Tersebutlah dalam banyak sumber bahwa rida adalah salah satu buah kecintaan terhadap Allah. Rida seorang hamba atas ketentuan Allah akan mengundang Rida Allah yang dalam bahasa Alquran dikatakan lebih agung tinimbang surga ‘adn. Dengan kata lain, Rida Allah adalah puncak kebaikan Allah terhadap hamba-Nya, sebagai ganjaran atas rida seorang hamba terhadap keputusan Tuhannya.
Rida merupakan kualitas jiwa yang tenang (nafs al-muthmainnah) saat oleh Tuhan diseru untuk pulang. Wahai jiwa yang tenang, pulanglah keharibaan Tuhanmu dengan keadaan rida dan diridai. Masuklah engkau ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Masuklah engkau ke dalam surga-Ku. (Qs. al-Fajr [89]: 27-30). Sebaliknya, orang yang tidak rela terhadap keputusan Allah, dalam sebuah hadis qudsi, diancam agar keluar dari bawah kolong langit-Nya dan mencari tuhan selain Dia.
Lamun demikian, ada beberapa kemusykilan seputar tema ini yang sejak dulu bahkan sampai hari ini sering disalahpahami. Tetapi sebelum itu, mari kita mulai dengan memaparkan definisinya. Al-Qusyairi dalam Risalah-nya menukil banyak definisi antara lain yang didengarnya langsung dari Abu Ali al-Daqqaq. “Rida bukan berarti Anda tidak merasakan adanya suatu bala. Melainkan rida adalah ketika Anda tidak berkeberatan atas hukum dan keputusan Allah.”
Hukum dan keputusan Allah yang tercantum dalam definisi ini memang masih sangat umum dan karenanya mesti diberi batasan. Bahwa yang wajib bagi seorang hamba adalah rida terhadap sesuatu yang memang diperintah. “Karena” kata al-Qusyairi, “tidak semua yang menjadi ketetapan Allah boleh atau wajib diridai oleh seorang hamba.” Contoh konkretnya adalah maksiat dan kekufuran. Tidak ada kata ridla dalam urusan maksiat dan kekufuran, bahkan kita justru diwajibkan untuk berkeberatan.
Kemusykilan pertama, bisakah kita rela terhadap sesuatu yang menimpa kita sementara sesuatu itu berlawanan dengan preferensi kita? Pertanyaan semacam ini, kata al-Ghazali, datang dari arah mereka yang ingkar terhadap konsep mahabbah berikut kekuatan dan keajaibannya. Adapun bagi orang yang mantap bahwa cinta kepada Allah adalah hal yang benar-benar wujud, tak samar lagi bahwa cinta itu akan mewariskan kerelaan terhadap macam-macam perbuatan Sang Kekasih (Allah).
Hal itu terwujud dalam dua bentuk. Pertama, kecintaan itu sama sekali membatalkan pencerapan kita terhadap rasa sakit. Hatta, hal-hal yang semestinya menyakitkan akan berlalu begitu saja, tanpa terasa sakitnya. “Yang bersangkutan terluka namun tidak merasakan perihnya.”, tegas al-Ghazali. Perbandingannya seperti seorang pejuang di medan perang yang tak lagi merasakan pedihnya luka sebab hatinya sibuk dengan aneka macam emosi yang juga berkecamuk ketika perang.
Demikianlah, masygulnya hati oleh suatu hal dapat mengalahkan rasa sakit yang sejatinya sedang menimpa. “Karena kalbu” tutur al-Ghazali, “bilamana telah tenggelam dalam suatu urusan secara total, ia tak dapat lagi menyadari hal lain.” Lebih-lebih yang membuat masygul adalah perasaan cinta.
Tak heran jika Sahl al-Tusturi, diriwayatkan pernah mengobati penyakit yang diderita orang lain, namun ia sendiri enggan mengobati manakala penyakit itu menyerang dirinya. Ketika diklarifikasi tentang kelakuannya yang bagi mayoritas orang terasa ganjil itu, ia justru menjawab dengan elegan. “Aduhai, pukulan Sang Kekasih itu tidaklah menyakitkan!”
Kedua, adakalanya seseorang merasakan sakit itu, tetapi ia tetap rela, bahkan akal budinya menuntut ia senang menjalaninya. Kendatipun secara tempramen ia tidak suka. Kita tahu disuntik itu sakit. Tetapi akal sehat kita menganjurkannya demi kesembuhan yang kita inginkan. Sehingga kita pun rela menanggung sakitnya ditusuk jarum. Anda yang berdagang keluar kota misalnya, tentu mengerti betapa melelahkannya suatu perjalanan. Tetapi bayang-bayang laba yang menjanjikan tentu membuat Anda mengesampingkan beratnya perjalanan itu. Anda pun rela menjalaninya sebagai rutinitas.
Begitu pula orang-orang yang hatinya mendamba ganjaran dan kebaikan di sisi Tuhan. Barangkali pedihnya ujian dan cobaan masih terasa. Tetapi manisnya pahala dan kebaikan lain bagi ia yang sabar menghadapi membuatnya rela menjalani semua cobaan. Al-Ghazali menyatakan, “Sekiranya seseorang ditimpa musibah (kehilangan), tetapi ia berkeyakinan kuat bahwa pahala yang dipersiapkan jauh lebih bernilai ketimbang apa yang lenyap darinya, ia akan tetap rela dan senang. Pun ia senantiasa bersyukur atas semua itu.” Ringkasnya, rela terhadap sesuatu yang berlawan dengan tabiat bukanlah hal yang mustahil.
Kemusykilan selanjutnya, apakah berdoa agar keluar dari kesulitan, sembuh dari sakit dan semisalnya kontradiktif dengan kerelaan kita terhadap keputusan Tuhan? Katanya, rela dengan ketetapan Tuhan, tapi kalau sakit, kok, malah berdoa minta disembuhkan?
Merujuk kepada definisi yang dikutip sebelumnya, rida adalah tidak merasa keberatan dengan ketetapan Tuhan. Di antara tanda bahwa seorang merasa keberatan adalah mengeluh atau mengadu kepada sesama makhluk, dan bukan berdoa kepada Sang Khalik. Faktanya, Rasulullah Saw. berikut para nabi dan rasul yang tidak diragukan lagi tingkat kerelaannya tetap berdoa sekaligus mengajarkannya kepada kita.
Sekadar contoh, Nabi Ayyub As., sebagaimana terekam dalam QS. al-Anbiya [21]: 84, pernah berujar dalam doanya bahwa ia sedang tersentuh kesusahan. Apakah Nabi Ayyub tidak rela dengan keputusan Tuhan yang kala itu tengah menimpanya? Jawabannya tentulah tidak. Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa ujaran Nabi Ayyub “Aku sedang tersentuh kesusahan” bukanlah keluhan, melainkan doa yang dipanjatkan kepada Tuhan. “Sementara doa,” terang al-Qurthubi, “tidaklah membatalkan kerelaan.” Dengan demikian, berdoa di sini dapat diposisikan seiras dengan kausa-kausa yang lain. Berdoa adalah upaya mengunduh takdir dengan takdir.
https://alif.id/read/sr/tidak-berdoa-adalah-puncak-kerelaan-b242768p/