Bicara mengenai identitas nasional, sangat terkait erat dengan pembentukan watak dan karakteristik suatu bangsa yang banyak dipengaruhi oleh akulturasi budaya lokal, hingga kompleksitas budaya antarnasional. Maka, terbentuklah identitas nasion yang tak pernah homogen, dan telah disinyalir dalam Alquran bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, bersama unit loyalitas yang muncul di kemudian hari. Bahkan, istilah nasionalisme saja baru muncul sekitar tahun 1790 Masehi lalu, bersamaan dengan wilayah teritorial antar negara, termasuk bahasa sebagai entitas yang terbangun.
Selain itu, muncul masalah baru yang terasa riskan dipersoalkan, misalnya soal feminisme, bahkan historiografi feminis. Tidak jarang, hal tersebut menimbulkan jarak dan kerenggangan antara hubungan lelaki dan perempuan, karena persoalan gender di tiap-tiap negara juga berbeda-beda, hingga terasa sulit untuk dipecahkan bersama. Tapi bagaimanapun, setiap negara dan bangsa adalah bagian dari universalitas peradaban yang berkembang. Dalam hal ini, negeri yang mendaku “adikuasa” sekalipun, akan teruji oleh waktu sehingga tak kebal dari kemungkinan menghadapi resesi seksual secara masif.
Dalam novel Perasaan Orang Banten (POB), yang kurang diterima publik Banten pada tahun-tahun pertama kemunculannya (2012). Namun akhirnya, Rumah Dunia di bawah pimpinan Gol A Gong mengundang penulisnya dalam acara bedah buku yang dihadiri kalangan seniman, mahasiswa, pelajar, ormas dan tokoh-tokoh masyarakat Banten. Tapi kemudian, banyak kalangan di luar Banten semakin membuka mata-hatinya, perihal apa-apa yang dibicarakan dalan novel tersebut.
Sebagaimana diulas dalam artikel “Bicara Banten Bicara Indonesia” (www.kawaca.com) disampaikan secara implisit bahwa problem utama kekisruhan dan konflik yang merebak di ranah Banten, telah dipicu oleh persoalan daging (the flesh) yang menuntut hak-hak atas pemenuhannya. Dengan sendirinya, novel POB jauh-jauh hari telah menyinggung perihal resesi seksual (sex recession) yang pernah melanda Amerika Serikat, Jepang, Cina, hingga Korea Selatan. Di sini, saya akan menelusuri novel yang pernah disinggung dalam cerpen Kompas, “Rujuk” (4 Desember 2021), khususnya perihal tema utama yang dibicarakannya, yakni perihal kaum perempuan.
Bicara soal perempuan, seakan bicara tentang lautan lepas yang tanpa batas. Salah satu sosok makhluk Tuhan yang unik ini, banyak menjadi pembicaraan oleh ribuan dan jutaan karya sastra di seluruh dunia, dari zaman ke zaman. Dalam novel POB secara implisit disinggung soal peranan perempuan yang lebih dikuasai nafsu dan perasaan. Ia adalah sosok yang berdiam diri di rumah, namun sekaligus menyimpan daya magis duniawi dan surgawi yang tak terbantahkan.
Seorang sastrawan kenamaan, Jalaluddin Rumi, menggambarkan sosok wanita sebagai makhluk yang dikuasai oleh perasaan-perasaan dan hawa nafsu ketimbang penguasaan akal dan rasio. “Laki-laki dan perempuan adalah akal dan nafsu, keduanya merupakan pengejawantahan kebaikan dan kejahatan,” demikian tegas Rumi, “kedua makhluk ini bagaikan dua sisi mata uang, siang dan malam, dan selalu berada dalam suasana perang dan permusuhan.”
Secara eksplisit, Rumi menandaskan bahwa perempuan identik dengan jalan menuju warna dan wewangian, namun berhati-hatilah, karena dia juga memiliki potensi untuk memerintahkan kejahatan mewujud ke dalam jasad manusia. Di sinilah garis-besar tokoh-tokoh penting dalam POB yang didominasi karakteristik kaum perempuan. Sebut saja, Bi Siti dan Bi Marfuah yang menjadi “biang gosip” karena hasrat biologinya yang tak terpenuhi. Jamilah dan Poppy Ratnasari juga tak terlepas dari kecenderungan dan hasrat duniawi yang membahayakan. Belum lagi, Salmah atau Nyi Hindun yang belasan tahun menjanda, namun akhirnya menikah dengan “berondong”, memilih seorang anggota TNI yang lebih muda darinya. Namun di sisi lain, novel POB juga mengisyaratkan sosok perempuan yang memiliki peran positif sebagai pemantau dan pemangku kebijakan. Ia merefleksikan keindahan, kelembutan hati dan kasih sayang.
Yang lebih tendensius lagi, novel POB secara lugas menggambarkan figur laki-laki yang merefleksikan aktivitas akal yang bersifat universal (qahriah), dilengkapi dengan peran perempuan yang mengejawantahkan keindahan jiwa dan kedamaian bersama Tuhan (lutfiah).
Novel tersebut, melalui tokoh Yosef, menjelaskan betapa perempuan memiliki daya tarik yang sangat kuat (Jamilah), seakan-akan mampu menaklukkan laki-laki sebagai budaknya, karena keterpikatan olehnya. Jamilah bukan semata-mata pacar atau kekasih, tetapi mengejawantahkan pancaran Tuhan yang menyimpan segala sifat-sifat-Nya, baik keindahan maupun kasih sayang. Seakan-akan ia mewujud di hadapan laki-laki tanpa diciptakan, tetapi dia sendirilah Sang Pencipta itu.
Melalui pancaran sinar mata Jamilah, novel POB seakan mengisyaratkan sosok wanita bukanlah makhluk biasa, tetapi ia adalah menifestasi Tuhan yang maha sempurna. Hal ini bukan berarti sosok wanita adalah wujud yang harus dikultuskan atau dituhankan, tetapi ia adalah sosok yang sangat pas dengan sifat jamaliyah yang dimiliki oleh Sang Pencipta.
Tak urung, seorang santri saleh penjaga masjid (Tohir), ketika ia kehilangan kembang desa yang dicintainya, serta-merta menjadi nanar dan beringas. Sehingga, orang-orang pun bertanya-tanya, mengapa Tohir sang marbot, mengalami baku hantam dengan orang-orang Batak, justru setelah melaksanakan salat Jumat dan mendengar wejangan pengkhotbah perihal ketakwaan?
Boleh saja ada yang berpendapat bahwa perkara itu adalah soal perbedaan dalam pandangan agama, sikap primordial atau rasialis. Padahal, faktor utamanya ialah soal perempuan. Apalagi, ketika Jamilah bersedia menjadi kekasih Yosef, yang lagi-lagi urusannya adalah perkara cinta (tuntutan daging) yang tak terlampiaskan.
Dalam buku “In the Name of Identity”, sastrawan Lebanon berkebangsaan Prancis, Amin Maalou, menyatakan bahwa penyerangan terhadap identitas seseorang – untuk menjatuhkannya – bisa dilakukan atas dasar agama, ras, kelompok gender, partai maupun negara. Sang rival akan senantiasa mengintip untuk mencari-cari kesalahan sekecil apapun, hingga ketika merasa pada momentum yang tepat, ia berusaha untuk segera menjatuhkannya.
Penyerangan itu senantiasa berhasil jika menyangkut suatu kesalahan fatal yang dilakukan sang rival, termasuk KDRT. Tak peduli apakah kesalahan itu dilakukan sekarang ataukah di masa lalu, yang kemudian terbuka footprints atau rekam jejaknya. Terkait dengan ini, orang-orang bijak menyatakan bahwa manusia itu bersifat lemah dan sarat kekhilafan. “Seandainya pun ia menjadi besar dan sukses, hal itu semata-mata Tuhan masih menutupi segala kelemahan dan kekurangan yang ada pada dirinya.”
Jadi, identitas manusia ibarat tanggul sungai yang keropos dan siap ambrol pada waktunya. Kalau ada tangan-tangan jahil yang mengusiknya, ia pun akan mudah ambruk dan berantakan secepat mungkin. Tetapi, identitas si tangan-tangan jahil itu pun akan ambrol juga pada waktunya kelak. Hanya soal waktu saja. Sebentar lagi ataukah nanti. Tergantung dari seberapa kuat kemauan manusia untuk merehab tanggul dan memperkokohnya.
Tetapi di sisi lain, tenaga manusia tak punya kewenangan mutlak untuk sanggup menahan kekuatan alam, sehebat apapun, seperkasa apapun.
Benteng yang kokoh tak mungkin tembus oleh serangan peluru-peluru bedil maupun meriam, tetapi anak-anak panah akan bisa menembusnya manakala ia dalam keadaan rusak dan keropos. Masalahnya, kekuatan rival untuk menjatuhkan identitas manusia, senantiasa mengintip setiap saat kapan si lawan dalam kondisi alpa dan lengah.
Penyerangan dengan menjatuhkan lawan itu kadang dilakukan di luar nalar dan akal sehat manusia, dengan cara apapun dan di manapun. Bagi mereka, sudah jelas pengelompokannya, hitam dan putihnya, baik dan buruknya. Hal ini mengingatkan kita pada narasi-narasi yang disuguhkan novel Pikiran Orang Indonesia (baca: hal 36):
…pengertian saya tentang semua itu hanyalah produk belaka dari bagaimana cara-cara mereka memandangnya. Maka sampailah pada suatu kesimpulan bahwa sejarah Indonesia identik dengan Peristiwa 1965, dan kejadian-kejadian apapun sebelum itu, sebesar apapun, seakan-akan tidak layak untuk dinamai sebagai “sejarah”. Dengan itulah pengalaman hidup saya makin berkembang, bahkan mengajarkan tentang siapa yang pantas saya musuhi dalam hidup ini. Dan seperti yang pernah saya kemukakan bahwa dalam berhubungan dengan manusia tak terlepas dari unsur bahasa, maka dibutuhkan konsep-konsep dan bentuk-bentuk pikiran, atau kategori-kategori yang tetap. Apa boleh buat, saya berpikir dalam struktur dan pola-pola bahasa saya, yang merupakan satu-kesatuan tak terpisahkan dengan corak bahasa yang terbentuk dalam tata peradaban masyarakat kita. Mau tidak mau dibutuhkan adanya bahasa yang tetap untuk menunjukkan siapakah lawan-lawan kita, dan siapakah kawan-kawan kita.
Aneka macam konflik yang sedang dipertarungkan di era medsos ini, kadang tak disadari para pelakunya bahwa dalam kenyataannya, setiap tindakan buruk dan kesewenangan tak ada yang terbebas dari supremasi hukum yang absolut. Mereka bisa saja mengatur siasat secanggih-mungkin, membayar mahal pengacara, menyuap jaksa dan hakim. Tetapi, itu semua hanyalah supremasi hukum dunia yang fana dan kasatmata belaka.
Sastrawati Ayu Utami pernah menulis dalam novelnya, “Bilangan Fu” (2008), dan dalam salah satu bab menyinggung soal pangkal sejarah adanya mitos yang menabukan pernikahan suku Jawa dan Sunda. Diceritakan bahwa kerajaan Majapahit yang berasal dari Jawa terlibat konflik dengan kerajaan Pajajaran yang berasal dari tanah Sunda. Konflik tersebut diawali oleh keinginan Hayam Wuruk untuk menikahi Putri Dyah Pitaloka dari Pajajaran. Konon katanya, Hayam Wuruk merasa terhipnotis oleh pesona kecantikan wanita Sunda di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seniman kerajaan bernama Sungging Prabangkara.
Setelah itu, Hayam Wuruk pergi mendatangi sang puteri Pajajaran, dan berniat untuk menikahinya, usai mendapatkan restu dari kerajaan Majapahit. Dibumbui dengan intrik politik seolah-olah ingin mengikat persekutuan dengan kerajaan Pajajaran. Singkat cerita, Hayam Wuruk yang tadinya telah mengirim surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana, diterima dengan baik dan kemudian sang raja Pajajaran berangkat dengan rombongan ke Majapahit, tepatnya di Pesanggrahan Bubat, untuk melangsungkan pernikahan.
Dari peristiwa tersebut, muncullah mitos di kemudian hari, seolah-olah orang Sunda tidak boleh menikah dengan orang Jawa. Jadi pada prinsipnya, mitos ini diawali dari Perang Bubat di abad ke-14 itu, yang menyebabkan tewasnya rombongan Raja Sunda yang mengantar Puteri Dyah Pitaloka untuk menikah dengan raja Hayam Wuruk.
Tetapi, Ayu Utami lebih mengacu pada aspek historiografis. Beda dengan novel Perasaan Orang Banten (2012) yang bersetting di kampung Jombang, kota Cilegon, satu-satunya wilayah Banten yang didominasi oleh etnik Jawa sejak zaman pendudukan Sultan Hasanuddin (Cirebon). Melalui penokohan artis dangdut berdarah Sunda, Poppy Ratnasari, yang kemudian dinarasikan sebagai perempuan binal dan urakan setelah putus dengan pacarnya. “Kalau toh laki-laki (Jawa) berani memperlakukan perempuan sesuka hatinya, saya juga sanggup memperlakukan semua laki-laki di dunia ini sekehendak hati saya,” cetusnya kemudian. Ia memilih gonta-ganti pacar baru, hidup di tengah pergaulan malam yang glamor hingga terjerat narkoba. Kehidupannya itu sangat mencerminkan wanita Sunda dalam tantangan kesusastraan global dan universal saat ini.
Mungkin saja pengarangnya tak merasa perlu mempersoalkan Dyah Pitaloka dalam konteks abad ke-14, namun telah mengejawantah dalam karakteristik wanita Sunda dalam konteks keindonesiaan. Tak beda jauh dengan karakteristik gadis liberal (diperankan Park So-Dam), bersama dengan impian-impiannya dalam film Asia pertama peraih Oscar “Parasite” (2020).
Namun ironisnya, ketika Presiden Soekarno mengangkat derajat kaum wanita Indonesia melalui sosok “Sarinah” yang merupakan pengejawantahan figur Kartini yang cerdas dan berpendidikan, justru pada pasca 1965 telah dibekukan kembali oleh isu-isu politik Orde Baru yang menyusupkan hoaks-hoaks mengenai kaum wanita Gerwani yang dinistakan oleh kekuasaan totaliter. Dan Soeharto maupun Orde Baru tak pernah menyatakan “maaf” atas perlakuan diskriminatifnya terhadap perempuan Indonesia hingga akhir hayatnya.
Di situ nampak dominasi kaum lelaki di bawah bayang-bayang kerajaan Majapahit hingga militerisme Orde Baru di tanah Jawa (Nusantara). Bagaimanapun, setiap bangsa, dari zaman ke zaman, tak terlepas dari karakteristik pembedaan antara dominasi sini atas sana, kami dan mereka, bangsaku dan bangsa lain (liyan). Mereka berpolemik, bersengketa, bahkan “bertempur” untuk memperebutkan kue keuntungan yang lebih besar dan masif dari sarana-sarana produksi. Antara Jawa dan Sunda, Indonesia atau Amerika, bahkan perempuan atas lelaki yang terus berjuang untuk menghapus eksploitasi dan diskriminasi. Juga dalam soal ras dan warna kulit, antara kulit putih yang memaksakan supremasi atas kulit hitam, kemudian si kulit hitam berjuang untuk pembebasan dirinya.
Lalu, bagaimana pula jika seluruh kaum wanita di Indonesia – dan dunia ini – bergerak bersama-sama untuk memboikot kaum lelaki, hingga mereka sepakat untuk menolak pelayanan dirinya atas kaum lelaki (sebagaimana Poppy dalam POB).
Identitas kemanusiaan dengan ragam konflik-konfliknya, seringkali dipanggungkan secara intrinsik dan konfrontatif oleh peran kaum sastrawan, yang memang ahlinya dalam meneliti perasaan dan pemikiran umat manusia. Terlepas dari adanya pengakuan pemerintah atau tidak, bahkan tanpa mendapat apresiasi pembaca pun sastrawan yang baik akan terus meluncur bersama gagasan-gagasan brilliannya (baca cerpen: “Pemenang Anonim” di www.kabarmadura.id).
Bagi pekerja seni yang baik, ketika hidupnya sudah difokuskan untuk mencapai sasaran dan tujuan yang kuat, maka kerja keras bukanlah suatu pilihan melainkan sudah menjadi kebutuhan primer. Dan dengan kesabaran dan ketekunan, pada waktunya nanti, kerja keras dan jerih-payah itu akan terbayar juga. Tak ada rahasia dalam meraih kesuksesan dan keberhasilan. Semua itu hasil dari persiapan, kerja keras, dan belajar dari kejatuhan dan kegagalan. Juga tak ada sastrawan dan seniman hebat yang tiba-tiba menjadi sukses, karena segala kesuksesan itu diraih dari kejatuhan, kemudian bangkit dan bangkit kembali dengan kekuatan baru.
Berkat kecerdasan dan genuinitas sastrawan pula, nuansa kehidupan dapat ditelaah, serta dipahami dari sudut pandang hitam dan putih, benar dan salah atau yang keliru. Karakteristik yang tekun berjuang mengedukasi masyarakat ini, seakan dipelihara melalui afirmasi ingatan, memori kolektif dan penguatan kisah-kisah. Bahkan, secara masif dicatat oleh sejarah maupun sastra yang terus berupaya untuk mementingkan dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan yang universal (sense of common humanity). Tapi seringkali, lantaran sifat manusia yang lemah dan khilaf tadi, tanpa mereka sadari telah mempropagandakan legitimasi wacana yang efektif, guna menyusupkan pandangan negatif ke dalam otak masyarakat bangsa.
Oleh karena itu, almarhum sastrawan dan budayawan Yogyakarta, Y.B. Mangunwijaya pernah berwasiat kepada penulis asal Cilegon, Banten, Hafis Azhari ketika ia menjenguk di kediamannya setelah pulih dari pengobatan transplantasi jantung. “Berhati-hatilah,” demikian tegas Romo Mangun, “karena karya-karya yang pernah kita tulis, lalu dibaca oleh banyak orang, cepat atau lambat akan menjelma bagaikan makhluk hidup, seperti halnya Frankenstein, Dracula atau Liliput, yang kelak akan menuntut pertanggungjawaban dari para penciptanya.” (*)
Pilihan Redaksi
https://alif.id/read/eor/wanita-dalam-sastra-indonesia-b245819p/