Namanya Imam Hammad bin Sulaiman, ia merupakan salah satu sosok berpengaruh di balik kealiman Imam Abu Hanifah an-Nukman, yang kemudian menjadi pelopor keberadaan mazhab Hanafiyah. Ia juga dikenal sebagai tabi’in, yaitu orang-orang yang masih menjumpai sebagian dari para sahabat nabi.
Namanya sangat mentereng dan tersohor di kalangan tabiin, khususnya dalam penguasaan ilmunya yang sangat luas, bahkan ia dikenal sebagai salah satu pembesar para ulama (kibaru al-ulama) di kota Naisabur.
Dalam catatan sejarah, gelar dan capaiannya yang tinggi tidak berarti menunjukkan dirinya sebagai pelajar di usia sebagaimana yang ditempuh ulama lainnya, yaitu usia muda. Akan tetapi, ulama yang satu ini termasuk bagian dari ulama-ulama yang masuk dalam daftar telat belajar. Namun prinsipnya, telat belajar bukan berarti tidak ada harapan untuk paham dan bisa menguasai cabang-cabang ilmu.
Al-Faqih Abu Sulaiman Hammad bin Sulaiman bin al-Marzaban an-Naisaburi al-Khurasani. Ia berasal dari keturunan Asbahan, nama sebuah kota yang ada di Naisabur, Khurasan. Ayahnya seorang budak sahaya di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Bahkan, ayahnya masuk Islam di bawah bimbingan gustinya itu.
Dalam beberapa riwayat, Imam Hammad bin Sulaiman masuk kategori sigharu at-tabi’in (tabi’in peringkat rendah), karena ia hanya bertemu dengan seorang sahabat yang sekaligus menjadi gurunya, yaitu Sahabat Anas bin Malik.
Tidak ada catatan sejarah pasti yang ditemukan oleh penulis perihal tahun kelahiran dan tahun wafatnya ulama yang satu ini, namun intinya, ia masih masuk bagian dari orang-orang yang menjumpai sahabat nabi, sekitar tahun 100-an. Hal ini tidak lain karena latar belakang Imam Hammad berasal dari seorang budak yang kurang mendapat perhatian untuk ditulis secara khusus.
Berasal dari keturunan budak, meniscayakan Hammad kecil juga memiliki latar belakang budak yang sama sebagaimana ayah dan kakeknya. Saat itu, ia harus menjadi pelayan majikannya selama dibutuhkan, dan benar saja, selama dua puluh empat jam hanya beberapa waktu bisa beristirahat. Selebihnya, ia harus siap dipanggil untuk melaksanakan perintah majikannya.
Keadaan ini terus menerus dirasakan oleh Hammad bin Abu Sulaiman sejak ia kecil hingga dewasa. Selapas wafatnya sang ayah, ia menjadi tulang punggung dari keluarganya. Selain menjadi pelayan untuk majikannya, ia juga menyempatkan diri untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya.
Keadaan seperti membuat masa pertumbuhan Hammad bin Abu Sulaiman kurang peduli akan pentingnya ilmu. Yang ia pedulikan hanya tentang makan dan menghidupi keluarganya yang sudah ditinggal wafat oleh ayahnya. Hari demi hari ia harus sabar dengan segala ujian yang diberikan oleh Allah kepadanya.
Hammad bin Abu Sulaiman meruakan sosok yang sangat jujur. Sejak bersama majikannya, tidak pernah satu kali pun berbohong atas segala amanah yang diterimanya, termasuk semua barang-barang majikan yang dititipkan kepadanya.
Suatu saat, sang majikan sadar bahwa Hammad telah bersamanya dengan kurun waktu yang sangat panjang. Ia menyadarai bahwa sosok seperti Hammad tak seharusnya menjadi seorang budak sahaya. Kejujuran yang ada dalam diri Hammad seharusnya mengantarkannya menjadi seorang bijak dan tokoh di Naisabur. Sejak saat itulah sang majikan memerdekakan budak sahayanya yang jujur itu.
Setelah merdeka di usianya yang sudah tua, ia hidup menjadi orang tua bebas yang bisa menikmati kota Naisabur sesuai keinginannya sendiri. Ia mengelilingi kota kelahirannya dari utara hingga selatan, barat hingga timur, dan saat itulah rihlah keilmuannya dimulai.
Setelah melakukan traveling sedemikian jauh di kota Naisabur, ia selalu menjumpai para ulama seumuran dengannya yang ilmu pengetahuan dalam diri mereka sudah sangat luas. Saat itulah ia menyadari pentingnya ilmu. Akhirnya ia memulai rihlah keilmuannya di usia yang sudah tua, sebagaimana catatan Syekh Taqiyuddin al-Ghazzi, ia mengatakan:
لَقِىَ جَمَاعَةً مِنَ النَّاسِ، وَتَفَقَّهَ عَلَى كِبَرِ السِّنِّ
Artinya: “(Imam Hammad) bertemu dengan kumpulan manusia, kemudian ia belajar fiqih di usia tua.” (Syekh al-Ghazzi, Thabaqatu as-Sunniyah fi Tarajimi al-Hanafiyah, [Maktabah asy-Syamilah Aliya], halaman 265).
Setelah Imam Hammad menyadari pentingnya ilmu pengetahuan, semangatnya tumbuh dalam dirinya, sebagaimana semangatnya anak muda yang baru merasakan manisnya ilmu. Ia kemudian belajar fiqih kepada Imam Muhammad bin Husain, belajar hadits kepada Sufyan ats-Tsauri, kepada Imam Ahmad bin al-Azhar dan beberapa ulama lainnya.
Dengan didikan dan bimbingan para ulama di atas, sekaligus semangat dan kehausannya akan ilmu pengetahuan yang tinggi, akhirnya mengantarkan nama Imam Hammad menjadi tokoh dengan kualitas ilmu yang tidak diragukan kembali. Banyak para ulama selanjutnya yang berguru kepadanya, di antaranya adalah Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafiyah.
Demikian gambaran ilmu dan kejujuran, Imam Hammad bin Abu Sulaiman yang awalnya seorang budak sahaya, namun dengan kejujuran yang terpatri dalam dirinya membuat majikannya tertegun hingga memerdekakannya.
Setelah merdeka, ia menjadi orang mulia dan diagungkan oleh orang-orang di Naisabur khususnya, dan semua umat Islam umumnya, dikarenakan luasnya ilmu yang ada dalam dirinya, kendati pun belajar di usia yang sudah tua. Ilmu agama mampu mengangkat derajatnya yang hina menjadi tokoh dengan intelektual tinggi yang mulia.
Dari kisah ini dapat diambil teladan, bahwa menjadi orang miskin, termasuk budak, tidak lantas membuat masa depan kelam, begitu juga dengan umur tua tidak niscaya menjadikannya sebagai orang bodoh yang buta akan ilmu pengetahuan.
Imam Hammad bin Abu Sulaiman telah menjadi referensi otentik yang patut dicontoh untuk memompa semangat baru, bahwa ilmu tidak memiliki batas waktu. Siapa saja bisa meraih dan menguasainya dengan bermodalkan semangat dan keinginan yang tinggi.
https://alif.id/read/snt/ulama-yang-mulai-serius-belajar-di-usia-tua-4-imam-hammad-b242485p/