Zakat untuk Korban Kekerasan Seksual (1): Narasi Perempuan Bukan Objek Seksual Semata

Di malam yang semakin larut, di sebuah perkumpulan orang-orang penting yang membahas hajat orang banyak, permasalahan silih berganti dirundingkan, satu sama lain saling menyampaikan maksud. Tak ada yang mengganjal di setiap jeda, hanya sedikit bumbu canda untuk mengisi tawa. Hingga seseorang yang terbiasa berkata-kata secara tidak langsung menarasikan perempuan sebagai objek seksual bagi laki-laki. Betapa jika orang itu adalah perempuan maka ia juga tengah merendahkan sesama perempuan.

Keterlibatan perempuan untuk turut membantu dalam suatu kegiatan dicandakan atas rekomendasi karena cantik, muda, bisa dipandang seenaknya oleh laki-laki. Fenomena yang sama ketika kita menjumpai seorang dosen yang memberi nilai bagus dan respon baik kepada mahasiswi yang cantik tanpa ada alasan lain. Ataupun seorang bos yang menerima lamaran kerja dari seorang perempuan yang hanya memandang fisik, cantik, dan enak dipandang tanpa melihat dari kemampuan, kualitas dan kinerjanya.

Adapun hal itu tidak dikatakan secara mutlak dan merupakan sesuatu yang buruk atau tidak baik, namun tetap saja hal ini adalah bentuk memarginalisasikan perempuan. Perempuan akan merasa dirinya kurang baik dalam segi fisik sehingga kurang percaya diri dan tidak akan tumbuh dan berkembang. Meskipun kini kaum perempuan sudah memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri yaitu mulai menikmati pendidikan, mendapatkan informasi yang sama, bahkan terus tumbuh dan berkembang menunjukkan citra perempuan di ranah publik.

Baca juga:  Mensiasati Keterbatasan: Strategi Perupa Perempuan Pesantren

Namun, masih ada tantangan di depan yang menarasikan perempuan sebagai objek seksual bahkan tak jarang kita jumpai kasus-kasus nyata dari tindakan yang menganggap perempuan sebagai objek seksual semata. Terlebih yang paling membahayakan adalah ketika perempuan itu sendiri yang menarasikan bahwa perempuan adalah objek seksual semata, entah ini hal yang sebenarnya disadari atau tidak, dibercandakan atau diseriusi.

Pada akhirnya perbuatan dari perkataan itu justru akan sangat membahayakan dirinya sendiri maupun bagi sesama perempuan. Jika cara pandang ini menjadi keliru, maka serendah apapun mata ditundukan, pakaian apapun yang digunakan oleh lawan jenis maka akan ditangkap oleh otak sebagai objek seksual semata. Hal ini juga yang menjadikan perempuan masih menjadi korban pelecehan seksual meskipun sudah menutup rapat seluruh tubuhnya. Pada dasarnya korban pelecehan seksual bisa saja dialami laki-laki maupun perempuan namun kerap kali perempuan yang lebih sering mengalami pelecehan seksual.

Hal ini dikarenakan sistem tata nilai yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinasi dan marginalisasi yang harus dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan berhak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan asasi di segala bidang.

Baca juga:  Perempuan Galak itu Karakter atau Korban Patriarki Sih?

Sejatinya baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki kesadaran yang sama bahwa perempuan bukanlah objek seksual. Puncak dari relasi antara laki-laki dan perempuan adalah saling menghargai. Kita juga harus memahami sepenuhnya bahwa kita sama-sama makhluk Allah SWT yang diciptakan agar bisa bermanfaat bagi sesama manusia. Dengan itulah, laki-laki maupun perempuan diminta untuk ghadhul bashar (mengontrol cara pandang) dan hifdzul farji (menjaga kelamin).

Seorang ahli semiotika Al-Qur’an yaitu Dr. Amrah Kasim, mengatakan bahwa kata bashar tidaklah bermakna mata fisik seperti kata ‘ainun, melainkan kondisi mental atau cara pandang atau prespektif dalam memandang sesuatu. Cara pandang inilah yang harus benar-benar disadari bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, berperan di ranah publik, mencitrakan diri sebagai perempuan yang berdedikasi dan bermanfaat.

Sehingga nantinya cara pandang terhadap perempuan yang unggul adalah berdasarkan nilai intelektual, kemandirian, kebermanfaatan, budi pekerti yang baik, bukan semata-mata karena cantik dan keindahan fisik tanpa melihat dari sudut pandang yang lain. Relasi yang dibangun baik laki-laki maupun perempuan sama-sama harus memandang lawan jenis sebagai manusia secara intelektual dan spiritual.

Maka dari itu mari kita sama-sama memahami dan menyadari sepenuhnya bahwa perempuan bukanlah objek seksual semata. Lebih dari itu perempuan adalah makhluk yang mulia, istimewa, karena itu kita semua berharga.

Baca juga:  Fatima, Saintis Muslimah dari Madrid

https://alif.id/read/fin/zakat-untuk-korban-kekerasan-seksual-1-narasi-perempuan-bukan-objek-seksual-semata-b244691p/