dan mulia di sisih Allah SWT. sebagaimana Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa tawakal adalah kedudukan diantara kedudukan-kedudukan dalam agama, dan maqam diantara maqam-maqam keyakinan, bahkan tawakal merupakan maqam tertinggi bagi orang-orang yang dekat kepada Allah.

Baca juga:  Manifestasi Asmaul Husna di Zaman Modern: Ar-Rahman dan Ar-Rahim

Imam Syamsuddin Abu Abdillah Arra>ziy mengatakan bahwa “tawakal adalah kesempurnaan keyakinan kepada Allah, karena keyaninan kepada Allah itu tidak ada kecuali husnuz}z}an kepada Allah SWT, percaya dengan apa yang dijanjikan Allah dalam urusan rizqi, ridla dengan qadla dan qadarnya Allah yang telah berlaku baginya, ketika sempurna keyakinannya kepada Allah Swt. Sementara Imam Fudhail bin ‘Iyad} mengatakan hakikat tawakal adalah gugurnya (tidak adanya) rasa takut dan harapan kepada selain Allah Azza Wajalla.

Sedangkan menurut Imam Abi Sa’id Al-Kharaz mengatakan hakikat tawakal adalah membenarkan Allah Azza Wajalla, bertumpu padaNya, merasa tenang denganNya, dan tenang dengan apa yang ditanggungNya, mengeluarkan keprihatinan hati dalam urusan dunia, rizqi dan semua urusan yang ditanggung Allah, dan mengerti bahwa semua yang dibutuhkan hamba baik urusan dunia ataupun akhirat Allahlah yang menguasai dan tidak akan yang bisa memenuhi selainNya, dan tidak akan ada yang bisa mencegahNya. Alhasil, tawakal lahir dari ketauhidan yang kokoh. Ketika keimanan seseorang sudah matang bahwa tiada dzat selain-Nya. Itu berarti segala urusan sudah menjadi tanggungan-Nya, manusia tidak perlu merisaukannya.

https://alif.id/read/msf/tawakal-lahir-dari-ketauhidan-yang-kuat-b245354p/