Tiga Pembaca

Di buku pelajaran, judul novel dan nama pengarang tercantum untuk diketahui murid-murid. Di soal ujian sekolah, novel itu mungkin pernah membuat murid-murid merengut gara-gara gagal menjawab masalah pesan atau alur.

Novel pernah mendapat pembahasan-pembahasan serius. Novel dianggap berbeda dari novel-novel terdahulu (masa 1920-an dan 1930-an). Kita mewarisi tapi mungkin tak membaca lagi. Novel itu berjudul Belenggu digubah Armijn Pane.

A Teeuw (1952) berpendapat: “Kita di situ berkenalan dengan Armijn Pane sebagai pengarang roman jang diombang-ambingkan kesangsiannja tentang faedahnja ia melakukan pertjobaannja karena ia pada hakekatnja tidak mempunjai kejakinan sendiri tentang hal itu.” Belenggu sanggup memutus “belenggu-belenggu” melanda kesusastraan Indonesia. Ia dianggap berhasil meninggalkan cerita “Indonesia-purba”.

Ajip Rosidi (1982) memuji: “… menarik karena yang dilukiskannya bukanlah gerak-gerik lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerik batinnya.” Pujian tak berlebihan bila menempatkan Belenggu berlatar perkembangan sastra modern di Indonesia masa 1930-an dan 1940-an.

Pada abad XXI, kita menduga masih ada orang membaca Belenggu. Pembaca berhak meragu dengan citarasa bahasa Indonesia dan bisa bosan membaca monolog para tokoh. Belenggu masih menjadi acuan untuk perkuliahan sastra. Dosen mungkin cukup membaca sekali saja. Para mahasiswa tak sanggup untuk khatam mendingan mencari sinopsis atau mencari ulasan-ulasan terdahulu.

Novel tak tebal tapi sering muncul bagi orang-orang ingin mengerti sejarah dan perkembangan sastra Indonesia. Novel pernah memicu perdebatan tapi sering “diam” saat umat sastra di Indonesia memiliki daftar bacaan terbaru.

Baca juga:  Kebingungan Sekularisme Menghadapi Islam Politik

Kini, kita ingin mengingat dalam urusan pembaca buku saja. Belenggu memiliki tokoh-tokoh suka membaca buku. Kita mengacu Belenggu terbitan terbitan Pustaka Rakjat, cetakan ketujuh, 1964. Armijn Pane gamblang mengisahkan “gerak-gerik” membaca buku.

Tokoh dokter bernama Sukartono bingung dan kecewa tak berhasil menemukan buku catatan untuk memeriksa pasien. Ia memilih duduk menenangkan diri. Adegan terpilih: membaca buku. Armijn Pane mengisahkan: “Ditjobanja menjatukan pikirannja untuk membatja buku jang dipegangnja dengan kedua belah tangannja, tetapi sia-sia sadja.”

Di rumah, Sukartono memang mengoleksi buku-buku. Adegan membaca buku diusahakan terjadi setiap hari meski membaca buku kadang pura-pura dalam permainan pikiran dan perasaan di hadapan istri (Tini).

Armijn Pane ingin mengenalkan tokoh-tokoh akrab buku. Kita menduga Belenggu itu novel-propaganda berharap para pembaca ketularan suka membuat adegan membaca buku.

Kita diajak melihat atau hadir dalam ruangan seperti dituliskan Armijn Pane: “Si sakit jang pernah datang meminta pertolongan kerumahnja tahu, ditempat menunggu, ada tustel radio semata-mata untuk menenangkan hati tamu. Kalau dia masuk kekamar muka, tempat dia ditanjai oleh dokter Sukartono, terdengarlah suara lagu perlahan-lahan, keluar dari radio, jang terletak dibelakang dokter diatas lemari buku. Si sakit jang pandai menaksir baik tidaknja aturan disesuatu kamar, senanglah melihat keadaan kamar itu.”

Baca juga:  Wikulokika, Ulama Su’ dalam Sastra Sunda Kuna

Sukartono pernah diledek kawan, menganggap kamar itu bukan kamar dokter tapi “kamar anak gadis”. Kerapian dan keindahan membuat Sukartono bisa melakukan kerja digenapi menikmati waktu senggang. Ruangan itu bermakna: “Dikamar itu pula biasanja Sukartono duduk, kalau lagi menulis atau membatja madjalah atau buku ilmu kedokteran. Dia membatja madjalah dan buku itu asal djangan terbelakang sadja.”

Selera bacaan sesuai profesi. Kita tak mendapat keterangan judul-judul buku. Kita berimajinasi buku-buku itu tebal bersampul kulit-keras. Buku-buku berbahasa Belanda atau Inggris. Sukartono bukan dokter biasa-biasa saja. Ia masih ingin terus mengetahui kemajuan ilmu kedokteran dan mengikuti perkembangan mutakhir melalui majalah-majalah.

Pada suatu malam, Sukartono pulang ke rumah setelah pergi memeriksa pasien dan mencari “hiburan”. Adegan membaca buku ditampilkan lagi oleh Armijn Pane: “Kartono heran melihat isterinja masih bangun, duduk membatja diruang tengah.” Ketegangan terjadi, buku turut menguatkan konflik. Percakapan sejenak mengandung curiga dan ledekan. Armijn Pane mengisahkan Tini: “Tiba-tiba Tini berdiri, kerosi djatuh kebelakang, bukunja ditjampakkannja diatas medja.”

Di tempat dan waktu berbeda, Sukartono bermesraan dengan Rohajah. Pertemuan lagi setelah mereka pernah berteman pada masa lalu. Pertemuan dalam pertaruhan nasib berbeda. Obrolan mereka tetap berurusan buku. Kita mengetahui dari pengakuan Rohajah tentang nasib tak untung dalam asmara. Semula, ia menikah dan ikut suami ke Palembang. Pernikahan tak membahagiakan. Ia lari dari rumah sampai ke Betawi, bermaksud pulang ke Bandung. Nasib belum berpihak. Orang tua sudah tiada.

Baca juga:  Mengenal Usul Fikih (3): Mapping Pembelajaran Usul Fikih

Rohajah bercerita: “… Aku bertemu dengan seorang Belanda, aku mendjadi njainja di Sukarasa dihulu Garut. Tjuma kami berdua sadja bersama seorang koki dan seorang tukang kebon. Disana sepi sadja, Tono. Hatiku bertambah gelisah. Aku seorang diri sadja dengan hati-djiwaku dan aku tidak berani memandangnja. Tuanku banjak bukunja, dia suka membatja. Mulanja tiada lut, kemudian lambat laut hati-djiwaku terpendam oleh batjaan. Buku apa sadja kubatja. Karena itulah banjak pikiran dalam kepalaku, jang tiada berketentuan, jang tiada patut disimpan dalam kepala perempuan.”

Armijn Pane, pengarang suka membaca buku, tak merasa “malu” untuk menampilkan tokoh-tokoh suka membaca buku. Kita pastikan buku-buku dibaca Tini dan Rohajah bukan tema kedokteran seperti dibaca Sukartono. Mereka mungkin membaca novel atau buku-buku ilmu pengetahuan. Armijn Pane sengaja pelit tak memberi judul-judul buku dan nama para pengarang agar pembaca Belenggu turut mengetahui selera bacaan masa lalu. Begitu.

https://alif.id/read/bandung-mawardi/tiga-pembaca-b245288p/