Pada setiap peringatan Sumpah Pemuda, pemerintah memberi dan mengedarkan tema. Konon, tema itu lekas dicetak dalam spanduk dan poster. Tema juga diucapkan saat pembina upacara berpidato. Tema itu bertebaran di media sosial. Di iklan-iklan komersial, tema kadang ikut memberi keramaian imajinasi sejarah dan konsumsi.
Kita kadang kebingungan dengan dampak tema setiap tahun. Pilihan kata untuk tema pun gampang klise dan politis. Kita bukan pembuat tema tapi enggan menjadi kolektor tema jika susah digerakkan menghasilkan dampak-dampak.
Pada 2018, Yudhi Herwibowo tampil di arus sastra Indonesia dengan novel mengenai WR Soepratman (1903-1938) berjudul Sang Penggesek Biola. Kini, ia mengajukan buku kecil, bukan ketagihan atau mengikut tema-tema biasa dibuat pemerintah. Buku kecil berisi satu esai cukup panjang. Ia mungkin pelit tapi esai itu bukti terikat sejarah dan ikhtiar melakukan pemaknaan tiada henti.
Buku kecil cuma 24 halaman berjudul Lagu-Lagu Ciptaan WR Supratman. Esai terbaca oleh kita sedang merasakan suasana peringatan Sumpah Pemuda. Peringatan mulai jarang memberi kejutan atau ketakjuban. Kita tetap memperingati berharap ada kesan-kesan berbeda dari tahun-tahun silam.
Ingat Sumpah Pemuda, ingat lagu Indonesia Raya. Kita pun mengingat penggubah lagu sering teringat dengan tampilan necis, mengenakan peci, kacamata, dan biola. Ia bernama WR Supratman. Nama tercatat di sejarah Indonesia, sering terucap dan tertulis. Ingatan-ingatan memusat 1928 dan 1945. Dua peristiwa sejarah (ter)penting dengan Indonesia Raya.
“Seakan kisah lagu itu memang sudah ditakdirkan untuk senasib dengan kisah penciptanya: ada untuk mencoba bertahan hidup,” tulis Yudhi Herwibowo. Tanggapan atas nasib penggubah dan lagu dalam babak-babak sejarah. Lagu itu sejak mula sudah dianggap “bermasalah” oleh pemerintah kolonial. Kaum muda, Soekarno, kaum seniman, dan para penggerak politik terus berusaha memuliakan lagu itu sampai ditetapkan sebagai lagu kebangsaan. Ikhtiar menghadapi sulit-sulit. Nasib tragis pun menimpa WR Supratman. Ia tak sempat menjadi saksi saat Indonesia Raya menggenapi pembacaan teks proklamasi, 17 Agustus 1945. Ia pamit duluan sebelum lagu itu sah memuliakan Indonesia.
Di Prisma edisi Mei 1983, kita membaca penjelasan St Sularto: “Sebagai wartawan kurang menonjol, tapi sebagai komponis dialah komponis Indonesia pertama yang menciptakan lagu-lagu pujian untuk perjuangan (ode). Di samping Indonesia Raya, ciptaannya yang lain meliputi Dari Barat Sampai ke Timur, Bendera Kita, Ibu Kita Kartini, Indonesia Hai Ibuku, Bangunlah Hai Kawan, Mars KBI, Mars Parindra, Soeryo Wirawan, dan Matahari Terbit.”
St Sularto memastikan biografi WR Supratman sebagai komponis dan wartawan. Dulu, ia bekerja di Sin Po. Penjelasan itu belum lengkap. WR Supratman juga pengarang novel. Pada saat menulis esai panjang mengenai WR Supratman, Sularto mungkin terlewat atau tak menemukan sumber-sumber pustaka mengenai penulisan dan penerbitan novel berjudul Perawan Desa. Di kesusastraan, WR Supratman memang tak menonjol, jarang mendapat perhatian sesama pengarang dan kritikus sastra.
Indonesia Raya, lagu paling mendapat perhatian. Lagu itu menggerakkan kemauan memuliakan Indonesia. Keterangan disajikan Sularto dari pelbagai sumber: “Semula, Pemerintah Hindia Belanda mendiamkan saja. Tapi lama-lama khawatir semangat lagu Indonesia Raya bisa menyulut api kemerdekaan. Maka pada tahun 1930 lagu itu dilarang dinyanyikan dalam kesempatan apa pun dengan alasan mengganggu keamanan dan ketertiban. Supratman, penciptanya, tak luput dari interogasi.” Kita membuka ingatan sejarah ditentukan lagu.
Kita mundur dulu dengan membaca penjelasan Yudhi Herwibowo: “Di tahun 1926, sebelum Kongres Pemuda I, WR Supratman menciptakan lagu pertamanya, Dari Barat Sampai ke Timur. Lagu gamblang mengisahkan Indonesia. Di situ, ada gagasan ruang dan ikatan dari keberagaman di Indonesia.
Yudhi Herwibowo menafsirkan lagu itu menguatkan kesadaran Indonesia, mendahului pesan-pesan dalam Indonesia Raya. “Sayangnya, sekarang, lagu Dari Barat Sampai ke Timur pelan-pelan mulai dilupakan,” tulis Yudhi. Orang-orang terbiasa dengan lagu Dari Sabang Sampai Merauke dengan nama penggubah: R Soerarjo.
Pada 1928, lagu digubah WR Supratman tak cuma Indonesia Raya. Ia pun mempersembahkan lagu berjudul Indonesia, Hai Ibuku. Si penggubah makin mengisahkan Indonesia. Lagu menjadi pemicu kesadaran memuliakan Indonesia. Lagu menggerakkan perlawanan dan pembebasan. Lagu di arus politik-kultural di Indonesia. Di lacak informasi, Yudhi Herwibowo turut menduga lagu itu dipicu pilihan kata dalam pidato-pidato Soekarno. Dulu, Soekarno mengatakan Nusantara sebagai “Ibu Pertiwi”. WR Supratman turut mencantumkan Indonesia sebagai “ibu”.
Yudhi Herwibowo dengan buku kecil tak bermaksud bersaing dengan buku berjudul Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1982) susunan B Soelarto. Buku untuk dibaca kaum remaja. Buku ingin menghadirkan sejarah tapi sekian hal meragukan. Kita ikuti penjelasan Soelarto berlatar 1926: “Hal itu menggerakkan hatinya untuk mencipta sebuah lagu yang dapat diterima oleh bangsanya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. WR Supratman yang pekerjaan sehari-harinya adalah seorang wartawan, sebenarnya juga seorang seniman musik. Ia sangat mahir bermain biola dan pandai mencipta lagu-lagu. Sebagai seorang seniman musik yang berpengetahuan luas, ia juga tahu bahwa setiap bangsa yang merdeka tentu mempunyai lagu kebangsaan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan Kongres Pemuda I telah mengilhami dirinya untuk menciptakan lagu kebangsaan.”
WR Supratman tangguh dalam gubahan lagu-lagu tapi ia “ringkih”. Tubuh itu sering sakit. Sekian hal mengakibatkan sakit: tekanan pemerintah kolonial dan tata cara hidup. Ia tetap terus memuliakan Indonesia dengan nada dan kata. Sejarah milik WR Supratman tapi pendek. Pada masa 1930-an, ia mungkin sudah mengerti bakal selesai. Ia memberi persembahan-persembahan lagu untuk kepanduan dan partai. Ia turut dalam arus pemuliaan Indonesia saat kondisi tubuh perlahan lemah.
Situasi itu mendapat perhatian Soetomo. Dulu, Soetomo menjadi penggerak Boedi Oetomo. Pada masa berbeda, ia membesarkan Parindra. Soetomo mengagumi WR Supratman. Penggubah lagu itu mengagumi tokoh penggerak Indonesia sejak awal abad XX. Mereka pun bersahabat. Bukti ikatan erat mereka berupa lagu berjudul Mars Parindra gubahan WR Supratman. Di situ, ada ajakan: “Bekerja untuk Indonesia”. Kita mengerti “kerja” atau “bekerja” itu diksi politik sejak masa lalu, tak cuma bermakna dalam lakon rezim mutakhir.
Di buku tipis, Yudhi Herwibowo melulu mengurusi lagu-lagu berkaitan dengan pelbagai peristiwa bersejarah di Indonesia. Lagu sebagai seruan. Lagu berperan sebagai dokumentasi. Lagu pun alat “politis” dalam pemuliaan Indonesia. Persembahan tipis itu “menebalkan” penghormatan kita kepada sang komponis. Kita bertambah “tebal” kemauan memajukan Indonesia dalam senandung bergairah dan merdu. Begitu.
Judul : Lagu-Lagu Ciptaan WR Supratman
Penulis : Yudhi Herwibowo
Penerbit : Buku Katta
Cetak : 2022
Tebal : 24 halaman
ISBN : 978 623 7245 84 1
https://alif.id/read/bandung-mawardi/wr-supratman-lagu-dan-waktu-b245929p/