Laduni.ID, Jakarta – Sekitar 500 ulama NU se-Indonesia dijadwalkan bertemu di Pondok Pesantren Sunan Drajat, Kabupaten Lamongan, dalam agenda Halaqah Ulama Nasional, yang fokus mendiskusikan berbagai problem kebangsaan dan keumatan, Selasa (11/7/2023).
Agenda ini diinisiasi oleh Persatuan Pondok Pesantren Indonesia (Rabithah Ma’ahid al-Islamiyah) PBNU dan akan berlangsung pada hari Selasa, tanggal 11 sampai hari Kamis, tanggal 13 Juli 2023.
Sub Supporting Halaqoh Ulama Nasional PBNU, M. Rahman megatakan dalam keterangan tertulis, “Acara ini dikemas dalam Halaqah Ulama Nasional yang digelar selama tiga hari, 11-13 Juli 2023. Halaqah ulama ini mengambil tema “Menyambut Peradaban Baru, Menguatkan Pesantren dan Revitalisasi Kitab Kuning.”
Menurut M. Rahman, saat ini Indonesia tengah menghadapi tiga tantangan serius yang terkait dengan persoalan kebangsaan dan keumatan.
Tiga tantangan yang dimaksud adalah terkait dengan regenerasi ulama, modernitas dan masalah kebangsaan.
Karena itulah agenda ini diinisiasi agar para ulama bertemu dalam rangka menghasilkan resolusi yang tepat dalam menjawab dan menangani persoalan tersebut.
Sementara itu, Ketua Rabithah Ma’ahid Al-Islamiyah (RMI) PBNU, KH. Hodri Arif mengungkapkan, para ulama tidak hanya mengerti tentang mengaji dan mengasuh pesantren, akan tetapi juga peka dengan problem nasional saat ini.
“Halaqah ini adalah forum ulama-ulama mendiskusikan tantangan peradaban baru, dan menghasilkan solusi melalui metode dan tradisi keislaman Indonesia yang inklusif,” katanya.
Kiyai Hodri menambahkan, dinamika Islam di Indonesia sering dikooptasi oleh kepentingan pragmatis yang menggunakan sentimen identitas.
Hal itu ditengarai dapat berimplikasi memecah belah umat yang tentunya berpengaruh pada nasionalisme. Maka selanjutnya Halaqah Ulama ini akan mendesain peta jalan tatanan peradaban baru yang adil, harmonis dan menjunjung tinggi kesetaraan serta martabat umat manusia.
Dalam pertemuan tersebut, akan ada banyak isu strategis yang dibahas. Pengurus PBNU, KH. Ulil Abshar Abdalla menyoroti pentingnya kontekstualisasi kitab kuning yang ditulis oleh ulama klasik agar tetap relevan pada masa kini.
“Dalam kitab-kitab klasik kita mengenal istilah kafir dzimmi, saat ini kita perlu bertanya apakah kategori seperti ini masih bisa kita pakai, atau kita pahami ulang secara lebih kontekstual,” ungkapnya.
Selain itu, pertanyaan lain yang harus dipikirkan ulang adalah tentang kedudukan minoritas (terutama minoritas agama) dalam negara bangsa ditinjau dari sudut fikih siyasah.
Isu ini sangat perlu untuk dibahas secara serius dan tuntas, karena sepantasnya Indonesia sebagai negara mayoritas Islam terbesar di dunia, memiliki identitas kuat yang memiliki ciri khas.
Diakui atau tidak, selama ini muslim Asia Tenggara di percaturan intelektual global, sering dianggap muslim kelas dua, karena mereka bukan native speaker bahasa Arab. Bahkan, kajian Islam di Barat pun didominasi oleh Islam yang berkembang di kawasan Timur Tengah.
“Jarang sekali ditemui pusat kajian Islam kawasan Melayu di sejumlah perguruan tinggi Timur Tengah, bahkan di Al-Azhar pun belum ada,” tambah Kiyai Ulil.
Menurut panitia pengarah acara, Hatim Gazali, fokus pertemuan tiga hari ini adalah merumuskan peta jalan tatanan peradaban baru bagi pesantren. Karena zaman yang terus berubah telah membawa pesantren dan masyarakat ke era disrupsi yang tak terpikirkan sebelumnya.
“Maka perlu perumusan kembali manhaj sekaligus upaya merevitalisasi kitab kuning agar dapat menjawab problematika kekinian,” katanya.
Selain isu di atas, topik perbincangan yang akan diangkat dalam halaqah ini adalah terkait dengan konsekuensi jika dalam Undang-Undang disebutkan bahwa pesantren menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Karena perlu disadari bahwa ketika umat Islam berada di tengah gelombang transnasionalisasi yang membawa pengaruh tak menentu, diperlukan penguatan peran pondok pesantren dalam tatanan dunia baru tersebut.
“Di sinilah kami akan membahas berbagai hal terkait dinamika pesantren dan masyarakat di zaman yang berubah,” Hatim Gazali.
Selain lima ratus ulama dan pengasuh pondok pesantren terkemuka dari berbagai provinsi di Indonesia, forum ini juga diramaikan oleh Forum Komunikasi Pendidikan Muadalah (FKPM), Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (Amali), Asosiasi Pendidikan Diniyah Formal (Aspendif), Forum Komunikasi Pendidikan Pesantren Salafiyah (FKPPS) dan Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT).
Menurut informasi panitia, di antara tokoh-tokoh yang dijadwalkan hadir, selain para ulama NU terkemuka dari seluruh daerah, juga Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD.
Dalam rundown acara Halaqah Ulama ini, penutupan akan diisi dengan kegiatan seremonial dan festival kesenian pesantren. []
Editor: Hakim