Tumpulnya Imajinasi Anak-Anak dalam Buku Kurikulum Pendidikan Agama

Tak banyak kenangan tersisa mengenai ingatan akan asyiknya buku mata pelajaran di masa sekolah, termasuk buku Pelajaran Agama Islam. Buku yang konon dipercayai mampu membuat anak-anak memiliki akhlak budi pekerti yang baik sesuai dengan standar kurikulum yang berlaku. Kita boleh tengok sebuah buku kurikulum 2013 berjudul Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SD/MI kelas VI terbitan Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang Kemendikbud.

Ada sepuluh materi yang harus dikuasi oleh anak, masing-masing: Indahnya Saling Menghormati, Ketika Bumi Berhenti Berputar, Indahnya Nama-nama Allah, Ayo Membayar Zakat, Keteladanan Rasulullah dan Sahabatnya, Indahnya Saling Membantu, Menerima Qada dan Qadar, Senangnya Berakhlak Terpuji, Ayo Berinfak, dan Bersedekah, serta Senangnya Meneladani Para Nabi dan Ashabul Kahfi.

Kesemua materi tersebut dibebankan kepada anak untuk dikuasai selama satu tahun. Di waktu yang begitu panjang tersebut mengapa tetap saja ingatan akan buku pelajaran bagi anak begitu sulit? Jika kita memperhatikan bahasa yang digunakan tentu bagi anak membaca hal demikian sangat membosankan ini terjadi karena keseluhan buku pelajaran notabene bersifat indoktrin yang menuntut murid untuk menghafalkan. Sangat sedikit ruang bagi anak untuk berimajinasi dan mengembangkan pikirannya, apalagi mengontekstualisasikan materi yang dituntut untuk dikuasai.

Psikolog anak, Anastasia Satriyo pernah menyarankan bahwa sebaiknya sesering mungkin anak diajak untuk terlibat dalam kegiatan bermain dan bercerita yang dapat dilakukan dengan mendongeng, bermain peran ataupun membacakan cerita yang mampu merangsang imajinasi anak. Imajinasi adalah suatu hal yang sangat penting dihidupkan dalam diri anak. Imajinasi dapat membentuk kepercayaan diri, mengasah dalam berpikir inovatif, mengeksplor bakat terpendam, meningkatkan kreativitas, dan melatih diri agar mampu melakukan problem solving di kemudian hari.

Baca juga:  Iklan Ramadan: Waraslah!

Pendidikan Agama barangkali bisa disajikan tak sebatas bentuk doktrin yang berupa informasi hanya untuk dihafal tanpa memberikan ruang bagi anak untuk menghayatinya. Hal demikian dirasa akan dapat terjadi jika melibatkan unsur sastra di dalamnya. Cita rasa sastra sangat dibutuhkan dalam pembelajaran keagamaan agar anak tidak serta-merta langsung mengonfirmasi ketika mendapat sebuah informasi. Tetapi, melatih mereka untuk merangkai peristiwa demi peristiwa yang dijumpainya untuk disimpulkan sendiri baru kemudian diperdalam oleh seorang guru misalnya dengan menggunakan media novel.

Di Majalah Tempo edisi 1 Mei 2021, kita temukan liputan Ismah Savitri, “Penyair Misterius, Pendukung Sastra Anak”. Keterangan terbaca: “Dalam presentasinya pada Konferensi Nasional I Lembaga Sastra di Medan, Sumatera Utara, 22-25 Maret 1963, penyair Sugiarti Siswadi mendengungkan satu hal yang belum banyak dilirik di dunia literasi ketika itu: sastra anak.” Kutipan tetap perlu menjadi permenungan untuk mengetahui perkembangan sastra anak di masa kini.

Dua novel mengangkat tokoh utama anak yang memiliki nilai-nilai religiositas adalah Saga No Cabai Bachan yang dalam Indonesia berjudul Nenek Hebat dari Saga karya Yoshocho Shimanda dan Anne of Green Gables karya Lucy M. Montgomey. Kedua novel ini memuat kesepuluh nilai yang disajikan dalam buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti SD/MI kelas VI tanpa secara eksplisit menyuapi anak dengan informasi yang sudah jadi. Nilai-nilai tersebut tersajikan dalam cerita demi cerita baik lewat dialog maupun tiap peristiwa yang dilalui oleh para tokoh.

Baca juga:  Teknologi Neuralink Perspektif Teologi Islam

Novel Nenek Hebat dari Saga mengisahkan kehidupan seorang nenek bernama Osano dengan cucunya di sebuah desa terpencil di Jepang yaitu Saga. Di tengah situasi pasca peperangan yang meluluhlantahkan Jepang, nenek Osano mengajarkan begitu banyak nilai kehidupan pada cucunya seperti tolong menolong, ketaatan dalam beribadah, mensyukuri setiap nikmat Tuhan, etos hidup yang tinggi, humor yang cerdas, optimis dalam menjalani hidup, dan bekerja keras dalam menjalani hidup.

Novel Anne of Green Gables karya Lucy M. Montgomery pun tidak kalah seru untuk dijadikan referensi bagi anak mengenal religiositas. Karakter Anne yang ditampilkan memiliki karakter yang begitu kuat dalam setiap ceritanya. Ia memiliki imajinasi yang begitu hidup, kesadaran yang tinggi atas setiap hal yang dilakukan termasuk dalam berdoa, bagaimana ia mengkritik berdoa bukan hanya sebuah pelafazan rutinitas yang tidak berarti tetapi juga harus melibatkan penghayatan, kerja keras Anne dalam mewujudkan cita-cita, dan alternatif cara hidup yang tidak pernah kering ia salurkan.

Kita kemudian terpikir, nasib sastra anak meski hasil terjemahan itu begitu penting diperhatikan. Hal itu pula yang agaknya perlu dijadikan renungan dalam perkembangan sastra anak kita. Akankah kita kemudian hanya memilih berdiam diri untuk duduk termangu melihat anak-anak kita terdistorsi secara imajinasi dan kreativitas hanya karena bacaan yang tidak menstimulus pikiran anak untuk kembali menyala?

Baca juga:  Membangun Peradaban Tanpa Uang 

https://alif.id/read/ylp/tumpulnya-imajinasi-anak-anak-dalam-buku-kurikulum-pendidikan-agama-b246951p/