The Last Bookstore: Gunung Agung

0 0
Read Time:3 Minute, 20 Second

Oleh Ramadhan Syukur

GUE pernah nonton film (atau baca buku yang kemudian difilmkan) yang judulnya dimulai dengan “The Last”. Mulai dari The Last Samurai, The Last of the Mohicans, The Last Ronin, The Last Kingdom, The Last Emperor, The Last Airbender, sampai The Last Naruto. Dan semuanya berakhir atau menyisakan kesedihan.

Istri gue kemarin minta ditemani mencari buku tulis yang gak ada di toko buku manapun, kecuali di Toko Buku Gunung Agung (TGA). Padahal gue baca beritanya, karena bangkrut semua TGA yang ada di seluruh Indonesia terpaksa ditutup. “Masih ada satu toko yang buka, di Kwitang,” katanya.

Karena gue punya kenangan masa lalu dengan TGA Kwitang, semangatlah berangkat ke sana. Soalnya jaman SMA sampai kuliah, gue rajin ke toko ini selain buat beli alat tulis, juga perlengkapan melukis. Tapi yang paling penting, numpang ngintip baca buku teknik melukis import yang harganya mahal-mahal. Kagak kebeli.

Ternyata TGA Kwitang 13 sebagai cikal bakal sudah lama gak ada. Yang masih ada TGA Kwitang 37-38 yang berlantai tiga. Inilah TGA satu-satunya dan terakhir yang masih beroperasi dan bakal resmi tutup akhir 2023.

Gedung yang dulu gagah, keren, dan ramai, sekarang berubah muram dan sepi. Karena gue datang lima menit lebih cepat dari jadwal buka, gue harus menunggu. Tapi saat masuk ke parkiran, gak ada alat parkir sensor. Masih pakai tiket manual ala jaman dulu, yang terbuat dari kertas art paper 200 mg. Tebal dan bagus. Tiket parkir yang sudah gak ditemukan lagi sejak covid. Jadi gue simpan sebagai kenang-kenangan the last ticket.

Karena gue pengunjung pertama yang datang, wajar kalau masih lengang. Tapi suasana muram toko, penjaga toko, sudah memberi sinyal bahwa tanda-tanda kehidupan mulai redup, walau masih tertolong oleh suara jingle-nya yang khas dan terkenal itu.

Pada lantai 1 gue menyempatkan berkeliling melihat-lihat di area khusus berbagai macam peralatan kantor dan furniture perkantoran yang langsung menawar diskon sampai 50%. Tapi gak ada yang menarik.

Beranjak ke lantai 2, begitu sampai di atas sudah terpampang spanduk besar bertuliskan “Promo Buku Diskon 50%”. Dan dirak buku bertebaran tulisan “buy 1 get 1”. Adapun buku-buku yang didiskon beragam, mulai dari buku tulis, alat tulis, hingga buku bacaan dan kitab suci.

Beruntung buku tulis yang dicari akhirnya ditemukan. Istri gue langsung borong, “Karena ini stok terakhir. Gak akan terima barang baru lagi.” Kata mbak penjaga.

Selain buku dan mainan anak, perlengkapan olahraga juga didiskon sampai 70%. Gue beli ankle band dari 69.900 jadi 30 rebu saja.

Berbeda dengan kesenangan dapat barang murah saat cuci gudang, kali ini gue sedih karena ini mirip “garage sale” yang sebentar lagi pemiliknya pergi jauh dan gak kembali. Makin sedih dan sangat disayangkan kalau TGA akhirnya harus tutup usia mengingat kontribusi besarnya pada dunia literatur di Indonesia.

Sebetulnya bisa dimaklumi kalau toko buku di Indonesia banyak yang tumbang, bergelimpangan dan mati, mengingat tingkat literasi bangsa Indonesia yang dari dulu kayak iklan kecap, gak berubah. Rendah.

Apakah mereka sudah beralih ke buku digital? Enggak juga. Apakah buku digital telah membunuh buku cetak? Enggak juga. Emang dasar gak suka baca, ya gak suka aja. Di negeri ini, buku kayaknya bakal tinggal jadi sampah peradabahan, digilas buku digital.

Sementara di negara-negara yang tingkat literasinya tinggi, buku digital gak mematikan buku cetak. Begitu juga media online gak membunuh habis media cetak

Jadi kalau ada yang bilang kehadiran buku digital telah mematikan toko buku, itu juga keliru. Laporan The New York Times pada 2022 lalu mencatat ada lebih dari 300 toko buku baru yang dibuka di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir.

Tapi toko buku baru ini agak beda dengan toko buku lama. Toko buku baru ini lebih kekinian dengan menyediakan cafe buat tempat membaca. Dan biar beneran baca, pemilik cafe gak menyediakan wifi.

Apakah konsep itu bisa diterapkan di sini? Wallahu a’lam.

Setelah lebih dari sejam di TGA beli ina inu, cuma bertambah empat orang pengunjung yang datang ke the last bookstore: Gunung Agung. Sedih banget. Apalagi dalam hitungan gak lebih dari empat bulan, gak ada lagi yang tersisa, kecuali kenangan.[]

Bagikan tulisan ke: