(Peradaban Pengetahuan Haji dan Kisah-kisahnya; Bag. 3)
Intensitas
hubungan muslim Nusantara dengan Timur Tengah kaitannya dengan poros kesucian
dunia spiritualnya yakni Haramain belum benar-benar bisa ditentutakan sejak
kapan oleh para pakar sejarah. Meski demikian, kisah Luvidico di Verthema
(Luwis Barthema) berkebangsaan Italia yang berada di Jeddah sekitar 910 H/1504
M membuat laporan-laporan tentang lalu lintas keluar masuk ke Arab melalui
pelabuhan Jeddah memiliki titik terang. Antara lain ia mengisahkan juga tentang
jamaah haji yang datang ke Mekah saat ia berada di sana pada tahun itu juga.
Menurutnya jamaah haji banyak datang dari greater
India (India mayor/ Anak benua India) dan dari lesser India (India minor, Insular India, kepulauan Nusantara).
Sementara inilah laporan paling awal yang bisa dijadikan tolak amatan para
pengkaji sejarah.
Namun
kelak di abad ke-16 mulai nampak semakin banyak muslim Nusantara mengunjungi
Haramain ketika hubungan politik dan perdagangan antara Nusantara dan Timur
Tengah memperoleh momentum (Azyumardi Azra: 1994). Stabilitas politik kawasan
Timur Tengah terutama Haramain saat di bawah kekuasaan dinasti Utsmaniyah, di
bawah daulat Sultan Sulaiman Al-Qonuni, melahirkan kondisi sosiologis yang
memungkinkan bertambah banyaknya umat Islam dari berbagai penjuru datang ke
Haramaian—terutama muslim Nusantara, apalagi di musim-musim haji. Orang-orang
muslim nusantara datang ke Haramain untuk memenuhi kewajiban haji, tapi ada
yang datang secara khusus untuk menimba ilmu agama.
Rupanya
banyak motivasi orang muslim Nusantara datang ke tanah Arab, antara lain untuk
menimba pengetahuan, untuk mengabdikan diri melayani tempat-tampat suci, dan
tentu saja untuk menunaikan kewajiban ibadah haji. Malah sebagian ada yang
datang untuk berdagang. Entah motivasi mana dulu yang mendahului seseorang
datang ke haramain. Tetapi itulah yang terjadi, fenomena yang mejadi data
temuan Azyumardi Azra dalam penulisan sejarah Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Nusantara abad XVII dan XVIII.
Mereka
yang datang ke Haramain ini layaknya seorang duta utusan yang datang dari
pelosok negeri yang tak terkenal, membawa kebudayaan dan tradisinya ke
lingkungan yang lebih luas dan global yang memungkinkan terjadinya
persinggungan budaya. Apalagi mereka yang memiliki tujuan berdagang dan menimba
ilmu agama—akan ada transmisi budaya dan tradisi sekaligus pengetahuan dari
masing-masing kancah (locus) yang
timbal balik.
Pola
hubungan imbal-balik ini akan tampak pada periode-periode abad ke -17, misalnya
saat Aceh dan penguasa Hijaz saling berkirim duta-duta utusannya; atau pada
saat kesultanan Banten mengirim duta utusannya untuk menerima gelar legitimasi
kedaulatan dari poros kesucian dalam dunia Islam itu.
Hal
yang menarik sebenarnya untuk diamati ialah pola hubungan yang terjadi antara
Aceh dan Hijaz (Mekah-Madinah). Setelah itu, lama kemudian, pada masa kekuasaan
kolonial Hindia Belanda menyengkram Nusantara, Aceh pernah menjadi embarkasi
pemeberangkatan jamaah haji yang dinilai “aman” dan tentu alasan yang menarik
hati ialah karena negeri Islami.
https://www.arrahmah.co.id/2021/06/ulang-alik-muslim-nusantara-bertandang.html