Toleransi dan Kearifan Lokal di Indonesia

“Hai seluruh manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS.al-Hujurat aya 13).


ARRAHMAH.CO.ID – Keragamaan dan
kekayaan khazanah bangsa Indonesia merupakan asset berharga yang harus dirawat
oleh segenap anak bangsa. Keragaman yang ada di tengah bangsa, mulai dari suku,
etnis, dan agama merupakan anugrah Allah Swt agar kita saling mengenal, saling menghormati
dan berlomba dalam kebaikan. Keragaman yang ada bukan malah justru memecah
belah. Andai Allah menginginkan, tentu umat manusia akan dijadikan satu umat
saja. Tapi Allah Swt tidak menghendaki hal demikian upaya umat manusia berpikir
dan mencari hikmah d baliknya.

Keragaman etnis dan
suku bangsa ini sejatinya memperkaya khazanah bangsa dalam hal toleransi, tepa
selira, dan hormat menghormati baik antar umat beragama ataupun antar suku dan
etnis yang berbeda. Setidaknya ada dua modal utama bangsa Indonesia yang dapat
menjaga dan merekatkan ikatan bangsa yang besar dan majemuk ini. Pertama adalah
agama-agama yang mengajarkan kerukunan dan harmoni. Kedua adalah kesepakatan
dasar bangsa yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Materi ini akan lebih
memberikan penekanan pada aspek modal kedua, terutama Bhinneka Tunggal Ika yang
mewujud pada kearifan local (local wisdom) yang ada di tengah masyarakat. Khazanah
kearifan local ini menjadi modal sosial yang secara substansi merupakan
objektivasi nila-nilai universal. Alih-alih menggunakan konsep atau kosa kata
agama masing-masing yang mungkin sulit diterima oleh kelompok agama yang
berbeda, dengan adanya objectivasi khazanah local justru nilai-nilainya menjadi
universal dan dapat diterima oleh banyak pihak. Sebagai contoh misalnya di
Sumatera Utara, struktur kekerabatan di Suku Batak (Tarombo) merekatkan
hubungan kekeluargaan dan persaudaraan walau berbeda agama antara satu dengan
yang lain. Toleransi dan sikap saling menghormati bukan sekedar menjadi
kewajiban, namun sudah menjadi norma dan tradisi yang lazim ditemukan dalam
hubungan intra Suku Batak.

Demikian halnya bila
kita menuju Indonesia Timur, mulai dari Sulawesi Utara, Maluku, hingga Tual. Di
Sulawesi Utara, titik temu toleransi ada pada nilai-nilai kearifan lokal atau
bahkan genius local yang hidup di tengah masyarakat. Di antaranya adalah
penghormatan kepada orang tua, filosofi “Sitou Timou Tumou Tou” yang
berarti “manusia hidup untuk menghidupi sesama”. Selain itu ada pula ungkapan “Torang
Samua Basudara
”. Kerukunan di Minahasa juga terkait dengan asal nama Minahasa
yang artinya ‘Mina Esa atau ‘yang dipersatukan’. Banyak nilai-nilai baik
yang telah berkembang sebagai kearifan local di Minahasa. Bahkan jauh sebelum Indonesia
merdeka hubungan antar etnis dan suku melalui temali perkawinan merupakan hal
yang biasa dan mudah ditemukan. Saat Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado,
banyak dari anggota pasukannya yang menikah dengan warga setempat.

Demikian pula di Tanah
Maluku bagaimana kearifan lokal menjadi metode yang efektif untuk bangkit
setelah konflik horizontal di awal tahun 2000-an. Memori kolektif orang maluku
punya prinsip bahwa walaupun berbeda tapi semua merasa bersaudara (Katong Samua
Basudara) atau orang-orang basudara betapapun berbeda Beta tetap Maluku dan tingginya
rasa saling memiliki di antara mereka. Hal ini sebagaimana petuah-petuah tetua
orang Maluku ale rasa beta rasa, yang artinya apa yang kamu rasa saya
turut merasakannya. Lalu ada filosofi yang artinya senada dengan sebelumnya,
yaitu potong di kuku rasa di daging. Ada pula sagu salempeng bagi dua
yang bermakna sepotong sagu dibagi dua atau ain
ni ain
yaitu satu untuk semua, semua untuk satu. Kearifal local lainnya
adalah pentingnya merawat persaudaraan sejati seperti janji-janji leluhur
Maluku di Nunusaku Nusa ina Pulau seram yaitu Nunu pari hatu, hatu pari Nunu
yang artinya bersatulah seperti pohon beringin melingkari batu karang dan batu
karang mendekap akar beringin.

Prinsip atau petuah
adat yang memiliki substansi yang sama juga akan ditemukan di Tanah Kei atau
Tual. Bahkan, menurut para tokoh agama dan adat di Tanah Kei, jauh sebelum
Pancasila dilahirkan, filosofi Kei telah mewarnai denyut nadi kehidupan
sehari-hari rakyat Kei. Hal ini semakin meneguhkan bahwa kearifan dan
kebijaksanaan lokal di Tanah Air sangat kaya dan sudah seharusnya terus menerus
dihidupkan dan diperkaya untuk konteks kebangsaan secara lebih luas. Kekayaan
khazanah lokal inilah yang terus menerus menjaga Indonesia untuk terus
tumbuh-berkembang dan maju secara toleran, demokratis dan penuh
kemajemukan. 

Tanah Kei, yang
dikenal sebagai, Tanah Evav atau Nuhu Evav merupakan daerah yang mencakup
Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual—setelah keduanya dimekarkan pada tahun
2007. Daerah ini merupakan daerah yang cepat pulih dan bangkit saat terjadi
konflik sosial di Maluku dan sekitarnya pada tahun 2000an. Faktor kearifan
lokal inilah yang turut menjaga harmoni di Tanah Kei.

Dalam Musyawarah Besar
Pemuka Agama Untuk Kerukunan Bangsa 2018, beberapa kesepakatan penting
dilahirkan oleh para pemuka agama. Salah satunya adalah terkait etika kerukunan
antara dan intra umat beragama. Dalam etika antar umat beragama dijelaskan
bahwa masing-masing pemeluk umat beragama diminta untuk tidak mencampuri urusan
rumah tangga masing-masing. Persoalan doktrin, konflik internal di agama lain
tidak perlu dicampuri oleh penganut agama lain. Kerapkali, hal inilah yang
menjadi persoalan dalam hubungan antar agama. Terlebih, dengan penggunaan media
sosial yang kian luas, ujaran kebencian atau ceramah yang sudah mengalami
plintiran turut memperburuk situasi. Merujuk kepada filosofi di Tanah Kei, Umat
Rir Rahan Raan
(ada larangan adat untuk mencampuri urusan dalam rumah
orang).

Selain filosofi di
atas yang menasehati untuk tidak mencampuri urusan dalam rumah orang, beberapa
filosofi yang dapat ditemukan di Tual antara lain Roan Kain Yaau Ning, Vuan
It Bisa Did
yang bermakna daun dan batang saya punya, tapi buahnya kita
semua punya; Manut Ain Mehe Tilur, Fuut Ain Mehe Ngifun yang artinya telur
dari satu ayam dan telur dari satu ikan, yang artinya Kita Semua Bersaudara,
punya satu asal-usul yang sama; It Fau Fo Banglu Vatu, ne It Foing fo Kut
Ain
yang secara harfiah artinya “Kita dibentuk menjadi seperti sebutir
peluru dan diikat erat menjadi seperti satu berkas sumbu api dari seludang
kelapa”. Makna secara luas adalah artinya kesatuan yang erat yang tak bisa
terpisahkan dan memiliki semangat kebersamaan dan kekuatan yang bertahan terus.
Bahkan melihat sistem hukum dan masyarakat di Kei, maka kita akan mengenal apa
yang disebut dengan hukum adat Lar Vul Nga Bal, yang mrupakan kearifan
lokal yang luar biasa. Lar Vul Nga Bal merupakan dasar/panduan/pegangan,
nilai dan norma hukum, bagi perilaku, perbuatan dan tata hidup masyarakat Kei,
baik dari segi susila/etik maupun moral, serta pidana maupun perdata, secara
adat.

Tanah air Indonesia
tidak saja memiliki keindahan yang memesona. Ketinggian filosofi dan nilai
hidup yang dianut masyarakatnya juga demikian memukau. Nilai-nilai inilah yang
terus dirawat oleh para tokoh dan masyarakat di tanah air sehingga kerukunan
dan harmoni dapat terus dijaga. Kearifan local yang tercantum dalam materi
khutbah kali ini hanya sebagian kecil saja dari kekayaan kearifan local di
tanah air. Benang merah kearifan local ini senada dengan nasihat suci dari
al-Quran dan Hadist yang memerintahkan untuk menjaga persaudaraan dan
silaturahmi antar sesama, saling menghormati walau berbeda agama dan keyakinan,
serta menjunjung solidaritas yang tinggi antar sesama manusia. Wallahu a’lam
bi ash-showab.
[]

Oleh: Ust. Ahmad Imam
Mujadid Rais,
pengurus Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional PP. Muhammadiyah.

https://www.arrahmah.co.id/2021/03/toleransi-dan-kearifan-lokal-di.html