Di antara sekian banyak contoh ulama-ulama yang belajar di usia tua adalah Imam Abu Ahmad Ghunjar. Ia belajar di usia yang sudah tidak lagi muda, tak seperti pelajar pada umumnya, namun di akhir kisahnya, ia mampu menorehkan capaian luar biasa dan berhasil menjadi ulama yang keilmuannya tidak diragukan kembali.
Nama lengkapnya adalah Imam al-Muhaddits Isa bin Musa al-Arzaq Abu Ahmad al-Bukhari at-Tamimi. Namanya tidak begitu dikenal, ia lebih populer (popular) dengan panggilan julukannya, yaitu Imam Abu Ahmad Ghunjar, yang berarti merah.
Menurut Imam al-Jiyani al-Andalusi dalam kitab Alqabu as-Sahabah wa at-Tabi’in fi al-Musnidaini as-Shahihain, kata Ghunjar meruakan julukan yang disematkan kepadanya. Julukan ini kemudian menjadi lebih masyhur daripada namanya sendiri. Alasannya, dikarenakan kedua pipinya agak kemerah-merahan.
Imam Abu Ahmad Ghunjar berasal dari suku Bani Tamim, yaitu salah satu suku Arab terbesar dan paling banyak tersebar di Semenanjung Arab, pantai Mediterranean Timur, dan Iraq. Suku ini juga berhasil melahirkan ulama-ulama produktif dan tersohor dengan keilmuan yang luas.
Dari beberapa riwayat yang ditulis oleh para ulama, mulai dari kalangan tabiut tabiin (generasi setelah tabi’in), masa salaf (klasik) dan khalaf (kontemporer), tidak ada satu riwayat satu kodifikasi pun yang berhasil penulis temukan perihal tahun lahir dan wafatnya Imam Abu Ahmad Ghunjar. Penulis sejarah ulama tidak menulis biografi lengkap tentangnya.
Namun, Imam Abu Abdillah bin Mughirah al-Bukhari (wafat 256 H) dalam salah satu masterpiece-nya yang berjudul, at-Tarikh al-Kabir li al-Bukhari bi Hawasyi Mahmud Khalil, ia menengarai bahwa Imam Abu Ahmad Ghunjar hidup pada akhir abad pertama, satu zaman dengan Imam Abdullah bin Kaisan.
Menurut Imam Syamsuddin ad-Dzahabi (wafat 748 H), dalam inteklualitas keilmuan ulama yang satu ini terdapat teladan yang harus dijadikan referensi oleh siapa saja, khususnya bagi yang merasa telat belajar disebabkan umur sudah tua. Teladan itu mencakup rihlah (perjalanan) dan ma’rifah (pengetahuan) yang ada dalam diri Imam Abu Ahmad Ghunjar.
Dalam catatan sejarah, Imam Abu Ahmad Ghunjar bisa dikatakan lahir dari keluarga yang ekonominya tercukupi. Sehingga perjalanan intelektualitasnya tidak terlalu memiliki beban sebagaimana ulama lain yang pas-pasan.
Namun, ujian mencari ilmu tidak selalu tentang materi, keadaan yang kurang bersemangat juga ujian terberat saat belajar, termasuk Imam Abu Ahmad Ghunjar. Sejak kecil, ia tidak terlalu memiliki semangat dan keinginan yang tinggi untuk belajar.
Lahir dari keluarga yang serba cukup, tidak lantas membuat jam belajar dan sekolahnya berjalan mulus tanpa ada rintangan sedikit pun. Justru, di tengah-tengah materi yang banyak dan serba berkecukupan itu, semangat dan keinginan dalam diri Ahmad Ghunjar tidak tumbuh sedikit pun.
Abu Ahmad Ghunjar kecil tumbuh sebagai sosok yang lebih senang bermain dan berteman dengan anak yang sebaya dengannya, hidupnya hanya tentang itu-itu saja. Dan benar saja, inilah salah satu penyebab kurangnya minat belajar dalam dirinya.
Demikian rihlah di masa pertumbuhan Imam Abu Ahmad Ghunjar. Sejak kecil, minat keilmuan kurang terpupuk dalam dirinya, dan ini terus menerus hingga memasuki usianya yang sudah tua. Usia yang tidak lagi untuk belajar, tapi sudah saatnya untuk mengajar.
Di usianya yang sudah tua, ia baru merasakan bahwa hidup tanpa ilmu tak memiliki pegangan, pedoman, dan rujukan. Hidupnya hanya abu-abu dan tidak tahu bagaimana maksud hidup, dan untuk apa ia hidup.
Di saat itulah ia sadar, bahwa tujuan hidup di dunia untuk menyiapkan bekal-bekal yang kelak akan dibawa menuju akhirat, yaitu alam keabadian. Dan, di antara bekal itu adalah dengan memiliki ilmu pengetahuan yang luas, tidak cukup dengan sebatas materi saja, sementara dalam dirinya, tidak ada sedikit pun ilmu yang ia kuasai.
Menyadari hal itu, Abu Ahmad Ghunjar mulai mencari guru yang akan dijadikan teman untuk memberikan arahan dan bimbingan menuju manusia berilmu, yang bisa paham maksud hidup dan bisa tahu bekal yang akan ia bawa kelak menuju akhirat.
Di antara guru-gurunya yang selalu ia datangi untuk menimba ilmu darinya adalah, (1) Imam Isa bin Ubaid al-Kindi; (2) Waraqa’ bin Amr; (3) Abu Hamzah as-Sakri; (4) Buhair bin Nudhar; (5) Muhammad bin Salam al-Kindi; (6) Muhammad bin Umayyah as-Sawi; (7) Muhammad bin al-Fadl; dan masih banyak guru-gurunya yang lain.
Di bawah bimbingan guru-gurunya itu, Abu Ahmad Ghunjar tumbuh menjadi orang berilmu di usianya yang sudah tua, ilmunya sangat luas, khususnya dalam ilmu hadits, sebagaimana penuturan Imam ad-Dzahabi,
هُوَ إِمَامُ عَصْرِهِ، طَلَبَ الْحَدِيْثَ عَلَى كِبَرِ السِّنِّ، وَرَحِلَ، وَهُوَ فِي نَفْسِهِ صُدُوْقٌ
Artinya, “Dia (Abu Ahmad Ghunjar) merupakan Imam pada masanya, menuntut ilmu hadits di usia tua, pergi (untuk mencari guru), dan dalam diri dia terdapat kejujuran.” (Imam ad-Dzahabi, Siyaru A’lami an-Nubala, [Muassasah ar-Risalah, cetakan ketiga: 1405 H], juz VIII, halaman 487).
Upaya dan usaha Imam Abu Ahmad Ghunjar pada akhirnya bisa mengantarkan dirinya sebagai ahli hadits, sebagaimana gelar yang disematkan padanya, al-Muhaddits. Hal ini selaras dengan sebuah kata yang sering disampaikan oleh bijak bestari, bahwa usaha tidak akan menghianati hasil, siapa yang berusaha, maka dia akan berhasil.
Tidak sebatas ahli hadits, lebih dari itu semua riwayat yang disampaikan olehnya dinilai memiliki otoritas tinggi, oleh karenanya hadits-hadits yang jalur rawinya dari Imam Abu Ahmad Ghunjar tidak diragukan lagi, hal ini tidak lain karena ia tergolong perawi hadits yang tsiqqah (dipercaya) dan dabt (kuat hafalan).
Di antara hadits masyhur yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ahmad Ghunjar adalah hadits tentang larang menyebut buah anggur (al-‘inab) dengan al-karm, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ لِلْعِنَبِ الْكَرْمَ. فَإِنَّ الْكَرْمَ قَلْبُ ابْنِ آدَمَ
Artinya, “Janganlah sekali-kali kalian semua berkata (menyebut) anggur dengan (sebutan) al-Karm, karena sungguh al-karm itu adalah hati anak Adam.” (ad-Dzahabi, Siyaru A’lami an-Nubala, 8/488).
Larangan pada hadits di atas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab monumentalnya, yang berjudul Syarhu as-Suyuthi ala Muslim, dikarenakan kata al-Karm lebih sering diberi arti khamr yang terbuat dari anggur.
Oleh karenanya, Rasulullah melarang umat Islam untuk menyebur anggur dengan menggunakan bahasa Arab al-Karm, agar tidak ada anggapan dan tidak ada keinginan untuk meminum khamr yang haram hukumnya.