Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi: Teladan Murid dalam Keteguhan Hati bersama Guru

Laduni.ID, Jakarta – Ketika Sayyid Zain dirundung kesedihan, atas musibah yang menimpanya, yaitu kematian anak laki-lakinya yang bernama ‘Salim’ sebuah nama yang menyimpan harapan berupa keselamatan pun harus ia relakan kepergiannya menghadap Dzat pemilik arwah.

Sayyid Zain merupakan seorang salih nan zuhud, yang diuji oleh Allah berupa; wafat dan kematian setiap anak laki-laki yang terlahir dari rahim istrinya.

Hingga Allah SWT menakdirkan anak laki-laki terakhirnya, Al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi untuk hidup dan menjadi orang yang berpengaruh bagi umat Islam, baik di kawasan Hadramaut sendiri maupun seantero jagat lainnya.

Melihat wajah temannya yang sedang murung dan sedih, seorang wali dan ahlu al-kasyf (mengetahui hal atau sesuatu sebelum terjadi) As-Syekh Abdul Qodir bin Muhammad Asy-Syarahil pun menenangkannya, seraya memberikan sebuah kabar gembira, dalam tuturnya,

لا تحزن ولا تجزع والحمل الذي في بطن الشريفة ذكر يكون له قدر وشأن عظيم وسيرث مقام جده الشيخ أحمد الحبشي

“Janganlah bersedih, serta jangan berkecil hati! Sungguh anak yang ada di kandungan istrimu ini akan menjadi sesosok orang yang memiliki peran yang besar serta tingkatan yang mulia kelak. Ia akan mewarisi keilmuan dan kewalian kakeknya; Habib Ahmad Al-Habsyi.”

Pada tahun 1069 H, di desa terpencil bernama ‘Al-Ghurfah’ salah satu desa di wilayah Hauthoh, Hadramaut terlahirlah Al-Habib Ahmad bin Zain Al-Habsyi. Salah satu sosok ulama yang mengumpulkan keilmuan dhahir (fiqh) maupun batin (tasawuf). Sang ulama ahli fiqh yang berhias dengan suluk dan akhlak mulia, jebolan madrasah lembah Hadramaut.

Beliau merupakan pengarang kitab Risalatul al-Jami’ah sebuah kitab ringkas yang mengumpulkan tiga fan keilmuan; Aqidah, Fiqh dan Tasawuf. Kitab yang tersebar hingga manfaatnya bisa dirasakan oleh santri-santri pesantren di Indonesia khususnya.

Sedari kecil, mulai terlihat perbedaan signifikan yang dirasakan oleh ayah dari Al-Habib Ahmad. Anak yang tumbuh dengan budi pekerti yang luhur. Sang ayah pun sangat menyanjung dan memuliakannya. Hingga di usia yang masih dikatakan belia, ayahnya membawa dia ke kota Tarim (pusat keilmuan dan kumpulan para ulama ahli salik di kawasan Hadramaut).

Ia pun diajak oleh ayahnya tuk berkunjung dan menziarahi para ulama di Tarim, hingga sang ayah pun membawanya menghadap Al-Habib Abdullah bin A’lawy al-Haddad (salah seorang ulama yang dikenal sifat wira’inya, serta guru para ulama Hadramaut).

Sebuah pertemuan yang menjadi gerbang bagi Al-Habib Ahmad, tuk menciduk lautan ilmu dari sang guru. Al-Habib Abdullah Al-Haddad. Al-Habib Abdullah pun mengusap kepalanya di hadapan ayahnya, dan mendoaknnya dengan keberkahan.

Semasa mencari ilmu, beliau dikenal sebagai seorang murid yang tak mengenal lelah. Hingga dikisahkan beliau rela menempuh jarak yang jauh, hanya demi hadir di salah satu majelis ilmu di kota Tarim.

Dalam kesaksiannya, Al-Habib Ahmad bercerita,

كنت أسير إلى تريم أمشي، وليس معي الا خادم ونحمل معنا تمراً لا غير ونأكل من ذلك التمر مدة إقامتي بتريم عشاء وغداء

“Suatu ketika aku pernah jalan kaki dari Hauthoh ke Tarim. Hanya berbekal satu buah kurma, aku dan pelayanku pun berangkat. Satu buah kurma yang aku bagi dengan pelayanku sebagai bekalku makan siang dan malam selama di Tarim.”

Ratusan ulama yang telah ia ciduk keilmuannya, namun tak bisa menolak sebuah fakta, bahwa hatinya telah terikat pada salah satu ulama yang telah mendoakannya semasa kecil, Al-Habib Abdullah bin A’lawy Al-Haddad. Ia pun memutuskan tuk mengaitkan hatinya kepada beliau, serta berkhidmah dan menjadi muridnya.

Ia pun dikenal sebagai murid kesayangan dari Al-Habib Abdullah. Keyakinan, husnudhon dan kemantapan hatinya kepada seorang guru, yang menjadikan perhatian gurunya tertuju kepadanya.

Sesuatu yang menjukkan kemantapan hatinya kepada seorang guru adalah perkataanya.

“Ketika guruku, Al-Habib Abdullah berjalan di suatu jalan setapak, aku pun berjalan pas di belakangnya. Hal itu semua aku lakukan dengan tujuan meluruskan posisi tubuhku dengan posisi hati dari guruku. Karena hati guruku yang telah dipenuhi cahaya perhatian Allah, maka aku berharap agar cahaya tersebut memantul ke dalam hatiku yang kotor ini. Sebuah hati bak wadah kosong yang ku letakkan di bawah wadah yang penuh air, dengan harapan tetesan air (perhatian Allah dalam hati gurunya) dari wadah tersebut. Begitulah maksud dan tujuan ku melakukan hal tersebut.”

Beliau dikenal pula sebagai seorang alim yang menguasai banyak keilmuan, baik ilmu dhohir maupun batin. Untuk membuktikan hal tersebut inilah salah satu kesaksiannya:

“Suatu malam aku bermimpi guruku, Al-Habib Abdullah bin A’lawy al-Haddad, berkata kepadaku, ‘Aku berharap kau mampu melebihi Al-Imam Asy-Syafi’i dalam bidang keilmuan fiqh.’”

Kemudian, ketika beliau menyelesaikan karangan kitab; Risalah Jami’ah, beliau ditanya perihal berapa banyak ilmu yang beliau tuang dalam kitab tersebut, lantas beliau pun menjawab,

إن في الصدر ما هو أكثر منها وأكثر

“Sungguh (ilmu yang tersimpan dalam dada) masih lebih banyak dan tersisa banyak (dibanding apa yang telah tertulis).”

Selain dikenal sebagai ulama, beliau pula dikenal sebagai orang yang dermawan, gemar bersedekah. Tak tanggung-tanggung beliau sering memberikan donasi kepada masjid-masjid tua yang tak aktif hingga beliau makmurkan kembali. Atas hal tersebut gurunya pun menjulukinya,

أنت أبو المساجد

“Kau adalah ayahnya masjid-masjid (karena banyaknya masjid yang beliau bangun atau makmurkan kembali lewat donasinya).”

Beliau pun wafat pada tahun 1144 H, dalam usia 74 tahun, serta dimakamkan di daerah Hauthoh. Makamnya pun ramai diziarahi, serta menjadi tujuan murid tuk belajar di ribat dan pesantren peninggalan beliau.

Ratusan tahun berlalu setelah wafatnya beliau, namun manfaat dan keberkahan beliau masih dapat kita rasakan melalui karangan, dan nasihat-nasihat yang tertulis di dalam manaqibnya. Salah satu buktinya adalah kitab karangannya, Risalah Jami’ah. Tumpuan santri pemula sebelum mendalami lautan ilmu Fiqh.

Wallahu A’lam bis Showab.

Sumber; Qurrat Al-A’yn wa Jila’ Ar-Rayn fi Manaqibi Al-Ahmad bin Zain, karya; Al-Habib Muhammad bin Zain bin Sumaith (murid dari pemilik biografi).

Oleh: Sibt Umar


Editor: Daniel Simatupang

https://www.laduni.id/post/read/72882/al-habib-ahmad-bin-zain-al-habsyi-teladan-murid-dalam-keteguhan-hati-bersama-guru.html