Dunia wayang sejak awal penciptaannya memang padat dengan makna, sebab didalam wayang, kita disuguhkan dengan berbagai karakter pewayangan yang pada dasarnya berkaitan erat dengan rupa watak manusia. Purwadi dalam bukunya Seni Pedhalangan: Wayang Purwa menyebutkan ada dewa, brahmana, ksatria, raksasa, hingga punakawan yang kesemuanya itu mempunyai pandangan filsafatnya masing-masing, lalu saling berkelindan membentuk suatu karakterisasi yang kompleks, dan meliputi dimensi spiritual hingga intelektual.
Kemudian dalam alur cerita yang ada, kita ditampilkan dua kelompok besar yang saling berperang, baik itu pada Ramayana maupun Mahabarata. Sehingga dengan limpahan cerita yang ada, kita diajak untuk memahami serta mentafsirkan rangkaian makna kehidupan yang tergelar dalam wayang.
Selanjutnya, diantara contoh dari pola karakter yang hidup dalam wayang adalah Karna. Dan seperti kita ketahui, Karna merupakan saudara tua para Pandawa, yang karena terdesak kondisi akhirnya berdiri di pihak Kurawa yang sangat memusuhi Pandawa. Sosok Karna sendiri, menurut Ki Narto Sabdo adalah tokoh yang setia kepada negara serta raja, yang telah memberinya kedudukan serta kemuliaan, dan Karna mengabdi pada Prabu Duryudana.
Kemudian dalam lakon Bimasuci, diriwayatkan bahwa Karna tidak sependapat dengan perspektif Prabu Duryudana dan menentang secara sengit, sebab Prabu Duryudana menganggap status Bima sebagai pendeta di Argakelasa, berbahaya serta mengancam eksistensi Kurawa. Padahal bagi Karna, Bima adalah pribadi yang baik dan banyak membantu membina kejiwaan umat manusia.
Maka dari riwayat tersebut, bisa kita ketahui bahwa Karna walaupun bergabung dalam barisan Kurawa serta mengabdi pada Prabu Duryudana, ia tetap bisa untuk bersikap kritis dan objektif terkait sikap sang penguasa yang baginya itu tak benar. Kemudian dari sosok Karna, makna hidup yang bisa kita ambil yaitu sikap teguh pada kebenaran walau lingkungan sosial tidak mendukung untuk terwujudnya hal tersebut.
Lalu berkaitan dengan pembentukan wayang, baik secara teologis maupun arkeologis, pada dasarnya bisa ditelusuri sejak masa Kesultanan Demak. Dimana pada masa tersebut, Islam makin dikenal luas oleh masyarakat, dan keberadaan wayang mengalami penyesuaian dengan ajaran teologis Islam yang melarang adanya penyerupaan wujud manusia, sehingga wayang dalam manifestasinya tak lagi mirip dengan bentuk manusia.
Dan secara arkeologis, peran para wali di masa lalu juga turut memberikan sumbangsih atas komponen maupun bentuk wayang, diantara wali tersebut ada Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga. Sehingga wayang yang kita lihat hari ini, merupakan hasil proses panjang dari pra Majapahit hingga pasca Majapahit.
Suluk, Wayang , dan Wali Jawa
Suluk secara umum, menurut Paramitha Dewi Indraningtyas dalam jurnalnya Karakteristik Bahasa Suluk dan Janturan dalam Pagelaran Wayang Purwa Jawa Timuran Lakon Resa Saputra oleh Ki Dalang Bambang Sugia, dijelaskan bahwa suluk berisi tembang-tembang (syair jawa) yang dilantunkan oleh para dalang saat tengah menjalankan cerita pewayangan, dan urgensi dari suluk adalah untuk membangun suasana dramatik sesuai adegan dalam pewayangan.
Kemudian dalam tafsiran yang lebih luas, menurut Gus Irfan Afifi dalam bukunya Saya, Jawa, dan Islam, suluk juga diartikan sebagai sebuah perjalanan dan kata suluk merupakan kata kunci penting dalam dunia tasawuf, serta berhubungan dengan simpul sangkan paraning dumadi, dari Gusti Allah lalu kembali pada Gusti Allah. Selanjutnya, kita perlu ingat pula bahwa perjalanan hidup manusia, layaknya cerita yang dipentaskan dalam pewayangan, dan meliputi dimensi jasmani hingga rohani. Sehingga berdasarkan pada pemaparan tersebut, bisa kita pahami bahwa suluk mempunyai relasi erat dengan dunia pewayangan, dan bisa disebut sebagai bagian dari sufisme Jawa.
KH Agus Sunyoto menerangkan dalam bukunya Atlas Walisongo, bahwa Sunan Bonang yang dikenal sebagai dalang, turut membabar ajaran-ajaran rohani yang bisa disebut sebagai suluk, melalui pergelaran wayang. Dan sebagai guru tasawuf, Sunan Bonang menulis sebuah kitab yang oleh B.J.O Schrieke disebut dengan judul Het Boek van Bonang atau Primbon Bonang, dan isi dari kitab tersebut menurut Drewes menerangkan tentang ajaran-ajaran mendasar mengenai ilmu suluk (langgar.co).
Pada tokoh yang lain yaitu Sunan Kalijaga, juga terkenal sebagai dalang yang memaparkan tuntutan rohaniah atau suluk saat memainkan wayang lakon Dewa Ruci. Sehingga dari penjelasan yang ada, bisa kita mengerti bahwa keterhubungan suluk, wayang, dan para Wali Jawa adalah fakta penting yang fundamental, dan meliputi dimensi teologis, arkeologis, maupun antropologis Islam Jawa. Selain itu, konsep kesatuan suluk dan wayang bisa menjadi pembelajaran tasawuf bagi generasi muda hari ini, yang harapannya bisa menjadi insan-insan yang mampu melakukan tata kelola rohaniah, sehingga menjadi manusia yang tercerahkan.
Bambang Ekalaya: Riwayat dan Tafsirnya
Berdasarkan pada cerita R.A Kosasih dalam bukunya Palgunadi, diriwayatkan bahwa ada seorang ksatria bernama Bambang Ekalaya yang sedang ingin mendalami kemiliteran dalam bab ilmu memanah, dan level tertinggi dari ilmu memanah tersebut yaitu Aji Danuweda. Kemudian satu-satunya orang yang menguasai serta bisa mengajarkan Aji Danuweda adalah Resi Dorna, dan saat Bambang Ekalaya datang menghadap Resi Dorna dengan niat untuk belajar ilmu memanah darinya. Maka Resi Dorna menolak, karena Resi Dorna hanya mau mengajarkannya pada putra-putra Hastinapura.
Melihat kenyataan tersebut, Bambang Ekalaya tidak menyerah dan ia tetap ingin belajar ilmu memanah. Sehingga strategi belajar yang diterapkan oleh Bambang Ekalaya yaitu membuat patung Resi Dorna, lalu ditempatkan secara terhomat ditempat ia berlatih memanah. Dan pada akhirnya Bambang Ekalaya berhasil menguasai Aji Danuweda. Kemudian kabar kesaktian Bambang Ekalaya tersebut, mengagetkan Arjuna sekaligus Resi Dorna. Sebab Resi Dorna tidak pernah mengajarkan Aji Danuweda selain kepada para ksatria Hastinapura. Lalu di saat itu pula Resi Dorna baru mengetahui bagaimana strategi belajar memanah dari Bambang Ekalaya yaitu dengan membuat patung berwujud dirinya.
Lantas saat melihat fakta tersebut, Resi Dorna bersiasat buruk dan meminta Bambang Ekalaya untuk memotong kedua jempolnya, jika ingin diakui sebagai muridnya. Dan tanpa pikir panjang, Bambang Ekalaya mengikuti perintah sang guru, lalu mempersembahkan kedua jempolnya pada Resi Dorna, yang dengan kondisi tersebut Bambang Ekalaya dianggap tak akan bisa memanah lagi.
Namun kenyataannya berbeda, sebab dalam suatu pertarungan memanah, Bambang Ekalaya berhasil membunuh Arjuna, dan akhirnya datanglah Sri Kresna yang berhasil menghidupkan kembali Arjuna, serta membantu membalaskan dendam Arjuna untuk membunuh Bambang Ekalaya. Maka berangkat dari cerita yang ada tentang Bambang Ekalaya, tafsir normatifnya ialah menjadi sukses itu perlu proses dan seringkali tidak mudah sebab harus bersaing dengan mereka yang punya privilage kekuasaan.
Kemudian tafsir historisnya yaitu Pandawa tidak selalu berwatak baik, bahkan Arjuna sekalipun. Dan posisi Sri Krisna bisa juga bermasalah sebab selalu mengutamakan Pandawa. Hal ini tampak pula pada cerita Mahabarata yang disampaikan oleh R.A Kosasih dalam bukunya Pandawa Seda. Sehingga dari Bambang Ekalaya serta tafsirnya bisa kita ambil pelajaran mendasar bahwa pencapaian segala sesuatu butuh proses serta ikhtiar yang istiqomah, dan ini menjadi pesan penting bagi generasi muda hari ini dalam memperjuangkan mimpinya.
Pilihan Redaksi
https://alif.id/read/wtr/wayang-dan-suluk-belajar-tasawuf-dan-tafsir-bambang-ekalaya-b242378p/