Sedikit Obituari Nurel Javissyarqi dan Amanat Kesusastraan yang Diharapkannya

Mungkin gambar 1 orang dan tersenyum
Oleh Aguk Irawan MN, Budayawan, Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah Pajangan Yogyakarta

RumahBaca.id – Awal perjumpaan kami dengan sahabat Nurel Javissyarqi (Nur Laili) pada mulanya melalui buku antologi puisi yang diterbitkan oleh Kostela (Komunitas Sastra dan Teater Lamongan). Sekitar tahun 1999 dan 2000. Ketika terbit buku antologi puisi penyair Lamongan; Memecah Badai dan Negeri Pantai.

Saya dan Nurel dipertemukan, selain oleh kecintaan yang sama pada kesusastraan, juga oleh dunia pesantren, sesama sebagai alumni, serta oleh ikatan kedaerahan, yaitu Lamongan. Ketika itu saya masih kuliah di Mesir, sementara Nurel adalah salah satu aktifis sastra di Lamongan, mahasiswa di Jombang, plus merangkap sebagai seniman-pengembara.

Sekitar bulan Agustus 2000, ketika saya pulang ke tanah air (masa libur kuliah di Mesir), saya sempatkan ikut acara diskusi sastra di pinggir alun-alun Lamongan. Disitulah, seingat saya, saya berkenalan dengan penyair plus aktivis sastra-teater Lamongan. Dari banyak kenalan saat itu, saya terkesan dengan tiga nama; Penyair senior Herry Lamongan. Sahabat Alang Khaerudin dan tentu saja Nurel Javissyarqi.

Mungkin gambar 1 orang dan tersenyum
Alm. Nurel Javissyarqi (Sumber: fb Nurel)

Satu dari sekian kesan pertama bertemu, yang bisa saya ingat saat itu, Mas Herry dan Kang Nurel punya persamaan, yaitu ketika ketawa sangat keras dan terkekeh-kekeh. Keduanya menurutku adalah pria yang riang dan menyenangkan, meski berbeda generasi.

Persamaan lain saat itu, saya ingat keduanya menggunakan topi khas seniman walau di malam hari dan merokok dengan cerutu.
Masih sekitar tahun 2000, ketika saya hidup mengglandang di Yogyakarta. Berturut-turut secara tak sengaja saya ketemu sahabat Nurel.

Biasanya kalau tidak di Sanggar Eska IAIN Yogya, bertemu di kantor Majalah Sastra Pesantren (Fadilah) dan Pesantren KH. Hasyim Asy’ari keduanya asuhan dari Kiai Zaenal Arifin Toha. Belakangan sekitar tahun 2005 saya sering menjumpai di rumah sahabat Cerpenis Teguh Winarsho As. Ketika bertemu itu banyak tema yang kami bahas, selain tentu saling mengkritik karya kita satu sama lain.

Selanjutnya nama Nurel, dan nama pena lainnya, saya temukan dalam buku antologi bersama lainnya, seperti Rebana Kesunyian (Kostela 2002), Imajinasi Nama (Kostela 2003), Bulan Merayap (DKL 2004), Lanskap Telunjuk (DKL 2004), Mozaik Pinggir Jalan (antologi puisi SLTA, DKL 2005), Absurditas Rindu (Sastra Nesia 2006), Khianat Waktu (DKL 2006), Memori Biru (DKL 2007), Jalan Cahaya (sajak-sajak SMA, DKL 2007), Gemuruh Ruh (Antologi Sastra Lamongan, 2008) dan lain sebagainya.

Ada banyak kenangan yang sulit saya lupakan selama kenal dan menjadi sahabat. Pertama, bagi saya, dia termasuk orang yang sering mensuport saya untuk terus menulis. Apapun bentuk tulisan saya. Agak baik maupun amat buruk. Saat itu, ketika ada tulisan saya yang kebetulan dimuat media cetak, dia hampir bisa dipastikan orang pertama yang sms dan menelpon sambil merespon tulisan itu. Berkat itu, saya semakin semangat belajar.

Kedua, ketika bukunya dia terbit, hampir bisa dipastikan dia menemui saya dan memberi buku-bukunya itu secara langsung. Kendati sering saya kritik, dari soal teknis bahasa sampai soal genre, tak sedikitpun mengurangi persahabatan kami. Yang ada justru kami semakin akrab, tetapi yang membuat saya amat merasa berdosa sampai akhir hayatnya adalah buku-buku itu belum pernah ada satupun yang saya resensi di media. Bahkan ketika beberapa kali saya diminta untuk menjadi pemateri bedah bukunya. Saya belum sempat menuliskannya secara serius.

Di rak buku saya, berbaris buku-buku Nurel Javissyarqi: Sayap-sayap Sembrani (1999), Sarang Ruh (kumpulan sajak, 1999), Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga, The Life Pronoumcement of the Poet (dwibahasa Indonesia-Inggris, 2001), Balada-balada Takdir Terlalu Dini (2001), Kulya dalam Relung Filsafat: Bercermin pada Kalender Kearifan Leo Tolstoy (2004), dan Batas Pasir Nadi (2005); semuanya terbitan Pustaka Pujangga, Lamongan.

Buku-buku Nurel yang lain: Segenggam Debu di Langit (kumpulan esia dan puisi, 2004), Kumpulan Cahaya Ardhana (himpunan prosa dan esai, 2005), Trilogi Kesadaran (kumpulan esai, 2006), Kisah Para Malaikat (kumpulan puisi, 2007), dan Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (2011).

Khusus lahirnya buku terakhir yang menggugat Sutardji ini, saya ada sedikit cerita. Saat itu kumpulan esai saya terbit di Penerbit Jalasutra sekitar tahun 2010. Nurel yang saya minta bedah buku ini di Pesantren Al-Quran daerah Lamongan bersama Gus Syahrul Munir, justru tertarik membahas salah satu esai saya soal kritik terhadap sastra-mantra yang saya kaitkan dengan surat Assyuara. Katanya. “Esaimu yang banyak ini, yang mengesankan saya hanya soal sastra mantra. Ini tema penting dan harus ditulis lebih panjang, detail dan kritis.” Ucapnya saat itu.

Tapi cerita lain yang mengesankan justru menjelang acara bedah buku ini. Saat itu peserta seminar bedah buku, semuanya adalah santriwati, nah ketika saya sedang berjalan menuju podium, ternyata sarung belakang saya sobek. Kontan Nurel dengan sigap menutupi bagian belakang saya dengan jaketnya sambil berjalan dan menghentikan langkah saya. Inilah jasa Nurel yang besar bagi saya. Entah bagaimana ceritanya, jika ia tak sigap saat itu…

Kami pun sepakat, Penyair merupakan satu-satunya “profesi” yang diabadikan dalam Alquran, yakni QS Asy-syu’ara (Para Penyair). Hal ini, menurut Nurel menandakan bahwa profesi penyair itu istimewa dan mendapat tempat khusus dalam Islam. “Pemuliaan itu ada pada QS Asy-syuara ayat 227,” katanya.

Akan tetapi, menurut Nurel, pada QS Asy-syu’ara ayat 224-227 tersebut Allah juga mengeritik keras para penyair yang tidak jelas orientasinya, yaitu ghowun, mengikuti bisikan hawa nafsu, atau hanya bermain kata-kata. singkat cerita, mereka menjadikan kata hanya sebagai gincu merah dan diikuti orang-orang seperti itu. Jadi, dalam al-Quran, penyair “dikutuk” sekaligus “dimuliakan”, karena ayat tersebut diakhiri dengan pembelaan terhadap para penyair yang beriman (para penyair muslim).

“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan, kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali,” lanjut Nurel mengutip QS Asy-syu’ara ayat 227.

Berlatar belakang itulah Nurel kemudian dengan semangat menggebu mengkritik puisi-puisi model mantra ala Ibrahim Satta dan Sutardji Calzoum Bachri yang dianggapnya hanya bermain-main dengan kata-kata. Apalagi Tardji punya kredo yang ingin membebaskan kata dari keterjajahan makna. “Ini jihad akbar melawan kredo itu, ayo kawan, kita mulai. Pengikut Tardji makin banyak.” Ucapnya dengan berapi-api.

Kembali soal tema sastra mantra yang dirisaukan Nurel. Ajaib, hanya sekitar satu bulan dia menulis buku yang sangat tebal terkait kritik sastra mantra kepada Presiden Penyair Indonesia itu. Ia sangat berapi-api mengkrititiknya. Kemudian, tahun 2017 akhir ia menerbitkan sebuah buku setebal 500 halaman lebih, berjudul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia: Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra (Pustaka Pujangga dan Arti Bumi Intaran, Desember 2017).

Buku itu sebagian besar masih menggunjing seputar sastra mantra, dan katanya, itu baru bagian pertama. Artinya, masih ada bagian kedua yang sedang dipersiapkan dengan serius. Demikianlah sampai kabar duka pagi itu saya dapatkan, ia berpulang untuk selama-lamanya. Semoga karya-karyanya menjadi jariyah di kehidupan yang abadi. Amin.

Bantul, 6 Oktober 2021