Tebuireng dan Keberkahan Habaib

Laduni.ID, Jakarta – Alhamdulillah, dalam sebuah kesempatan saya berjumpa dengan Pengasuh Pesantren Tebuireng, KH. Abdul Hakim Mahfudz atau Kiyai Kikin di sebuah hotel di Jakarta. Sebagai santri, rasa senang tak terhingga bisa sowan beliau kembali. Mendengar wejangan, kisah, sampai harapan-harapan baik beliau untuk seluruh alumni serta keluarga.

Di sela-sela santap pagi, Kiyai Kikin menuturkan beberapa kisah yang jarang atau bahkan saya baru tahu. Salah satunya, sebuah sejarah bahwa dahulu saat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menggelar pengajian Hadis, banyak santri ajaib berdatangan. Maklum, pengajian Kitab Shahih Bukhari dan Muslim cukup langka saat itu, Tebuireng menjadi semacam “The Center of Hadith Studies” pada abad ke-20 di Indonesia.

Pengajian digelar sejak Bulan Sya’ban hingga Bulan Ramadhan. Tebuireng di bulan itu selalu menjadi jujukan mahasantri. Entah dari mana para santri dadakan itu berasal, ada yang usianya terlampau sepuh ada pula yang muda belia. Dikisahkan, ketika Kiyai Hasyim melihat ada Sadah Ba’alawi (kalangan sayyid, atau habib muda) ikut mengaji, maka beliau akan spesialkan. Mereka dipersilakan bertempat di barisan paling depan. Di samping sebagai penghormatan, boleh jadi beliau berharap jika ada kesalahan bacaan, dari kalangan ‘Alawiyin itu bisa mentashihnya.

Memandang wajah habaib di barisan depan majelis pengajian, bagi Kiyai Hasyim tak ubahnya memandang wajah teduh guru-gurunya dahulu saat di Makkah. Tercatat dalam sejarah, bahwa dari para kalangan ‘Alawiyin Hadrami banyak yang menjadi guru utama beliau. Sanad-sanad keilmuan beliau pun bersambung atau muttashil kuat.

Tak hanya dalam tatap muka, Kiyai Hasyim juga menggandrungi kitab-kitab karya para sayyid. Salah satu yang pernah saya temukan ialah Syarah Al-Qamus bertajuk Tajul ‘Arus berjilid-jilid besar karya Sayyid Muhammad Murtadha Az-Zabidi, seorang dzurriyah Nabi Muhammad SAW dan merupakan mahaulama yang menguasai banyak mozaik keislaman.

Di halaman dalam di kitab itu tertera catatan bahwa ensiklopedia besar tersebut pemberian wakaf dari Haji Abdurrahman Pucuk kepada Kiyai Hasyim, lalu putra, cucu, cicit, santri, dan seluruh umat Muslim. Bertanggal 22 Jumadi Tsani 1344 atau 17 Desember 1925. Kini masih tersimpan baik di Perpustakaan Tebuireng di Jombang Jawa Timur.

Tradisi penghormatan kepada habaib juga menurun kepada anak cucu Kiyai Hasyim. Almarhum Ir. K.H. Salahuddin Wahid juga punya banyak koneksi di kalangan ‘Alawiyin. Ketika beliau baru memimpin Tebuireng, Habib Umar Bin Hafidz dan rombongan dari Hadramaut, Yaman, pun datang berkunjung dan mendoakan beliau beserta sanak famili. Doa Habib Umar terkabul, di bawah kepemimpinan Gus Sholah, Tebuireng semakin berkembang dan bahkan berhasil membuka banyak cabang di luar Pulau Jawa.

Tak sampai di situ, ketika saya boyong dan hidup di Jakarta, saya mencoba melanjutkan studi lagi. Di tengah kebimbangan, ada seorang habib guru besar sosiologi agama yang membimbing saya. Sejak itulah karier intelektual dan debut kepenulisan saya lebih disiplin. Cerita punya cerita ternyata beliau adalah sahabat karib Gus Sholah. Dan tanpa sadar saat saya di Tebuireng, Gus Sholah pernah mempertemukan kami, meskipun waktu itu saya belum paham dan tidak menahu. Tidak lain, beliau adalah Prof. Dr. Habib Muhammad Baharun.

Alhasil, Kiyai Hasyim, Gus Sholah, Kiyai Kikin, dan seluruh keluarga besar Tebuireng seakan-akan memberikan sebuah ‘wisik’ ke telinga saya, “Dekat dengan habaib sama saja dekat dengan sang kakeknya!” Di situlah hidup saya menjadi lebih tenang dan merasakan berkahnya di berbagai bidang. Sampai detik ini. []


Penulis: Atunk F Karyadi (Filolog UIN Syarif Hidayatullah dan Alumni Pondok Pesantren Tebuireng)

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/517482/tebuireng-dan-keberkahan-habaib.html