Catatan Santri Plumbon (4): Pesantren dan Sangu Urip

Semenjak kecil, ketika saya ingin pergi ke rumah nenek, pasti melewati depan sekolah itu, sampai saya pernah berkata kepada bapak saya “nanti kalau saya sudah lulus SD, saya mau sekolah di sini”.  Dan bapak saya mengizinkannya, dan menawarkan kepada saya untuk menetap di pesantren, yang mana memang kebetulan bapak saya juga alumni dari Ponpes TPI Al Hidayah itu sendiri.

Dan semenjak kecil, setiap lebaran, memang bapak saya selalu mengajarkan kepada saya untuk selalu menyempatkan sowan ke ndalem (rumah) pengasuh, beliau adalah Kyai Manaf Sya’ir (pengasuh Ponpes Al-Islah), Kyai Sulton Sya’ir (pengasuh Ponpes Tpi Al-Hidayah) dan ibu Nyai Faridatul Bahiyah (pengasuh asrama Al-Amanah), dan beliau-beliau ini adalah putra dan putri dari pasangan kyai Sya’ir dan ibu nyai Amanah (beliau adalah pendiri dari ponpes TPI Al Hidayah), yang saat ini di teruskan oleh putra dan putrinya.

Sampai pada akhirnya, saat saya sedang silaturrahim ke ndalem (rumah) beliau kyai Sulthon Sya’ir, beliau berkata kepada saya, “Nanti kalau sudah lulus SD, mondoknya di sini saja, nggak usah jauh-jauh, bapaknya aja dulu mondok di sini betah sampai 10 tahun, sampai dapat jodoh orang sini, nanti kamu juga harus bisa melebihi bapak kamu”.

Setelah memasuki waktu libur sekolah SD, akhirnya saya mempersiapkan perlengkapan untuk mendaftar sekolah dan memantabkan niat saya untuk melanjutkan ke MTs NU Al Sya’iriyah Plumbon, Limpung, Batang.

Akhirnya waktu di mana hampir beberapa hari lagi memasuki masa ospek sekolah, dan mau tidak mau saya dituntut untuk menetap di pesantren, awalnya sempat semangat karena memang dari awal itulah keinginan saya sendiri, sampai pada akhirnya malam pun tiba, dimana besoknya saya harus berangkat ke pesantren, semalaman saya tidak bisa tidur karena memikirkan besok bagaimana di pesantren, dengan siapa saya di sana.

Pikiran negatif tentang dunia pesantren pun akhirnya mulai muncul, sampai ingin memutuskan untuk membatalkan keberangkatan saya ke pesantren. Memang saat itu bertepatan hari pertama puasa bulan Ramadhan, dimana saya pertama kali merasakan sahur di rumah dan berbuka puasa di pesantren.

Hari itu pun akhirnya tiba, dimana hari pemberangkatan saya ke pesantren, setelah memasuki waktu asar akhirnya saya bersiap-siap dan memutuskan untuk berangkat, walaupun hati saya berkata lain, tetapi kembali lagi bahwa saya tidak ingin mengecewakan orang tua saya, karena mereka sudah berantusias dan sudah menyiapkan segala keperluan saya selama di pesantren, dan dari awal juga memang itu adalah keputusan saya pribadi untuk menetap di pesantren.

Disaat hampir tiba di tempat tujuan, entah kenapa, dimana hati saya mulai gelisah membayangkan bagaimana saya nanti di pesantren, sepanjang jalan, saya tidak menikmati perjalanan sama sekali, dan setibanya di depan gang pesantren, hati saya mulai tambah tidak terkontrol, dan ada satu hal yang membuat saya kecewa adalah, ternyata  bapak saya tidak membawa saya ke pesantren yang saya mau, melainkan ke pesantren lain, yaitu Ponpes Al-Islah, memang masih satu yayasan dengan ponpes Al -Hidayah, tetapi dari awal saya memang tidak berminat untuk di pesantren itu.

Baca juga:  Perusakan Situs Budaya Adat Dayak

Setelah selesai memindahkan barang-barang dan sowan (silaturrahim) ke pengasuh, akhirnya keluarga saya berpamitan untuk pulang ke rumah, saya mencoba untuk tetap terlihat tenang dan tidak menangis sama sekali, karena saya tidak mau melihat orang tua saya sedih.

Satu hari berlalu, saya mulai  merasa ketidaknyamanan, sampai beberapa hari sengaja saya tidak makan, dan hanya sahur dan berbuka dengan air mineral, dengan tujuan agar penyakit saya kambuh dan akhirnya diperbolehkan untuk pulang ke rumah, tanpa memikirkan akibat dari perbuatan saya sendiri.

Akhir setelah menetap di pesantren selama kurang dari satu minggu, penyakit saya kambuh dan berakhir hingga di rawat di rumah sakit sampai beberapa hari, dan dokter megatakan bukan cuma asam lambung saya yang kambuh, melainkan darah rendah dan gejala ginjal saya juga kambuh.

Namun semenjak saya di rawat di rumah sakit beberapa hari, dari situlah saya mulai sedikit menyesali perbuatan saya, tetapi disisi lain juga, saya bersyukur karena diperbolehkan pulang ke rumah. Dan saat saya di rumah sakit, saya melihat kedua orang tua saya yang begitu lelah merawat saya.

1 bulan berlalu, saya tidak bisa berangkat ke sekeloh karena memang pemulihan saya sangatlah lama, sampai pada akhirnya pihak sekolah menanyakan keadaan saya, apakah sudah membaik atau belum, dikarenakakan sudah 1 bulan lebih saya tidak mengikuti pembelajaran. Setelah saya sembuh total, akhirnya saya lebih memilih untuk menetap di rumah nenek saya.

Akhirnya, selama satu tahun saya di tinggal dirumah nenek, saya baru merasakan betapa bahagianya di manja, mau apa-apa diturutin, serba diprioritaskan, dan nenek saya lebih sering membela saya dari pada membela anaknya sendiri, padahal bukan mereka yang nakal, melainkan dari sifat kejailan saya yang membuat saudara-saudara saya marah-marah. Memang bukan orang tua saya yang tidak mau memanjakan saya, melainkan mereka tidak mau jika saya terlalu sering hidup di manja sejak kecil, nantinya akan berdampak buruk bagi masa depan saya kelak.

Bapak saya juga pernah memberikan nasihat kepada saya bahwasannya “Jadi perempuan itu jangan lemah, jangan mudah untuk disepelekan, dan jangan terlalu sering bergantung kepada siapapun, walaupun itu suamimu dan bahkan orang tuamu sekalipun, walaupun kamu bukan berasal dari keluarga yang kaya raya, bukan berasal dari keluarga yang terpandang, tetapi jangan sampai ada satu lelakipun yang berani merendahkanmu”.

Setelah satu tahun berlalu, dan memasuki kenaikan kelas, setelah lama saya mempertimbangkan kedepannya saya mau bagaimana, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke pesantren, tetapi dengan catatan saya tidak mau kembali ke pesantren yang sebelumnya, saya meminta agar saya dipindahkan di pesantren yang saya inginkan sejak awal yaitu ponpes TPI Al Hidayah. Kembali lagi bahwasannya kenyamanan dan kemauan seseorang tidak bisa dipaksakan, bapak saya menyetujuinya dengan syarat, saya harus betah dan tidak boleh minta pulang sebelum liburan pesantren.

Liburan sekolah dan pondok pun akhirnya usai, dan setelah saya memikirkan matang-matang dengan keputusan yang akan saya ambil, saya memantabkan diri untuk berangkat lagi ke pesantren. Masih sama dengan perasaan sebelumnya, pikiran negatif pun seketika mulai muncul kembali, tetapi saya mencoba untuk tetap tenang dan yakin dengan pilihan saya sendiri.

Baca juga:  Peradaban Kuliner Islam; dari Santri sampai Jamuan Khalifah

Setelah tiba hari dimana saya berangkat ke pesantren kembali, awalnya saya senang, karena memang ini adalah pesantren pilihan saya sendiri, setelah selesai memindahkan barang-barang saya dari pesantren Al Islah ke Al Hidayah, yang memang jaraknya tidak terlalu jauh.

Setelah saya dan keluarga saya silaturrahim ke pengasuh, akhirnya saya dan orang tua saya melihat suasana pondok, dan parahnya yang awalnya saya kira bangunan mewah dan tingkat itu adalah pondoknya, ternyata saya salah menduga.

Memang awalnya sedikit kecewa ketika saya melihat suasana pesantren saat pertama kali saya menetap di ponpes Al Hidayah, dimana semua aula yang ada di pesantren belum ada sama sekali yang menggunakan lantai keramik, lemari masih sempit dan banyak yang sudah rusak, dan bahkan ketika saya masuk ke dalam kamar yang akan saya tempati, apa yang saya lihat? masih menggunakan alas kayu yang mana kayu itu sudah banyak yang rapuh karena kemakan dengan usia, dan ketika diinjakpun sudah berbunyi, dan bahkan kalau kita mau melihat lantai bawah dari celah-celah kayu itupun bisa.

Awalnya saya sempat ingin mengeluh dan ingin membatalkannya, tetapi semua itu sudah terlanjur, dan memang bapak saya juga tidak mengizinkan saya untuk survei keadaan pondok terlebih dahulu, ya akhirnya mau bagaimana lagi. Setelah selesai memindahkan barang-barang saya ke dalam kamar, akhirnya kedua orang tua saya berpamitan untuk pulang, di situlah saya mulai tidak karuan, dan masih sempat-sempatnya saya tersenyum sembari menahan air mata yang sudah diujung dan ingin mengalir.

Setelah melihat orang tua saya pulang, saya mulai bingung dengan suasana di pesantren, yang mana saya harus memulai beradaptasi kembali dengan tempat baru, suasana baru, dan bahkan teman baru.

Memang sangatlah sulit, dimana teman-teman sebaya saya, masih santai di rumah main hp, berkumpul dengan keluarganya, bebas kesana kemari tanpa ditanya mau kemana, sama siapa, dan lain-lain. Bahwasannya, terkadang bukan orang tua kita tidak sayang dengan kita, bukan mereka kejam meninggalkan kita di pesantren, melainkan mereka memasukkan kita ke pesantren, karena mereka sayang dan tidak mau jika anaknya sampai terjerumus kedalam suatu pergaulan yang terlalu bebas, apalagi melihat cara bergaul anak-anak muda di zaman yang saat ini, sungguh sangatlah miris.

Dan kembali lagi bahwa ini semua demi masa depan saya nantinya, bapak saya juga pernah menasehati saya, bahwa pergaulan di rumah dan di pesantren itu sangat berbeda jauh, dan bapak saya tidak mau jika saya sampai salah memilih pergaulan, dan dalam ceramah Kyai Anwar Zahid pun, mengatakan “Nakalnya seorang santri dan anak rumahan itu jelas sangat-sangat berbeda, nakalnya seorang santri itu masih wajar-wajar saja tetapi nakalnya anak rumahan biasanya sampai kelewatan batas”.

Baca juga:  Indonesia Darurat Tenggang Rasa

Akhirnya saya memutuskan untuk mencoba tetap bertahan apapun cobaannya, saat beliau, Kyai Sulthon sedang mengajar bandongan kitab kepada santri putri, beliau pernah menyampaikan kepada semua santrinya bahwa “Orang yang ingin sukses, pasti tidak akan pernah mudah cobaannya, semakin besar cobaan yang Allah berikan, akan semakin besar pula kesuksesan yang akan kita dapatkan, Allah tahu porsinya setiap hambanya, jadi tidak mungkin Allah memberikan cobaan melebihi batas kemampuan dari hambanya”, dari situ saya semakin yakin dengan keputusan yang sudah saya ambil ini.

Dan saya juga merasa termotivasi oleh kata-kata ning Sheila Hasina beliau berkata “wahai perempuan, mengajilah kalian dengan tekun, carilah ilmu dengan sungguh-sungguh, bagaimana kita mau mengharapkan anak-anak kita akan terdidik dengan baik, jika dia diasuh oleh ibu yang tidak berpendidikan, maka jadilah terdidik sebelum kalian mendidik, karena pada dasarnya seorang perempuan nantiya akan menjadi seorang ibu dan akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya”.

Dari banyaknya pengalaman yang saya dapatkan selama ini adalah, saya dapat menyimpulkan bahwa berpandai-pandailah kalian dalam memilih teman bergaul, karena apa? Memang nggak semua orang yang terlihat baik di luar, hatinya juga ikut baik, bisa jadi sebaliknya.

Tetapi bukan berati kita harus menjahui dengan orang yang kurang baik entah akhlaknya, ilmu, agama dan lain-lain, hanya saja semua tergantung dari diri kita masing-masing, masih bisa nggak kita mengontrol diri kita untuk tidak ikut terhasut oleh cara pergaulan mereka .

Dan memang pernah ada pepatah mengatakan, “ketika kita berteman dengan penjual minyak wangi, maka kita akan ikut tercium bau harum dari minyak wangi itu, tetapi ketika kita berteman dengan penjual terasi maka kita juga akan ikut tercium bau terasi itu”.

Tetapi saya belajar dari salah satu ceramah beliau Gus Miftah, bahwasannya beliau mengatakan: “kita boleh berteman dengan siapa saja, dari kalangan apa saja, mau yang anak jalanan dan bahkan non muslim sekalipun, asalkan jangan sampai kita ikut terpengaruh oleh pergaulan mereka, dan alangkah baiknya, jika kita yang seharusnya bisa memberikan dampak positif bagi mereka, memang sulit dan itu tidak mudah”.

Dan dari kejadian-kejadian yang sudah berlalu, saya belajar banyak hal bahwasannya, jangan pernah kita menyerah sebelum kita mencobanya, hindari pikiran-pikiran yang negatif tentang sesuatu yang belum pernah kita coba sama sekali,  karena itu hanya akan menambah ketidak percayaan terhadap diri kita sendiri, dan jangan jadikan itu sebagai beban, melainkan jadikan sebagai pengalaman dan wawasan baru.

Terakhir, meminjam quotes dari Najwa Shihab. “Langit memang terlihat kian mendung, badai semakin kencang merundung, basa-basi rasanya tidak diperlukan lagi, krisis sudah jelas terpampang hari-hari ini, mungkin saja kita memang akan kalah, tapi kita bukan pecundang yang pasrah, yang sudah gantung sepatu sebelum pertandingan, yang menunduk dalam-dalam sebelum peluit panjang, kita tidak rela melempari handuk ke lantai, karena kita belum sudi!

https://alif.id/read/nkm/catatan-santri-plumbon-4-pesantren-dan-sangu-urip-b246658p/