Potret Tiga Serangkai dari Tegal (1): KH. Imam Sibaweh, Sang Maestro Tilawatil Qur’an dari Bumi Sebayu

Pada era kemerdekaan Republik Indonesia bangsa Indonesia mengenal istilah “tiga serangkai” yang dinisbatkan langsung kepada tiga tokoh central atau pemimpin kunci pertama bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, yaitu: Sukarno, Mohammad Hatta, dan juga Sutan Sjahrir.

Dalam lintasan sejarah Indonesia ketiga tokoh di atas telah “mewakafkan” segenap jiwa, raga, dan gagasan pikirannya untuk bangsa Indonesia serta mengabdi kepada ibu pertiwi. Proklamasi kemerdekaan yang diproklamirkan pada Jum’at, 17 Agustus 1945 atau bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H. merupakan puncak dari segala embrio gagasan, dan pemikiran dari ketiga tokoh revolusioner tersebut yang sepanjang hayatnya konsisten berjuang demi bangsa, dan negara.

Ketiga tokoh revolusioner tersebut kemudian baku kayuh menjalankan roda-roda pemerintahan bangsa Indonesia. Sukarno didaulat menjadi presiden Republik Indonesia berpasangan dengan Mohammad Hatta yang menjadi wakil presiden, sementara Sutan Sjahrir diangkat menjadi perdana menteri, dan merangkap sebagai menteri luar negeri serta menteri dalam negeri.

Setali tiga uang, begitupun juga dengan “tiga serangkai” dari Tegal, Jawa Tengah, yaitu: KH. Imam Sibaweh, KH. Zaeni Nadhif, dan juga Zaldi SA yang kiprahnya dalam maslahah lil ummah tidak perlu diragukan lagi peranannya. Seperti sudah menjadi paket komplit dalam “rukun pengajian”, “tiga serangkai” dari Tegal tersebut kerap kali kompak dalam mengisi berbagai macam pengajian di Tlatah Tegal, dan sekitarnya. Mulai dari pengajian dalam rangka peringatan Maulid Nabi Muhammad s.a.w, peringatan Isra Mi’raj hingga acara imtihan yang digelar di berbagai madrasah diniyah dan pondok pesantren di Tlatah Tegal.

Ketiga tokoh tersebut saling berbagi peran mengisi “rukun pengajian”, KH. Imam Sibaweh sebagai qari, KH. Zaeni Nadhif sebagai pembicara, dan Zaldi SA sebagai pembawa acaranya atau master of ceremony (MC) yang menahkodai jalannya acara pengajian dari awal hingga purna acara.

Baca juga:  Menyelami Percikan Dakwah Mbah Muntaha Kalibeber Wonosobo

KH. Imam Sibaweh sebagai salah satu dari tiga tokoh “tiga serangkai” asal Tegal tersebut merupakan sosok alim alamah yang dianugerahi suara yang merdu. Beliau dilahirkan di desa Pesawahan, kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah pada 23 Maret 1953. Dalam riwayat hidupnya sebagaimana dituturkan oleh putra bungsunya M. Saeful Amin, KH. Imam Sibaweh pernah ngangsu kaweruh kepada ustadz Abdul Hakim, Tegal, kiai Amin Benda Kerep, Cirebon, hingga kiai Fuad Hasyim Buntet, Cirebon.

Kepada Ustadz Abdul Hakim, Tegal, Sibaweh muda mulai belajar, dan mendalami ilmu qiraatil qur’an-nya untuk menopang suaranya yang merdu. Sementara sanad qur’an-nya beliau tersambung langsung lewat mahagurunya yaitu kiai Fuad Hasyim, Buntet, Cirebon.

Tahun 1971 menjadi momentum yang sangat membanggakan, dan takkan pernah terlupakan dalam sejarah hidup KH. Imam Sibaweh. Pasalnya di usianya yang baru genap 18 tahun, Sibaweh muda sudah mampu berbicara banyak di kancah nasional dengan menyabet juara satu dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tingkat Nasional tahun 1971 yang digelar di kota Medan Sumatera Utara.

Jalan Panjang Dakwah Qur’aniyah

Momentum juara MTQ nasional tersebut dijadikan batu pijakan oleh Sibaweh muda dengan melakukan dakwah qur’aniyah-nya dengan mengajar di berbagai majelis ta’lim yang beliau asuh yang tersebar di berbagai desa di Tegal hingga Brebes. Mulai dari desa Dukuhwaru, Kalisoka, Debong Tengah, Tegal Sari hingga desa Jatibarang yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes.

Baca juga:  122 Tahun Tebuireng dan Gus Dur (5): Membangun Relasi Antar Umat Beragama

Majelis ta’lim yang beliau asuh selalu dipenuhi oleh jamaah yang berniat ngangsu kaweruh ilmu agama Islam, utamanya babakan ilmu qiraatil qur’an. Maka tak heran jika jadwal mulang-nya kerap kali “molor” dari jadwal semula karena banyaknya jamaah yang hadir dari berbagai pelosok daerah.

Untuk mengasah bakat, dan teknik qiraatil qur’an para santrinya, KH. Imam Sibaweh kerap kali membuat event Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat lokal yang mana pesertanya merupakan delegasi dari berbagai majlis ta’lim yang beliau asuh.

Waktu pun terus berjalan, hampir setengah abad (1971-2016) beliau melakukan dakwah qur’aniyah-nya, dan lewat event-event MTQ antar majelis binaannya itu pula beliau berhasil menetaskan para qari/qariah pilih tanding di Bumi Sebayu. Sebut saja ustadz Muammar yang berasal dari desa Pesarean, Kecamatan Adiwerna, Tegal, juga ustadz Amirudin yang berasal dari bumi Trayeman, Kecamatan Slawi, dll. yang sanad qur’annya tersambung kepada sang mahaguru KH. Imam Sibaweh.

Di usia senjanya KH. imam Sibaweh tetap bersemangat untuk melakukan dakwah quraniyah-nya di tengah-tengah masyarakat bumi Persekat. Walaupun beliau sering gerah, namun sebagai “pelayan umat” beliau tetap menyempatkan diri untuk datang menghadiri undangan di berbagai pengajian untuk mengisi “rukun pengajian” berupa tilawatil qur’an.

Desa Kambangan, Kec. Lebaksiu, Kab. Tegal, yang jaraknya kurang lebih 23 Km dari rumahnya di Desa Pesawahan, Kec. Adiwerna, Kab. Tegal  boleh jadi telah menjadi second house atau rumah kedua bagi suami dari ibu nyai Hj. Usrifah tersebut. Pasalnya setelah putri kinasihnya yang bernama Umi Siti Naelis Saadah berjodoh dengan pengasuh PP. Misbahul Huda Al-Amiriyyah, KH. Syamsul Arifin al-Hafidz, yang notabene adalah putra dari ulama besar Tegal, yaitu KH. Syaifudin Amir (w. 1998) KH. Imam Sibaweh kerap kali diundang oleh sang menantu untuk mengisi berbagai acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) yang dihelat oleh pesantren yang diasuh oleh menantunya tersebut.

Baca juga:  Dinamika dan Empat Tokoh Utama Ushul Fikih (1): Idris al-Syafi’i; Peletak Dasar dan Sebuah Perdebatan Pembuka

Warga desa Kambangan, dan sekitarnya tentu sangat beruntung karena mereka cukup kenyang dengan lantunan-lantunan ayat suci al-Qur’an yang dipanggungkan dengan apik nan merdu oleh H. Imam Sibaweh.

Begitupun dengan warga Tegal, mereka tentunya sangat bangga bahwa Bumi Sebayu pernah mencetak mahaguru tilawatil qur’an yang karirnya telah malang melintang dalam kancah MTQ nasional  sebelum ahirnya beliau marak sowan maring ngarso dalem Gusti Allah SWT. di RS. Harapan Anda, Kota Tegal, Kamis 22 Desember 2016 silam.

Beliau wafat dalam usia 63 tahun, jenazahnya disumarekan di “kampung pesarean” desa Pesawahan, Kec. Adiwerna, Kab. Tegal. Beliau meninggalkan dua orang putera serta tiga orang puteri, yaitu: Umi Siti Naelis Saadah, Dhiya Uddin Sibaweh, Choerunnisa, Arifatul Latifah (w. 2020), dan M. Syaeful Amin.   Kini tongkat estafet dakwah qur’aniyah-nya diteruskan oleh putra putrinya tersebut dengan mendirikan Pesantren Tahfidzul Qur’an Anwarul Qur’an yang terletak di desa Pesawahan, Kec. Adiwerna, Kab. Tegal.

https://alif.id/read/luthfil-hakim/potret-tiga-serangkai-dari-tegal-1-kh-imam-sibaweh-sang-maestro-tilawatil-quran-dari-bumi-sebayu-b241563p/