Tentang Puasanya Sembilan Nabi Terdahulu

Laduni.ID, Jakarta – Sebelum Nabi Muhammad SAW, ibadah puasa juga sudah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an pada ayat yang menjelaskan tentang disyariatkannya puasa, yakni Surat Al-Baqarah ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

” Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelummu.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Meski bukan dilakukan saat bulan Ramadhan, puasa yang dilakukan oleh umat-umat terdahulu bertujuan untuk membersihkan diri (bertaubat) dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Mengutip pendapat Imam At-Thabari dalam kitab tafsirnya Tafsir At-Thabari dijelaskan bahwa para ulama tafsir sendiri berbeda pendapat mengenai maksud “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu,” di atas. Sedangkan, dalam Kitab Ahkam As-Shaum wa Al-I’tikaf  karya Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, disebutkan tiga perbedaan ulama mengenai pemahaman “man qablanaa” atau orang-orang terdahulu sebelum kita. Perbedaan yang dimaksud tersebut adalah:

Pertama, yang dimaksud umat terdahulu itu adalah sejak Nabi Adam AS hingga umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abi Hatim dari Abdullah Ibnu Umar r.a, beliau berkata, bahwa Nabi SAW bersabda:

صِيَامُ رَمَضَانَ كَتَبَهُ اللهُ عَلَى الْأُمَمِ قَبْلِكُمْ

“Puasa Ramadhan telah Allah wajibkan atas umat-umat sebelum kalian.”

Perkataan ini juga telah diriwayatkan dari Imam Qatadah dan Imam Hasan Al-Bashri.

Kedua, bahwa yang dimaksud umat terdahulu dalam ayat itu adalah Ahlul Kitab. Tepatnya adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Keterangan ini diriwayatkan oleh Imam Mujahid bin Jabir r.a. dan Ibnu ‘Abbas r.a.

Ada pula yang berpendapat bahwa maksud orang-orang terdahulu di sana adalah Ahli Kitab, dalam hal ini adalah kaum Yahudi, sebagaimana dalam riwayat Imam Mujahid bin Jabir dan Imam Qatadah. Dalam riwayatnya, Imam Qatadah mengungkapkan bahwa puasa Ramadhan telah diwajibkan kepada seluruh manusia, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka. Sebelum menurunkan kewajiban Ramadhan, Allah SWT menurunkan kewajiban puasa tiga hari setiap bulannya.

Ada pula yang berpendapat, bahwa umat Yahudi dan Nasrani berpuasa Ramadhan, kemudian ditambah 1 hari sebelum Ramadhan, dan 1 hari setelah Ramadhan. Sehingga ini menjadi dasar diharamkannya puasa dia Al-Ayyam As-Syak  (akhir bulan Sya’ban). Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa sisi penyerupaan antara puasa umat Islam saat ini dengan umat terdahulu adalah sama-sama dilarang makan, minum, dan berhubungan suami istri setelah bangun tidur. Tapi, syariat Islam membolehkan hubungan suami istri pada malam hari.

Ketiga, yang dimaksud umat terdahulu dalam ayat di atas adalah umat Nasrani saja, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam As-Sya’bi. Hal itu juga seperti yang dikutip Imam At-Thabari dari Al-Hafidh bin Musa bin Harun Al-Hammal, dari Al-Fadhl bin Amr bin Hammad bin Zuhair bin Dirham At-Taimi At-Thalhi Al-Qurasyi, dari Asbath Abu Al-Yasa’ Al-Bashri, dari Ismail bin Abdurrahman As-Suddi, ia menyatakan bahwa maksud orang-orang sebelum kita adalah kaum Nasrani. Sebab, mereka diwajibkan berpuasa seperti Ramadhan ini.

Pernyataan Musa ibn Harun yang termaktub dalam Kitab At-Thabarani, menyatakan bahwa ibadah kaum Nasrani terdahulu adalah mirip seperti ibadah puasa sebelum Islam. Mereka tidak dibolehkan makan dan minum setelah tidur. Waktu puasa dimulai akhir Isya’ hingga bertemu waktu Isya’ di keesokan harinya. Namun, rupanya hal tersebut memberatkan kaum Nasrani, sehingga mereka bersepakat untuk memindahkan waktu puasa ke pertengahan musim panas dan musim dingin. Waktu puasanya pun ditambah 20 hari, sehingga total menjadi 50 hari.

Dari ketiga pendapat di atas, menurut Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, pendapat pertama adalah yang paling kuat, sebab ada Hadis yang menyokongnya, yaitu Hadis Ibnu Umar r.a yang telah disebutkan di atas. Maka, keumuman ayat tersebut menunjukkan bahwa puasa telah diwajibkan atas umat-umat terdahulu sebelum Nabi Muhammad SAW, bukan hanya Nasrani dan Yahudi saja.

Jangka Waktu Ibadah Puasa Umat Terdahulu

Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat. Secara mendasar terdapat dua pendapat, yaitu:

Pertama, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Hasan Al-Bashri, bahwa puasa yang diwajibkan kepada umat-umat terdahulu yaitu satu bulan penuh. Dalilnya adalah Hadis Ibnu Umar r.a sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Kedua, pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a, bahwa umat-umat terdahulu melakukan puasa tiga hari di setiap bulannya. Adapun dalilnya adalah Hadis yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal r.a, bahwa Rasulullah SAW pernah mendatangi Madinah dan berpuasa di hari ‘Asyura serta tiga hari di setiap bulan, kemudian Allah SWT menurunkan ayat kewajiban puasa Ramadhan.

Kedua pendapat di atas jelas perbedaannya. Pendapat pertama menegaskan umat terdahulu puasa dalam jangka waktu sebulan, sebagaimana umat Islam saat ini. Sedangkan, pendapat kedua secara tegas mengatakan bahwa umat terdahulu berpuasa hanya tiga hari dalam setiap bulannya.

Menurut Dr. Abu Sari’ Muhammad Abdul Hadi, pendapat pertamalah yang kuat, sebagaimana dikuatkan oleh Hadis Ibnu Umar r.a. Dikuatkan dengan penegasan dari ayat 183 dalam Surat Al-Baqarah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

” Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan kepada umat sebelummu.” (QS. Al-Baqarah: 183)

Dan kita tahu bahwa yang diwajibkan kepada kita, umat Nabi Muhammad SAW adalah puasa sebulan. Oleh karena itu, pendapat pertama merupakan pendapat yang kuat dan bisa dijadikan pegangan.

Tata Cara Puasa Umat Terdahulu

Imam Ibnu Katsir meriwayatkan dalam permasalahan ini. Tata cara umat-umat terdahulu dalam melaksanakan puasa adalah apabila mereka telah melaksanakan shalat ‘Atamah (Isya’), kemudian tidur, maka diharamkan bagi mereka untuk makan minum juga berhubungan badan dengan istri. Keterangan ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a berikut ini:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ) فَكَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّوْا الْعَتَمَةَ حَرُمَ عَلَيْهِمْ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ وَالنِّسَاءُ وَصَامُوا إِلَى الْقَابِلَةِ فَاخْتَانَ رَجُلٌ نَفْسَهُ فَجَامَعَ امْرَأَتَهُ وَقَدْ صَلَّى الْعِشَاءَ وَلَمْ يُفْطِرْ فَأَرَادَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يَجْعَلَ ذَلِكَ يُسْرًا لِمَنْ بَقِيَ وَرُخْصَةً وَمَنْفَعَةً

“(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu). Dahulu orang-orang pada zaman Nabi SAW, apabila mereka telah melakukan shalat Isya’, haram atas mereka untuk makan dan minum serta bercampur dengan istri. Mereka berpuasa hingga esok hari. Kemudian terdapat seseorang tak dapat menahan hawa nafsunya, kemudian ia mencampuri istrinya setelah melakukan salat Isya’ dan belum berbuka, kemudian Allah ‘Azza wa Jalla hendak menjadikan hal tersebut sebagai kemudahan bagi waktu yang selanjutnya serta sebagai keringanan dan manfaat.” (HR. Imam Abu Daud)

Para nabi sebelum Nabi Muhammad SAW juga melakukan ibadah puasa. Berikut ini penjelasan tentang puasanya para nabi terdahulu:

1. Nabi Adam AS

Nabi Adam AS berpuasa sebelum diturunkan ke bumi karena terbujuk rayuan setan untuk mendekati pohon terlarang. Menurut ulama besar ahli tafsir, Imam Ibnu Katsir, bahwa puasa Nabi Adam AS dilakukan selama tiga hari tiap bulan sepanjang tahun. Pendapat lain mengatakan, bahwa Nabi Adam berpuasa setiap tanggal 10 Muharam sebagai ungkapan syukur atas pertemuannya dengan Ibu Hawa di Bukit Arafah.

Bahkan ada keterangan dalam Tafsir As-Tsa‘labi, dijelaskan bahwa Nabi Adam AS menjalankan puasa tiga hari setiap bulan. Diriwayatkan, bahwa sewaktu diturunkan dari surga ke muka bumi, Nabi Adam terbakar kulitnya oleh matahari, sehingga tubuhnya menghitam. Kemudian, ia berpuasa pada hari ketiga, yakni tanggal lima belas. Kemudian, ia didatangi oleh Malaikat Jibril AS dan ditanya, “Wahai Adam, maukah tubuhmu kembali memutih ?” Nabi Adam menjawab, “Tentu saja.” Lalu Malaikat Jibril melanjutkan, “Berpuasalah engkau pada tanggal 13, 14, dan 15.” Akhirnya Nabi Adam pun berpuasa. Pada hari pertama, memutihlah sepertiga tubuhnya. Pada hari kedua, memutihlah dua pertiga tubuhnya. Pada hari ketiga, memutihlah seluruh tubuhnya. Maka, selanjutnya puasa ini disebut dengan puasa “Al-Ayyam Al-Bidl” atau “hari-hari putih”.

2. Nabi Nuh AS

Nabi Nuh AS berpuasa ketika sedang berada di atas bahtera yang dibuatnya, untuk menyelamatkan manusia yang beriman dari banjir bandang besar. Menurut Imam Ibnu Katsir, puasa nabi Nuh AS tersebut dilakukan selama satu tahun penuh, kecuali dua Hari Raya.

Ada juga penjelasan Imam Ibnu Abi Hatim dalam kitab tafsirnya, berdasarkan riwayat Imam Ad-Dhahak, Abdullah Ibnu Abbas, dan Abdullah Ibnu Mas’ud, dinyatakan bahwa puasa tiga hari setiap bulan juga biasa dilakukan oleh Nabi Nuh AS, juga oleh para nabi setelahnya, kemudian diikuti oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Puasa mereka dilakukan selama tiga hari setiap bulannya dan berbuka pada waktu Isya’.

Dalam Kitab Tafsir At-Thabari, dikemukakan bahwa puasa ‘Asyura juga pernah dilaksanakan oleh Nabi Nuh AS sewaktu turun dengan selamat dari kapal yang ditumpanginya. Disebutkan pula bahwa pada awal bulan Rajab, Nabi Nuh AS mulai menaiki kapalnya. Saat itu, ia bersama para penumpang lainnya berpuasa. Kapal pun berlayar hingga enam bulan lamanya. Pada bulan Muharram, kapal berlabuh di Gunung Judi, tepat pada hari ‘Asyura. Maka ia pun berpuasa, tak lupa memerintah para penumpang lain, termasuk hewan bawaannya, untuk turut berpuasa sebagai bentuk syukur kepada Allah SWT.

3. Nabi Ibrahim AS

Nabi Ibrahim AS berpuasa ketika dilemparkan oleh Raja Namrud ke dalam api. Beliau dalam keadaan berpuasa dan berdoa kepada Allah SWT agar diselamatkan dari api yang panas, sehingga akhirnya api tersebut pun menjadi dingin.

4. Nabi Musa AS

Nabi Musa AS berpuasa saat beliau sedang bermunajat di Gunung Tursina selama 40 hari. Sebagaimana terdapat di dalam Kitab Taurat, meski tidak menerangkan kewajiban dan peraturan puasa sampai sedetail-detailnya, akan tetapi di dalamnya ada pujian dan anjuran kepada orang supaya berpuasa.

Nabi Musa AS pernah berpuasa selama 40 hari. Sampai saat ini, orang Yahudi masih tetap melakukan puasa pada hari-hari tertentu. Misalnya puasa satu minggu sebagai peringatan terhadap hancurnya Jerussalem dan diambilnya kembali. Dan puasa pada hari kesepuluh di bulan ketujuh menurut perhitungan mereka, yang mereka puasakan sampai malam hari.

5. Nabi Yusuf AS

Nabi Yusuf As berpuasa saat beliau sedang menjalani hukuman di penjara akibat fitnah telah berbuat tidak senonoh kepada Zulaikha.

6. Nabi Yunus AS

Nabi Yunus AS berpuasa saat berada dalam perut ikan Nun (ikan Paus). Ketika berbuka, dikisahkan bahwa beliau memakan buah yang tumbuh di tepi pantai yang bentuknya seperti labu, setelah beliau dimuntahkan oleh ikan yang menelannya.

7. Nabi Syu’aib AS

Nabi Syuaib AS berpuasa di usia tuanya, beliau terkenal sholeh dan banyak melakukan puasa. Kehidupan beliau pun sangat sederhana. Puasa bagi Nabi Syu’aib AS adalah sarana untuk mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah SWT.

8. Nabi Ayyub AS

Nabi Ayub AS hidup dalam kekurangan, dan menderita penyakit menahun. Beliau banyak melakukan puasa dan beribadah kepada Allah SWT.

9. Nabi Daud AS

Nabi Daud AS biasa berpuasa satu hari dan berbuka (tidak berpuasa) satu hari. Disebutkan dalam perjanjian lama, bahwa ketika putranya sakit keras, Nabi Daud AS berpuasa selama tujuh hari untuk memohon kesembuhan anaknya. Namun, sang putra meninggal pada hari ketujuh beliau berpuasa.

Puasa Nabi Daud alaihis salam dapat dilacak dari sabda Rasulullah SAW, sewaktu ditanya oleh seorang laki-laki, “Bagaimana menurutmu tentang orang yang berpuasa satu hari dan berbuka satu hari ?” Beliau menjawab, “Itu adalah puasanya saudaraku, Dawud AS.” Bahkan dalam Hadis lain, beliau menyatakan:

أَفْضَلُ الصَّوْمِ صَوْمُ أَخِي دَاوُدَ، كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

“Sebaik-baiknya puasa adalah puasa saudaraku, Dawud AS. Ia berpuasa satu hari dan berbuka satu hari.” (HR. Ahmad)

Berdasar Hadis di atas, diketahui bahwa Nabi Dawud AS juga memiliki kebiasaan berpuasa selang sehari. Puasa itu kemudian disunnahkan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya.

Demikianlah sekelumit tentang puasanya umat terdahulu dan para nabinya. Kita menjadi tahu bahwa sejak dulu memang ibadah puasa merupakan sarana seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan agar bisa menjadi orang yang bertakwa.

Semoga bermanfaat. [] 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 05 April 2022. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jamaah Sarinyala, Kabupaten Gresik)

Editor: Hakim

https://www.laduni.id/post/read/74767/tentang-puasanya-sembilan-nabi-terdahulu.html