Menyambung tulisan sebelumnya, bagi saya yang menarik dari redaksi bacaan iftitah dalam shalat bukan apakah “inni wajjahtu wajhiya” atau “wajjahtu wajhiya” tanpa inni. Yang menarik adalah kaitannya dengan ilmu kalam.
Ketika shalat, kita dicontohkan mengucap kalimat tersebut yang artinya “Aku menghadapkan wajahku pada Dzat yang menciptakan langit dan bumi”. Sudah jelas kan bahwa saat shalat kita tidak menghadap ke langit atau ke Arasy tetapi ke depan agak menunduk ke bawah? Mereka yang ngotot berkata bahwa ada ribuan dalil bahwa Allah di arah atas (secara fisik) kompak pura-pura lupa akan hal ini sehingga nyaris tidak pernah dibahas.
Tentu saja maknanya bukan Dzat Allah berada di depan atau di bawah orang shalat, seperti halnya mengangkat tangan ke atas bukan bermakna bahwa Dzat Allah berada di atas.
Tetapi harus dipahami bahwa semua gerakan ibadah seorang hamba adalah simbol dari posisi bertuhan. Ketika meminta pada Allah, maka posisinya menengadahkan tangan ke atas seperti posisi mengemis sebagai simbol bahwa dia butuh pada Allah yang lebih tinggi derajatnya dari dirinya. Ketika shalat maka posisinya adalah menghadap ke Kiblat sambil menundukkan wajah sebagai simbol dia sedang datang menghadap Tuhannya dengan cara melakukan perintah shalat. Semuanya simbolis.
Demikian juga seluruh ayat dan hadis yang sepintas artinya berbicara soal letak posisi Tuhan, semuanya juga simbolis.Ketika yang ditekankan adalah posisi ketinggian derajat Allah di atas segala makhluk, maka diungkapkan dengan redaksi “Allah di atas semuanya.”
Ketika yang ditekankan adalah penguasaan Allah terhadap semua bawahannya dan bahwa Allah mengatur seluruh aspek kehidupan, maka diungkapkan dengan redaksi “Allah di atas Arasy.
Ketika yang ditekankan adalah pengawasan, perlindungan dan kepedulian Allah atas makhluk, maka diungkapkan bahwa Allah dekat dengan semuanya dan bersama mereka di mana pun mereka berada.
Ketika yang ditekankan adalah kekhusyu’an beribadah, maka diungkapkan dengan redaksi bahwa “Allah ada di depan wajah mereka.”
Semuanya hanyalah ungkapan simbolis, bukan sebagai pembahasan lokasi fisikal Allah. Siapa yang memahami akidah ini maka dia beruntung.
Siapa yang hanya fokus pada satu jenis ungkapan saja, misal ungkapan-ungkapan bahwa Allah di atas saja, mengumpulkan semua ungkapan itu dari al-Qur’an, hadis dan kutipan ulama sambil melupakan ungkapan dalam konteks lainnya sehingga terkesan bahwa yang dibahas adalah soal lokasi fisik Allah berada di tempat atau arah tertentu, maka dia sedang jauh dari hidayah dan menyelisihi uslub al-Qur’an dan hadis.
Bagi mereka yang keras kepala ngotot suka bertanya di mana lokasi Allah, maka berdasarkan hadis bacaan iftitah ini bisa di jawab bahwa Allah di depan orang shalat. Apalagi dalam hadis lain riwayat Imam Muslim tegas Nabi Muhammad menyatakan “Allah di depan orang shalat”.
Kalau dia keheranan dan berkata bahwa jawaban ini bertentangan dengan dalil bahwa Allah di atas, maka jawab saja bahwa pertentangan itu muncul sebab kamu salah memahami dalil-dalil itu dalam konteks lokasi fisik, bukan secara simbolis. Kalau dia memaksa untuk mentakwil ungkapan di depan orang shalat sebagai ilmu dan pengawasan Allah, maka katakan saja padanya bahwa semua orang berakal tahu bahwa ilmu dan pengawasan Allah bukan hanya di depan orang shalat, tapi juga di belakangnya, di sampingnya dan juga di bawah dan atasnya. Dengan demikian harapannya dia akan sadar bahwa dia dan guru-gurunya telah salah paham menyangka bahwa itu semua soal lokasi Tuhan, padahal bukan.
Semoga bermanfaat.