Pada 1949, Kementerian Penerangan Republik Indonesia mengeluarkan buku tipis berjudul Pahlawan Pendukung Tjita-Tjita. Buku dimaksudkan untuk memperingati Hari Pahlawan, 10 November 1945-10 November 1949. Tebal cuma 22 halaman. Situasi politik masih tak keruan. Revolusi berjalan terus. Ikhtiar Indonesia berdaulat belum mencapai titik akhir. Buku bertema pahlawan mirip serangan pada Belanda saat ingin memecah Indonesia. Para pemimpin tetap mengusahakan kedaulatan. Agenda mempertahankan kemerdekaan tak pernah surut.
Peringatan Hari Pahlawan diadakan di “daerah republik” dan “diseluruh kepulauan Tanah Air.” Pemerintah menjelaskan: “Peringatan dengan penerbitan jang sangat sederhana–kekurangan alat-alat, tempo, bahan-bahan mengenai djasa pahlawan, dan lain-lain–dimaksudkan untuk sekedar mendjadikan sumbangsih kita kepada para pradjurit kemerdekaan disegala lapangan.” Mereka adalah pahlawan, bercita-cita “melepaskan belenggu pendjadjahan dan mengetjap udara kemerdekaan jang demokratis, adil dan makmur.” Kalimat menegaskan arus kemerdekaan masih harus bergerak. Peristiwa 17 Agustus 1945 dan 10 November 1945 sudah empat tahun berlalu. Ikhtiar mengartikan Indonesia belum tuntas!
Pengaruh Soekarno dalam peringatan Hari Pahlawan tampak dari pengutipan pemikiran Svami Vivekananda. Metafora memicu kemauan berkorban demi bangsa dan negara: “O, Ibu, apakah artinja keharuman nama bagiku, kalau rakjat hidup dalam sengsara!” Isi buku belum sanggup menceritakan secara lengkap peristiwa heroik 10 November 1945. Sutomo atau Bung Tomo pun belum ada di halaman-halaman buku. Nama Wolter Monginsidi justru muncul di halaman 4, penghormatan atas kematian sebagai pahlawan. Redaksi mengumumkan: “Wolter Monginsidi, pahlawan muda di Sulawesi jang ditembak mati oleh kuasa militer Belanda di Makassar tanggal 5 September 1949, djam 11.00.” Peristiwa belum lama terjadi saat penggarapan buku.
Pada masa revolusi, pemerintah belum memiliki peraturan untuk menetapkan tokoh-tokoh perjuangan sebagai pahlawan. Kebiasaan itu dimulai pada 1959. Indonesia tetap memerlukan pahlawan. Nama-nama dan biografi mereka disampaikan ke publik agar ada keteladanan demi memuliakan Indonesia. Kita mendapatkan informasi tak utuh mengenai kepahlawanan dalam peristiwa 10 November 1945: “Dari saat itu arek-arek Surabaja merasa menghadapi bahaja. Bukan sadja insiden jang akan terdjadi, mungkin perang besar jang akan dihadapi. Dengan tjepat pada tanggal 10 November 1945 di Surabaja muntjullah 7 orang pemuda jang merupakan promotor perdjuangan rakjat untuk menghadapi pendjadjahan.” Nama 7 orang tak disebutkan. Apakah Bung Tomo termasuk dalam sebutan “promotor perdjuangan rakjat” dalam peristiwa empat tahun silam?
Puluhan tahun berlalu. Keterangan-keterangan mengenai 10 November 1945 terus bermunculan. Pada 1982, terbit buku berjudul Bung Tomo: Dari November 1945 ke Orde Baru. Di sampul buku bagian belakang, tercantum keterangan: “Bung Tomo menjadi pelaku utama dalam drama itu. Keterlibatan Bung Tomo dalam mempertahankan dan mengembangkan negara Indonesia berlandaskan semangat patriotis dan nasionalis…” Sejak puluhan tahun silam, buku pelajaran dan pidato dalam upacara peringatan Hari Pahlawan memang sering menempatkan Bung Tomo sebagai tokoh penting. Episode Bung Tomo berpidato di radio dengan seruan “Allahu Akbar” dan pekik “merdeka atau mati” sering jadi ingatan terpenting saat mengenang sejarah Indonesia. Apakah Bung Tomo itu “promotor perdjuangan” atau pelaku utama?
Kita mesti membuka buku lawas berjudul 10 November susunan Sutomo, diterbitkan oleh Balapan, Jakarta, 1951. Sampul buku berhias gambar pertempuran 10 November 1945 dan nuansa merah. Bung Tomo mengingatkan: “Telah mendjadi lazim dalam dunia jang penuh pertentangan politik dewasa ini, bahwa tiap-tiap peristiwa besar dan bersedjarah akan dipergunakan oleh golongan-golongan atau aliran-aliran politik jang sedang berebut benar.” Barangkali Bung Tomo tak ingin dimitoskan sebagai pelaku utama dalam peristiwa 10 November 1945. Buku itu justru mengawali pengenalan publik bahwa Bung Tomo paling mengerti peristiwa bersejarah. Bung Tomo pun perlahan mendapat pengakuan publik akibat sering dimunculkan dalam buku pelajaran dan pidato upacara.
Buku dengan tebal 102 halaman itu agak aneh. Peristiwa terpenting bertanggal 10 November 1945 justru cuma mendapat jatah penceritaan pendek. Bung Tomo memilih bercerita tentang diri, keluarga, teman-teman, dan para pemimpin bangsa di episode-episode menjelang 10 November 1945. Apakah kesaksian dan pengetahuan pada hari menentukan itu kurang mencukupi untuk diceritakan ke pembaca? Kita patut meragu meski sulit menemukan bukti-bukti. Kepentingan Bung Tomo menerbitkan buku bukan demi menokohkan diri sebagai pelaku utama. Kita simak pengakuan Bung Tomo: “Hanja dengan tjara jang demikian itu saja akan merasa telah mentjapai salah satu tudjuan saja menulis buku ini, jalah: ikut membantu pekerdjaan para ahli sedjarah, tiada dengan memperkosa sedjarah. Patut pula saja sebelumnja minta maaf kepada kawan-kawan seperdjuangan jang mungkin tertjitjir namanja, tidak tertulis dalam buku jang seketjil ini.” Pengakuan itu disampaikan enam tahun setelah peristiwa 10 November 1945.
Tahun demi tahun berlalu. Nama dan ketokohan Bung Tomo semakin melekat dengan Hari Pahlawan. Bung Tomo mengalami “ngeri” dan kegelisahan. Di Kompas edisi 10 November 1975, Bung Tomo menulis bahwa tak ada niat mempergunakan Hari Pahlawan untuk kepentingan diri sendiri. Bung Tomo membantah kecurigaan publik tentang memperalat Hari Pahlawan demi popularitas dan “menjual” Hari Pahlawan untuk menambah rezeki.
Bung Tomo memang tokoh tenar tapi masih memiliki seribu misteri dalam arus kesejarahan Indonesia. Kita belum mendapat buku pengungkap misteri Bung Tomo dan Hari Pahlawan. Kita mendingan mengingat pesan pendek Soekarno, 10 November 1949: “Pahlawan sedjati tidak minta dipudji djasanja. Bunga mawar tidak mempropagandakan harumnja, tetapi harumnja dengan sendiri semerbak kekanan-kiri.” Kita pun menginsafi belum selesai mempelajari sejarah dan mengenali para pahlawan. Begitu.
https://alif.id/read/bandung-mawardi/terbaca-buku-dan-bung-tomo-b246098p/