Daftar Isi
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Riwayat Keluarga
1.3 Wafat
2 Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu
2.1.1 Pesantren Keresek
2.1.2 Pesantren Bojong
2.1.3 Pesantren Gudang
2.1.4 Pesantren di Mekkah
2.1.5 Pesantren di Mesir
2.1.6 Pesantren Bunikasih
2.2 Guru-Guru Beliau
2.3 Mendirikan dan Mengasuh Pengasuh Pesantren
3 Penerus Beliau
3.1 Anak-anak Beliau
3.2 Murid-murid Beliau
4 Karya
4.1 Karya-karya Beliau
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
KH. Ahmad Syathibi bin Muhammad Sa’id Al-Qonturi atau yang kerap disapa dengan Mama Gentur lahir sekitar tanggal 12-18 tanpa diketahui secara pasti bulan dan tahun kelahirannya di Kampung Gentur, Warungkondang, Cianjur, Jawa Barat.
Beliau merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, dari pasangan Mama H. Muhammad Sa’id dan Ibu Hj. Siti Khodijah. Saudara-saudara beliau diantaranya, Hj Ruqiyah (pengajar Pondok Pesantren Cipadang, Cianjur), Mama H. Ilyas (alias Mama H. Yahya, pengajar Pondok Pesantren Babakan Bandung, Sukaraja, Sukabumi), dan adik kandung yakni Mama H. Muhammad Qurthubi (alias Mama Gentur Kidul, pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur).
Nama kecil beliau adalah Adun, setelah pulang dari Mekkah namanya diganti menjadi Dagustani. Namun, nama masyhurnya sekarang yaitu KH. Ahmad Syathibi atau biasa disebut sebagai Mama Gentur kata orang sunda yang jadi anak muridnya.
1.2 Riwayat Keluarga
KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) memiliki dua istri Ibu Hajjah Siti Nafi’ah dan Ibu Hajjah Siti Sholihah dan dikaruniai 7 anak, 5 Laki-laki dan 2 perempuan diantaranya adalah:
- Mama Haji Hidayatullah (Aang Baden) – Pengajar Pondok Pesantren Picung, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Rohmatullah (Aang Eyeh) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Hasbullah (Aang Abun) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Abdul Qodir (Abuya Qodir) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Abdul Haq Nuh (Aang Nuh) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Ibu Hajjah Siti Aminah (Ibu Hajjah Mas Noneh) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Ibu Hajjah Mas Ucu Qoni’ah – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
1.3 Wafat
KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) meninggal di Cianjur pada Rabu 14 Jumadil Akhir1365 Hijriyah, tanggal 15 Mei 1946.
2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1 Mengembara Menuntut Ilmu
2.1.1. Pesantren Keresek
KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) mulai berangkat ke Pesantren Keresek. Kata Mama Keresek, “Kalau Ananda mau punya ilmu yang besar, besok mama antar ke paman mama yaitu Pangersa Mama Ajengan Muhammad Adzro’i di Bojong, sebab dalam waktu sekarang ini para sepuh yang punya ilmu yang besar di tiap kabupaten juga kebanyakan adalah yang nyantri ke paman mama tersebut, yaitu Syekh Muhammad Adzro’i, Bojong, Garut”. Mama Gentur menginap semalam di Keresek, besoknya kemudian diantarkan ke Pesantren Bojong.
2.1.2. Pesantren Bojong
Diceritakan waktu pertama masuk ke Pesantren, oleh guru di pesantren disumpah jikalau tidak mempunyai ilmu sihir. Kemudian beliau melaksanakan sumpahnya tanda tidak memiliki ilmu sihir. Kemudian barulah beliau diterima sebagai murid di Pesantren. Makanan yang biasa beliau makan selama di pesantren cukup dengan talas yang dicuilkan ke dalam sambel roay, tidak pernah makan yang enak dengan rupa-rupa makanan.
Ketika mendapati masalah kitab yang susah difaham, beliau langsung menghadiahi mualifnya dengan makanan dan aurod shalawat. Hanya dalam waktu 40 hari mondok di Bojong beliau sudah hafal kitab Yaqulu (Nazom Maqsud, dalam ilmu shorof), Kailany (ilmu shorof), Amrithy (ilmu nahwu), Alfiyah (ilmu nahwu dan shorof), Samarqondy (ilmu bayan), dan Jauhar Maknun (ilmu ma’ani, bayan dan badi).
Keunggulan Pesantren Bojong, Garut adalah para santri yang belajar di pesantren tersebut jika sudah belajar selama dua tahun biasanya akan jadi Al-‘Alim al-‘Allamah. KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) menetap di Pesantren Bojong hanya selama satu tahun hingga akhir bulan Sya’ban, karena disuruh gurunya, yaitu Syekh Muhammad Adzro’i untuk menemani Kiyai Muhammad Rusdi atau Kiyai Rusdi berguru ngaji di Pesantren Gudang – Tasikmalaya sekarang, yang sudah menetap selama empat tahun.
Kiyai Rusdi merupakan salah satu santri Bojong, disaat KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) mulai mondok di Pesantren Bojong tersebut Kiyai Rusdi sudah genap tiga tahun. Ketika Ajengan Muhammad Rusdi sudah genap dua tahun di Bojong juga oleh gurunya yaitu Syekh Muhammad Adzro’i sudah disuruh muqim sebab sudah Allamah, hanya saja ayahnya dan kakeknya belum mengizinkan.
Sebab menurut pendapat kakeknya yaitu Syekh Utsman berkata kepada Syekh Muhammad Adzro’i, Bojong, “Ajengan khawatir masih remaja, baru usia 17 tahun entar jadi Kiyai nunggul dan takut kasar bahasanya.” Kemudian dijawab oleh Mama Bojong, “Tidak akan jadi Kiyai nunggul Mang Haji, saya yang bertanggungjawab, bahkan santrinya juga putra-putra saya dan santri-santri saya.” Kemudian dijawab lagi oleh kakeknya, “Ajengan semoga berkenan untuk menambah lagi ilmunya kepada cucuku itu, agar cucuku itu ilmunya semakin bertambah matang, fahamnya semakin bertambah jenius.”
Maka kemudian Mama Bojong bersedia untuk mengajar Kiyai Muhammad Rusdi lagi. Ketika Ajengan Muhammad Rusdi sudah genap empat tahun di Bojong sedangkan Mama Gentur sudah genap satu tahun. Dari situ Kiyai Rusdi disuruh ngaji ke Mama Syuja’i, Gudang, Tasikmalaya, ditemani oleh KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur).
2.1.3. Pesantren Gudang
Menurut penuturan KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur), Mama Gudang jika sedang mengajar dihadapan Kiyai Rusdi dagu dan badan beliau bergetar dikarenakan sungkan akan ilmunya Kiyai Rusdi. Bahkan, Mama Gudang berkata kepada KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur), “Katakan kepada Ki Rusdi segeralah bermukim. Bukankah Kang Adzro’i pun sudah menyuruhnya dan sudah ada dalam ridho guru?” Kemudian KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) menyampaikan amanat dari gurunya itu dengan sebisa-bisa bicara kepada Ajengan Muhammad Rusdi. Namun, tetap saja ayah dan kakeknya belum juga menyetujuinya.
Kemudian Kiyai Rusdi setelah mondok di Gudang selanjutnya pindah lagi ke Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur yang disebut Ba’dul Ikhwan oleh Syekh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tijan. Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur dan Syekh Muhammad Adzro’i, Bojong, Garut adalah teman sepondok sewaktu ngaji di Syekh Ibrahim al-Baijuri. Mama Gentur terus menetap di Gudang hingga sembilan tahun lamanya.
Waktu mondok pesantren di Gudang, beliau pernah ziarah ke makam kubur di Geger Manah. Sebelumnya beliau puasa dulu selama empatpuluh hari baru berangkatlah ke Geger Manah dan langsung mendatangi juru kunci makam. Beliau disambut di rumah kuncen sembari ditanya perihal maksud dan tujuannya, yaitu hendak ziarah tabaruk di makam keramat. Kemudian diantarlah beliau menuju makam keramat tersebut. Kira-kira jam empat Subuh beliau pulang dari makam dan balik lagi ke tempat kuncen, kemudian kuncen menjamunya dengan rupa-rupa makanan.
Selesai makan, beliau bertanya kepada kuncen, “Mang, malem tadi ada hujan kesini gak?” Jawab kuncen, “Ah, gak ada. Memangnya ada apa Ajengan?” Kuncen agak heran. “Waktu saya di makam sedang ziarah tiba-tiba ada hujan yang besar sekali, petir menyambar-nyambar disertai angin yang sangat kencang. Saya melihat pohon kayu yang amat besar merunduk-runduk ke tanah seperti mau runtuh, tumbang.” Kuncen bertanya, “Terus ada apa lagi?” Jawab KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur), “Ah rahasia, saya gak sanggup menceritakannya.”
Di malam itu kata penduduk kampung ada suara ayam berkokok yang terdengar jelas oleh semuanya, sedangkan di kampung tersebut tidak ada yang punya ayam yang suaranya seperti itu. Semuanya kaget akan suara ayam tersebut, kemudian diselidiki darimana sumbernya suara. Ternyata yakin bahwa suara ayam tersebut berasal dari atas pasir (sunda : bukit atau gunung kecil), tempat makam yang diziarahi oleh Pangersa Mama Gentur. Kata KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur), “Setelah 9 tahun di Gudang kemudian Mama berangkat ke Mekkah ngaji ke Syekh Hasbullah.
2.1.4. Pesantren di Mekkah
Pertama ngaji di Syekh Hasbullah banyak yang menyepelekannya. Suatu hari, Syekh Hasbullah berkata kepada murid-muridnya, kira-kira begini artinya, “Besok hari Rabu kita akan mulai ngaji kitab Tuhfatul Muhtaj, tapi sebelumya kalian muthala’ah dulu kitabnya. Hasil muthala’ah tuliskan dalam buku masing-masing. Besok semua harus hadir dan bawalah hasil tulisan tersebut. Besoknya Syekh Hasbullah memeriksa buku murid-muridnya. Ketika melihat buku tulisan Mama, Syekh Hasbullah tertegun, kemudian buku KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) dipisahkan dan melanjutkan pemeriksaannya.
Setelah selesai, Syekh Hasbullah berkata, “Ngaji Tuhfah batal sebab gak pantas Syatibi ngaji kepada saya, bahkan seharusnya saya yang ngaji ke KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur). Masalah yang belum sampai saya muthala’ah, dalam buku KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) sudah ada. Saya gak sanggup mentaswirkan kitab dihadapan KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur). Tetapi, oleh sebab semuanya meminta untuk diteruskan, dan juga Mama memohon supaya diteruskan biarpun dibaca hanya lafadznya, maka barulah Syekh Hasbullah bersedia walaupun cuma lafadznya hingga tamat.
Kata KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur), “Ilmu yang dipakai muthala’ah kitab tuhfah tersebut adalah sebagian ilmu yang diterima dari Syaikhuna Bojong.” Inilah ciri Allamah-nya Syaikhuna Bojong, Garut. Sewaktu di Mekkah, KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) suka shalat didepan baitullah, para askar sudah pada tahu dan memberi isyarat kepada jama’ah yang lain supaya ada tata hormat kepada beliau sembari berkata, “Hadza ‘Ulamaul Jawa”.
2.1.5. Pesantren di Mesir
Setelah sekian lama di Mekkah, kemudian beliau berangkat ke Mesir dengan maksud mau melanjutkan thalab ilmunya. Namun, Ulama Mesir sama berkata, “Sudah tidak ada guru buat KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur)”. Hanya ada satu ulama ahli qiro’at Qur’an yang berasal dari Indonesia juga yang bermuqim di Mekkah, yaitu dari Pulau Bawean. Selanjutnya mereka saling menggurui. KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) mengajar ilmu Mantiq, ulama Bawean mengajar ilmu Qiro’at.
Sesudah KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) mukim di Mekkah selama tiga tahun, kata satu riwayat kemudian ada utusan dari Syekh Muhammad Shoheh, Bunikasih, Cianjur. Amanatnya, “Katakan kepada Syatibi segeralah pulang kemudian mukim di Cianjur, sebab di daerah Tatar Pasundan sudah tidak ada lagi yang kuat untuk jadi pemimpin dan tauladan dari pengamalan ilmu yang sebenarnya.
2.1.6. Pesantren Bunikasih
Kemudian KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) pulang ke Cianjur melanjutkan mengaji ke Syeikh Shoheh Bunikasih, kemudian mukim di Gentur. Sebelum muqim, beliau membaca Shalawat Nariyyah terlebih dahulu sebanyak 4444 kali dengan maksud supaya mukimnya ditambah-tambah ilmu dan tambah-tambah manfaatnya.
Cara Mama Gentur dalam menyebarkan ilmunya yaitu beliau tidak pernah mengajarkan suatu ilmu kepada murid-muridnya kecuali telah ia amalkan terlebih dahulu. Seperti beliau mengijazahkan shalawat untuk umum sesudah diamalkan terlebih dahulu selama 40 tahun. Beliau pernah diminta mengaji kitab Tuhfah Muhtaj, sebelum belajar mangaji beliau puasa dulu selama empatpuluh hari.
Jika makan, beliau cukup di mangkok dengan garam. Beliau tidak pernah makan enak sebagaimana keadaan beliau pada waktu nyantri di pesantren. Suatu ketika, beliau khusus diundang makan-makan oleh “Om Muharam”. Ia adalah seorang saudagar kaya raya di Cianjur. Segala makanan dan minuman disediakan. Namun, yang dimakan beliau cuma sedikit nasi yang dicuilkan ke garam saja. Begitulah menu beliau makan selamanya. Cuma pernah sesekali makan agak beda, termasuk mewah menurut beliau yaitu waktu makan dengan pepes burayak (ikan kecil) hasil ternak beliau, sebab kasab beliau yaitu ternak telur ikan hingga jadi burayak.
Malah, suatu ketika KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) berternak telur ikan di kolam. Ketika sudah jadi burayak, tidak biasanya waktu itu bibit telur jadi dan mulus semuanya. Dari situ Mama memanggil pekerjanya yang bernama Ki Yusuf. Kata beliau, “Suf, coba kesini bawa cangkul!” Ki Yusuf menjawab, “Ada apa, Kang?” Kata Mama Gentur, “Kamu lobangi pinggir kolam ini, kemudian buanglah sebagian airnya!” Ki Yusuf heran, “Kalau begitu bukankah burayaknya pasti pada kabur, Kang?” Kata KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur), “Iya sengaja biar pada kabur ikan-ikannya takutnya ini istidraj karena sadar diri belum bisa ibadah”. Setelah terbuang sebagian air dan ikan-ikannya, barulah Ki Yusuf disuruh menutup kembali lubang air tadi.
2.2 Guru-Guru Beliau
Guru-guru KH. Ahmad Syathibi Al-Qonturi saat menuntut ilmu saat beliau masih muda adalah:
- Syekh Muhammad Adzro’i
- Syekh Hasbullah
- Syeikh Shoheh Bunikasih
2.3 Mendirikan dan Mengasuh Pengasuh Pesantren
KH. Ahmad Syathibi (Mama Gentur) pulang ke Cianjur dan mukim di Cianjur dan melanjutkan mengaji ke Syekh Soheh Buni Kasih dan menetap di Gentur. Namun memutuskan untuk menetap dan mendirikan pesantren. Dalam menyebarkan ilmu agama Mama Gentur tidak pernah menyebarkan ke santri-santri kecuali yang sudah diamalkan.
3. Penerus Beliau
3.1 Anak-anak Beliau
Anak-anak beliau yang menjadi penerus beliau dalam pengajaran ilmu di pesantren adalah:
- Mama Haji Hidayatullah (Aang Baden) – Pengajar Pondok Pesantren Picung, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Rohmatullah (Aang Eyeh) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Hasbullah (Aang Abun) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Abdul Qodir (Abuya Qodir) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Mama Haji Abdul Haq Nuh (Aang Nuh) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Ibu Hajjah Siti Aminah (Ibu Hajjah Mas Noneh) – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
- Ibu Hajjah Mas Ucu Qoni’ah – Pengajar Pondok Pesantren Gentur, Warungkondang, Cianjur.
3.2 Murid-murid Beliau
Beliau memiliki banyak murid, kurang lebih tiga ribu muridnya yang menjadi ulama besar, antara lain.
- Syekh Tubagus Ahmad Bakri (Mama Sempur),Plered,Kabupaten Purwakarta
- Syekh Ahmad Eumed (Mama Cimasuk),Karangpawitan,Kabupaten Garut
- Syekh Zinal ‘Alim (Mama Haur Kuning)
- Syekh Muhammad ‘Umar Bashri (Mama Fauzan),Sukaresmi,Kabupaten Garut
- Syekh ‘Izzuddin (Mama Cibatu),Cisaat,Kabupaten Sukabumi
- Syekh Zain Abdusshomad (Mama Gelar),Cibeber,Kabupaten Cianjur
- Syekh Muhammad Hasbullah (Mama Babakan Bandung),Sukaraja,Kabupaten Sukabumi
- Syekh Fudholi (Mama Gentong),Cisaat,Kabupaten Sukabumi
- Syekh Abdusshobur (Mama Gunung Sumping),Palabuhanratu, Kota Palabuhanratu
- Syekh Ahmad ‘Inayatullah (Mama Warudoyong),Warudoyong,Kota Sukabumi
- Syekh Hulaimi (Mama Darmaga),Bojongpicung, Kabupaten Cianjur
- Syekh Abdullah (Mama Jeungjing),Sukaraja,Kabupaten Sukabumi
- Syekh Muhammad Syuja’i (Mama Ciharashas),Cilaku,Kabupaten Cianjur
- Syekh Ahmad ‘Izzuddin (Mama Kubang),Cibeber,Kabupaten Cianjur
- Syekh Sayuthi (Mama Pawenang),Nagrak,Kabupaten Sukabumi
- Syekh Ahmad Rosyadi (Mama Cipelang),Cijeruk,Kabupaten Bogor
- Syekh Muhammad Syafi’i (Mama Cijerah),Bandung Kulon, Kota Bandung
- Syekh Fakhruddin (Mama Sungapan),Cibeureum,Kota Sukabumi
- Syekh Ahmad Jajang Jubaidi (Mama Cijambu),Cigombong,Kabupaten Bogor
- Syekh Hasan Bashri (Mama Obay Kampungsawah),Jayakerta,Kabupaten Karawang
- Syekh Abdullah Nuh (Mama Cimanggu),Kota Bogor
- Syekh Sanja (Abuya Kadukaweng), Kaduhejo,Kabupaten Pandeglang
- Syekh Hambali (Mama Gasol Kaler),Cugenang,Kabupaten Cianjur
- Syekh Sya’roni (Mama Gasol Kidul),Cugenang,Kabupaten Cianjur
- Syekh Ahmad Dimyathi (Mama Kedung),Ciranjang,Kabupaten Cianjur
- Syekh Hasan Hariri (Mama Cipriangan),Sukalarang,Kabupaten Sukabumi
- Syekh Hasan Musthofa (Mama Cilember),Cisarua,Kabupaten Bogor
- Syekh Zarnuji (Mama Pamuruyan),Cibadak,Kabupaten Sukabumi
- Syekh ‘Izzuddin (Mama Cijambe Fauzan),Warudoyong,Kota Sukabumi
- Syekh Hasan Bolang (Mama Cijambe),Bantargadung, Kota Palabuhanratu
- Syekh Sya’roni (Mama Cigadog),Sukaraja,Kabupaten Sukabumi
- Syekh Ahmad Basuni (Mama Baros),Karangtengah, Kabupaten Cianjur
- Syekh Yasin (Mama Cikadu),Palabuhanratu, Kota Palabuhanratu
- Syekh Bandaniji (Mama Sadamaya),Cibeber,Kabupaten Cianjur
- Syekh Muhyiddin (Mama Wangon),Ciawi,Kabupaten Bogor
- Syekh Badruddin (Mama Cariu),Cugenang,Kabupaten Cianjur.
4. Karya
4.1 Karya-karya Beliau
Semasa hidupnya, Mama Gentur mengarang kitab kurang lebih sekitar 80 kitab, berbahasa Arab dan Sunda. Diantaranya adalah :
- Sirojul Munir (dalam ilmu fiqih)
- Tahdidul ‘Ainain (dalam ilmu fiqih)
- Nadzom Sulamut Taufiq (dalam ilmu fiqih)
- Nadzom Muqadimah Samarqandiyah (dalam ilmu bayan)
- Fathiyah (dalam ilmu bayan)
- Nadzom Dahlaniyah (dalam ilmu bayan)
- Nadzom ‘Addudiyah (dalam ilmu munadzoroh)
- Nadzom Ajurumiyah (dalam ilmu nahwu)
- Muntijatu Lathif (dalam ilmu shorof)
Sebagian karangannya dalam ilmu bayan ada yang menyebar sampai Tanah Arab. Para Ulama Arab dan Mesir banyak yang membaca hasil karya beliau dan memujinya seraya berkata, “Ternyata di Tanah Jawa ada juga ulama yang luas ilmunya”.
5. Referensi
- Qoidatul Muhtaj – Menceritakan sedikitnya riwayat Mama Sepuh Gentur dengan para Masyaikil Kirom dan lainnya waktu menimba ilmu.
- Ar-Risalatul Qonturiyah Fi Manaqibisy Syaikhil ‘Alimil ‘Allamatil Kamilil Waro’i, Al-Hajji Ahmad Syathibi Al-Qonturi Asy-Syanjuri Al-Jawi
- Tashilul Hilali Fi Manaqibi Mama Ahmad Syathibi
- https://ltnnujabar.or.id
Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 21 September 2021, dan terakhir diedit tanggal 02 September 2022.
https://www.laduni.id/post/read/67648/biografi-kh-ahmad-syathibi-al-qonturi-mama-gentur.html