Laduni.ID, Jakarta – Di dalam Kitab Syarah Hikam Ibnu Athaillah terdapat keterangan yang mencengangkan. Aforisme yang terkandung di dalam Kitab Hikam memang tidak pernah habis membuat kagum dan takjub tapi juga menampar kesalahpahaman para peniti jalan Ilahi.
Ibnu Athaillah As-Sakandari mengatakan dalam hikmah ke-20:
مَا أَرَادَتْ هِمَّةُ سَالِكٍ أَنْ تَقِفَ عِنْدَمَا كُشِفَ لَهَا، إِلَّا وَنَادَتْهُ هَوَاتِفُ الْحَقِيْقَةِ: الَّذِىْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ. وَلَا تَبَرَّجَتْ لَهُ ظَوَاهِرُ الْمُكَوَّنَاتِ، إِلَّا وَنَادَتْهُ حَقَائِقُهَا: اِنَّمَا نَحْنَ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
“Tujuan utama pejalan Akhirat bukan menginginkan tersingkap cahaya-cahaya. Jika itu terjadi, maka suara-suara kebenaran akan menyeru ‘yang kamu cari (bukan itu) tapi ada di depanmu; dan tidaklah rahasia-rahasia alam akan tampak baginya, kecuali suara-suara kebenaran akan berteriak ‘kami adalah fitnah, maka janganlah kamu kufur’.”
Dari keterangan itu bisa dijabarkan dengan lebih sederhana bahwa ketika kita sedang dalam perjalanan riyadhah, atau melatih diri meniti jalan Tuhan, maka kita tidak boleh berhenti meski mendapatkan sesuatu yang disebut oleh banyak orang sebagai karomah, kasyaf, atau hal-hal lain yang di luar kebiasaan. Karena hakikatnya itu semua adalah cobaan dalam perjalanan menuju atau “wushul” kepada Allah SWT. Tidak boleh terbuai oleh hal-hal yang sebenarnya bukan tujuan itu.
Mengenai hal ini, ada cerita menarik dari KH.Rofi’i Baidlowi Pengasuh PP Al-Hamidi Banyuanyar, Madura. Beliau berkisah tentang Ny. Halimah, istri Kiyai Abdul Hamid bin Itsbat, Banyuanyar.
Suatu ketika, Bu Nyai Halimah mendapati beras yang hendak dicucinya tiba-tiba berubah menjadi emas. Sebelumnya, Nyai Halimah telah sepakat mendampingi suaminya, Kiyai Abdul Hamid, dalam melakukan riyadhah bersama, selama kurang lebih 15 tahun. Di antara riyadhah tersebut adalah melakukan puasa untuk dirinya, santri, dan keturunannya. Namun, ketika di tengah riyadhah ternyata mendapati beras yang hendak dicuci menjadi emas, justru Nyai Halimah berkata, “Ya Allah, bukan ini yang saya cari. Tolong jadikan ia kembali menjadi beras.”
Kisah teladan dari Bu Nyai Halimah ini beriringan dengan nasihat dari Imam Ibnu Athaillah di atas. Beliau tidak terbuai atau tergoda dengan hal-hal yang tak wajar, yang bisa membuat orang merasa hebat, karena tersingkapkan rahasia, padahal bukanlah itu tujuan utama. Tidak lain adalah hanya menuju Allah SWT.
Kisah-kisah di luar kebiasaan seperti itu ternyata juga banyak dicontohkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ar-Rindi untuk menjabarkan syarah Hikam Ibnu Athoillah, sebagaimana ditulis di dalam kitabnya, Ghaitsul Mawahib Al-Aliyah fi Syarhil Hikam Al-Athaiyyah.
Dari sini kita bisa mengambil satu pelajaran yang sangat penting. Bahwa perjalanan menuju Tuhan masihlah panjang, jangan terbuai dengan hal-hal yang ditemukan di tepian jalan lantas berhenti. Sebab bukan itu tujuannya, melainkan adalah Allah SWT. Kita memang harus bersyukur atas anugerah-Nya dalam berbagai hal, tapi ketika mendapatkan suatu nikmat yang besar, yang terkadang di luar nalar, maka perlu waspada dalam menyikapinya. Jangan-jangan jika kita terbuai oleh hal itu bisa terjebak pada syahwat diri kita sendiri dan secara tidak sadar menganggapnya itu adalah bentuk syukur. Sebab, bedanya tipis antara mensyukuri nikmat dan merayakan syahwat!
Wallahu ‘Alam bis Showab. []
Editor: Hakim