Perang Israel-Palestina semakin hari tambah tragis. Penduduk Palestina sebagai pihak terserang terus tersiksa seolah tidak mendapat bantuan. Konflik yang berawal sejak runtuhnya Dinasti Turki Usmani itu membuat warga Palestina terusir dari negaranya. Pasalnya, sejak Turki Usmani runtuh warga Palestina tidak lagi hidup nyaman disebabkan adanya gangguan dari zionis yang kemudian mereka membentuk negara Israel pada tanggal 15 Mei 1948. Pendirian negara Israel tersebut juga berangkat dari Resolusi 181 (II) PBB yang membagi Palestina menjadi dua negara, negara Arab Palestina dan negara Yahudi. Hanya saja sampai saat ini Israel belum puas, sehingga ia terus melakukan serangan terhadap penduduk Arab Palestina.
Dihimpun dari United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA) dari Kementerian Kesehatan Gaza dan keterangan resmi pemerintah Israel bahwa sampai hari ke-58 perang, yakni 3 Desember 2023, jumlah korban jiwa Palestina telah mencapai 15.767 orang. Rinciannya, korban jiwa di Jalur Gaza 15.523 orang dan di Tepi Barat 244 orang. Sementara korban dari pihak Israel sebanyak 1.275 orang.
Tragedi kemanusiaan Palestina-Israel sudah tidak bisa dianggap remeh. Ia harus segera diselesaikan, segera dicarikan solusi dan sanksi tegas bagi pihak Israel. Jika terus dibiarkan, ia akan membesar menuju skala internasional. Beberapa langkah yang dilakukan berbagai pihak, mulai dari bantuan agresi dari Arab sampai adanya konferensi internasional yang dilaksanakan PBB tak dapat menangani sepenuhnya. Tulisan ini berusaha membawa solusi—atau setidaknya memperjelas siapakah pihak yang sangat memiliki tanggung jawab atas tragedi kemanusiaan ini.
Jihad dalam Fikih
Sebelumnya saya sempat ragu untuk membawa konsep jihad dalam kaitannya dengan isu perang Palestina. Sedikit alasan; bahwa jika demikian akan memunculkan konflik dan permusuhan antar agama yang itu justru diinginkan oleh Netanyahu, sebagaimana disampaikan oleh Ulil Abshar Abdallah dalam suatu forum. Pasalnya, netanyahu itu adalah politisi yang sempat terperangkap kasus korupsi. Bersamaan dengan itu ia juga terindikasi berpaham agnostik. Lalu, ia memanfaatkan konflik Israel-Palestina untuk kembali mengangkat namanya. Dengan isu agama ia berhasil menarik kembali hati rakyat Israel untuk maju di pemilu dan memenangkannya.
Namun, ini bukan soal mengangkat isu agama yang mengarah pada permusuhan, melainkan ihwal bagaimana salah satu khazanah pesantren, fikih, hendak berbicara soal solusi atas tragedi kemanusiaan di Palestina. Ini tetap atas dasar tanggung jawab kemanusiaan yang tentunya menjadi kewajiban semua manusia. Dalam hal ini fikih tidak kami identikkan dengan suatu ajaran agama, kita lihat ia sebagai serumpun bidang keilmuan yang hendak memberi saran ihwal tragedi kemanusiaan Palestina.
Jihad itu wajib bagi setiap muslim (fardu ‘ain) yang berada di daerah terserang dan muslim yang berada bawah jarak qasar (sekitar 80 mil) dari daerah terserang. Sementara bagi mereka yang berada pada jarak di atas itu dari daerah terserang, jihad menjadi fardu kifayah. Hanya saja apabila muslim di daerah terserang dengan ditambah muslim yang berada dibawah jarak qasar dirasa belum cukup maka mereka yang berada di atas jarak itu juga terkena hukum fardu ain untuk melakukan jihad (pembelaan fisik/agresi militer). (Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Muin)
Itulah kata fikih mengenai hukum jihad. Dalam sejarahnya jihad terbagi dua; jihad defensif dan jihad ofensif. Jihad defensif adalah aksi membela diri dan membela kaum seiman dari serangan. Sementara jihad ofensif adalah aksi memperluas teritorial kekuasaan dengan tujuan adanya hidayah pada penduduk terserang. Maka tak heran jika Nabi Muhammad baru menerima kewajiban perang setelah beliau dan kaum muslim memiliki negara di Madinah.
Menuju Jihad Solutif di Era Modern
Konsep jihad dalam fikih muncul di mana geopolitik masih klasik; teritorial kekuasaan suatu negara ditentukan oleh sejauh mana ia melakukan ekspansi. Maka tak heran jika jihad dalam fikih selalu berkaitan dengan pembelaan dan serangan secara fisik (kalau enggan bilang perang). Selain itu, tak jarang juga istilah daru al-harbi dan daru al-islam tertulis dalam fikih ihwal konsep kenegaraan. Hal ini untuk menentukan di mana letak daerah yang akan menjadi objek jihad. Dan bukan hanya jihad; bahwa segala ihwal politik praktis dalam fikih selalu digiring oleh sosial di mana teks fikih muncul. Sebut saja soal iman; ia bukan hanya menjadi status keagamaan, melainkan juga status politik—status muslim dan zimi menjadi penentu apakah orang tersebut layak untuk menjadi hakim atau tidak. Sejak itulah Islam itu bukan hanya agama dan keselamatan, melainkan juga sebagai organisasi yang menjadi wadah politik muslimin kala itu—dan muslim bukan hanya mereka yang mengucapkan syahadatain, melainkan juga mereka yang ikut serta dalam organisasi tersebut.
Adalah berbeda ihwal peradaban politik pasca kolonialisme, di mana politik yang awalnya memiliki batas-batas teritorial bergeser menjadi politik yang tanpa sekat. Hal ini ditunjukkan oleh hadirnya nation state (negara bangsa), global goverment (pemerintahan global) dan beberapa instrumen politik lintas batas seperti PBB. Hadirnya peradaban demikian untuk membentuk stabilitas hidup manusia secara umum berdasarkan prinsip egalitarianisme dan kemanusiaan, bukan hanya egoisme ortodoks yang apatis terhadap golongan berbeda keyakinan.
Berangkat dari fenomena itu, fikih siyasah, termasuk jihad, seharusnya memindah diri dari egoisme ortodoks ke prinsip egalitarian dan humanitarian. Dari itu, konsep jihad menemukan tempatnya untuk kembali diangkat sebagai solusi dalam membela saudara kita di Palestina. Dalam hal ini kami akan mempertahankan makna tersirat dalam konsep jihad, sementara rekonstruksi akan tampak dalam ihwal jihad secara praktis. Melalui ini kita mencoba reaktualisasi jihad yang dulu selalu menjadi salah satu solusi muslim untuk membela saudaranya yang seiman. Atas nama Adam kita akan menghidupkan kembali konsep jihad yang sempat redup untuk membela saudara berdasarkan prinsip kemanusiaan.
Kata Fikih Soal Palestina
Perhitungan jarak ihwal hukum jihad sebagaimana diterangkan sebelumnya tidak berangkat dari ruang kosong. Di balik semua itu yang perlu disadari adalah bahwa akses yang dulu ditentukan oleh letak geografis seseorang atau suatu kelompok menjadi penentu untuk memutuskan siapakah yang bertanggung jawab untuk membela saudaranya yang seiman. Wajar saja jika akses dalam jihad klasik berdasarkan jarak geografis—hal ini karena pembelaan yang efektif dalam konteks dulu adalah pembelaan dalam bentuk fisik.
Namun, hal yang perlu disadari adalah bahwa ihwal Palestina-Israel bukan hanya soal perang fisik, melainkan juga politik. Perang fisik hanya segelintir aksi yang diakibatkan oleh polemik kekuasaan di ruang pemerintahan global. Dari itu, jika konsep jihad kita aktualisasikan kembali ke konteks pasca kolonialisme, khususnya perang Israel-Palestina maka akses bukan lagi ditentukan oleh letak geografis, melainkan dengan kekuasaan politik. Sejauh mana suatu lembaga memiliki akses dalam membantu mengentaskan perang ini melalui ruang politik kekuasaan, maka ialah yang memiliki kewajiban jihad untuk membantu penduduk Palestina.
Adalah PBB yang seharusnya memainkan peran ini. Ia adalah lembaga yang sejak berdirinya sudah menyuarakan perdamaian dan memiliki akses untuk menjamin perdamaian. Secara akses menuju kekuasaan politik PBB adalah yang paling dekat dan dinilai paling mampu. Ia bisa saja memberi sanksi kepada Israel atas genosida yang dilancarkan. Saya yakin akan hal itu, kecuali jika ia kembali merengek ketakutan akan hak veto, khususnya dari Amerika.
Namun, sangat disayangkan; bahwa PBB kurang tegas dalam menyikapi pertumpahan darah di Palestina. Dalam langkahnya ia hanya menjadi mediator untuk melakukan negosiasi antara pihak terkait perang Palestina—selebihnya PBB hanya diam karena dinilai kalah terhadap hak veto. Salah satu upaya yang juga sempat dilakukan oleh PBB adalah adanya Resolusi Gencatan Senjata yang dibuat berdasarkan usulan beberapa negara. Namun, hal tersebut tidak mengikat secara hukum, melainkan hanya memberi bobot pada politik dan moral. Maka tak heran jika Benyamin Netanyahu secara terang-terangan menolak adanya gencatan tersebut dan tegas untuk kembali melakukan genosida terhadap penduduk Palestina.
Baca Juga
https://alif.id/read/ghu/tragedi-kemanusiaan-di-palestina-dalam-kacamata-ilmu-fikih-b248819p/