Zeitgeist Gus Dur dan Progresifitas Kaum Santri

 Realitas sosial keindonesiaan kita dikenal plural dan bahkan multikultural. Terdapat beragam etnis, suku, bahasa, kepercayaan dan agama di bumi Nusantara ini. Ragam elemen bangsa secara bersama-bersama turut memberi warna dan berkontribusi bagi kemajuan Indonesia.

Salah satu elemen bangsa yang turut berkontribusi dan memberi andil penting bagi perkembangan kemajuan bangsa adalah kaum santri. Peran penting kaum santri ini ditunjukkan tidak hanya di era sebelum kemerdekaan tetapi juga pada masa setelah kemerdekaan.

Secara kategoris peran kaum santri dapat dibagi dalam dua ranah penting yakni pertama, ranah perjuangan fisik dan kedua, ranah gagasan dan ide pemikiran. Di ranah perjuangan fisik, momen penting yang patut dicermati adalah fatwa “Resolusi Jihad” yang diserukan oleh K.H. Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Sementara itu, di ranah gagasan dan ide pemikiran, peran kaum santri pun hampir tidak pernah absen. Dalam hal ini, salah satu peristiwa pentingnya adalah peran serta kaum santri dalam ikut merumuskan dasar negara Pancasila yang sempat mengalami review dan revisi oleh para pendiri bangsa (founding fathers) ini. K.H. Wahid Hasyim sebagai tokoh nasional dan tentu saja seorang santri turut ambil bagian dalam momen penting itu.

Kedua peristiwa yang bersejarah tersebut merupakan bukti nyata dan peran penting kaum santri dalam ikut memperjuangkan dan menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kontribusi kaum santri seakan tak pernah lekang oleh sang waktu yang terus berjalan menuju progresifitas zaman dan kemajuan sains yang tak terbendung.

Di sinilah pentingnya upaya memaknai peran santri seiring berubahnya zaman. Seorang santri harus peka dan mampu mengaktualisasikan pesan-pesan hermeneutis setiap zaman yang terus berubah. Dengan kata lain, seorang santri harus mampu menangkap dan memaknai spirit atau ruh zamannya. Seperti yang ditekankan oleh K.H. Maimun Zubair, “yanbaghi li al-‘aqil an yakuna hafizan lilisanihi ‘arifan bi zamanihi muqbilan ‘ala sya’nihi”. Maksudnya adalah bahwasanya seorang yang berakal—dalam konteks seorang santri—hendaklah menjadi pribadi yang menjaga lisannya, mengetahui perkembangan zamannya dan menunaikan tugas-tugasnya.

Istilah “santri” seringkali diidentikkan dengan hal-hal yang berbau kolot, terbelakang, tradisional, dan ketinggalan zaman. Klaim-klaim seperti itu merupakan gambaran di masa lalu. Tapi seiring dengan gebrakan yang diinisiasi oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada era 1980-an, klaim-klaim seperti di atas lama kelamaan luntur ditelan zaman. Kita masih ingat bagaimana Gus Dur membuat perubahan dan dinamisasi peran pesantren dan santri dalam konteks keindonesiaan, dan bahkan kemanusiaan dalam lingkup global.

Potret seorang Gus Dur dapat dibaca sebagai potret seorang santri yang menguasai dua kitab sekaligus, kitab kuning (al-kutub al-shafra’) dan kitab putih   (al-kutub al-abyadl). Kitab kuning (al-kutub al-shafra’) adalah kitab-kitab pelajaran yang diajarkan di pesantren yang merupakan peninggalan para ulama di era klasik yang terikat dengan zamannya. Menurut Gus Dur, dalam bukunya Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan (2001), karena terikat dengan zamannya, maka warisan bersejarah itu harus ditelaah, ditafsir, dan dimaknai sesuai dengan kondisi kekinian kita. Dalam konteks ini, seorang santri dituntut untuk mampu menyelami pesan dibalik teks (beyond the text) yang dirumuskan oleh para ulama di masa lalu. Dengan kata lain, seorang santri tidak boleh terlalu “terpesona” dengan teks, tetapi harus berani melangkah lebih jauh dan bergelut dengan metodologi yang digunakan oleh para ulama tersebut. Pada posisi ini, seorang santri telah melangkah menuju pemaknaan baru dan upaya reaktualisasi ajaran Islam sesuai dengan kondisi kekinian.

Seperti dilansir Wikipedia, Zeitgeist berasal dari bahasa Jerman. Zeit yang berarti waktu atau zaman dan Geist yang berarti jiwa merupakan pemikiran dominan pada suatu masa yang menggambarkan dan mempengaruhi sebuah budaya dalam masa itu sendiri. Semangat perubahan (tajdid) yang diusung oleh Gus Dur dirasakan oleh masyarakat Indonesia, dunia dan kaum santri sendiri dalam upaya membangun peradaban yang humanis, inklusif dan berkeadaban.

Semangat pembaruan dan reaktualisasi ajaran Islam yang diusung Gus Dur rupanya sejalur dengan pernyataan Ibnu Rusyd—seorang filsuf, ushuli, dan fuqaha abad 12 M dari Andalusia—tentang perlunya upaya kontekstualisasi teks-teks keislaman di setiap zaman.  Ibnu Rusyd, bernama lengkap Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd yang di Eropa dikenal sebagai Averroes dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid menyatakan bahwa  “al-nushus qad intahat wa al-waqa’i’ la tantahi”. Menurutnya, teks-teks/nash-nash keislaman sangatlah terbatas, sementara realitas sosial kemanusiaan terus berjalan dan berkembang. Dari sinilah, menurutnya diperlukan upaya kontekstualisasi yang kontinu atas teks-teks keislaman tersebut. Singkatnya, teks-teks itu terbatas (mutanahiyah), sementara konteks (realitas sosio-historis kemanusiaan) tak terbatas (ghair mutanahiyah).

Pertanyaannya adalah bagaimana sesuatu yang terbatas bisa menyelesaikan sesuatu yang tak terbatas? Di sinilah peran sentral seorang santri dipertaruhkan untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan yang tidak pernah ada habisnya.

Sementara itu, kitab putih (al-kutub al-abyadl) merupakan kitab atau buku-buku yang terlahir dari rahim modernitas yang sangat kaya dengan metodologi dan epistemologi empiris-santifik. Dengan kata lain, modernitas menawarkan model penalaran yang rasional-empiris dan terkait langsung dengan realitas sosial kemasyarakatan. Dalam konteks keindonesiaan, seorang santri akan lebih peka dengan persoalan-persoalan kebangsaan yang menumpuk dan membutuhkan penyelesaian melalui lontaran ide dan gagasan mereka.

Penguasaan seorang santri akan dua tradisi tersebut—tradisi klasik dan modern—akan mampu memberikan terobosan dan tawaran-tawaran solutif terhadap problem kebangsaan yang sangat menggunung saat ini. Di dunia pesantren, gambaran ideal santri ini, menurut K.H. Said Aqil Siradj dalam bukunya Tasawuf sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi, Bukan Aspirasi (2007) sesuai dengan adagium “al-muhafazah ‘ala al-qadim al-salih wa al-akhzu bi al-jadid al-ashlah”. Menjaga tradisi keilmuan Islam (masa lalu) dan mengambil tradisi keilmuan Barat (masa kini) sehingga mampu menghasilkan produk keilmuan yang relevan dengan kondisi kekinian.

Dengan demikian, dalam posisi ini, menurut Ahmad Baso dalam bukunya NU Studies Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal (2006) seorang santri akan mampu memosisikan dirinya sebagai “subyek” yang bisa menulis makna dan hakikat “santri” tanpa harus terbebani dengan definisi-definisi yang disematkan oleh para orientalis atau pemikir lainnya. Dan bukan sebaliknya, menjadi “objek” yang bisa dimaknai semaunya atau sesuai selera sang penulis.

Oleh karena itu, spirit pembaruan yang diusung Gus Dur pada abad ke-20 (1980-an) dan semangat “memaknai zaman” Ibnu Rusyd abad ke-12 menjadi titik pijak bagi santri untuk berani berkarya membangun bangsa dan negara. Dengan berani memaknai zamannya, berarti seorang santri telah melangkah ke arah yang lebih mulia menuju terlahirnya “mujadid-mujadid” baru di setiap seratus tahun peradaban yang terus berjalan.

Dari sinilah semangat pencerahan Gus Dur dan Ibnu Rusyd seyogianya terus digelorakan untuk kemajuan bangsa dan negara. Melampaui itu semua, tentu dalam upaya membangun peradaban yang inklusif dan humanis saat dunia tengah dilanda “kegalauan kemanusiaan” yang mengglobal dan krisis multidimensi yang akut.

Katalog Buku Alif.ID

https://alif.id/read/mnfi/zeitgeist-gus-dur-dan-progresifitas-kaum-santri-b247904p/